Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Menonton Gol Indah, Tubuh Lentur

Setelah berabad-abad, baru tahun ini sepak bola wanita menemukan momentumnya yang terbesar. Namun, liga profesional belum juga terbentuk.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAWAKAN almarhum Kardjo AC/DC—ia sering tampil sebagai wanita—dengan tema sepak bola selalu memancing gelak tawa. Apakah begitu lucu? Sangat boleh jadi, terutama karena sepak bola wanita belum populer di Indonesia. Namun, di benua lain, sepak bola wanita sudah diterima sebagai acara yang tak boleh dilewatkan. Tengoklah Piala Dunia Wanita (PDW) yang digelar di Amerika Serikat, dan pertandingan finalnya—tim AS lawan Cina—berlangsung Sabtu pekan lalu. Semarak. Puluhan ribu penonton hadir di stadion, dan jutaan mata lain menyaksikan lewat televisi. Turnamen ini juga tak kalah gaungnya dengan Copa America, yang digelar dalam waktu bersamaan. Selain dikemas secara menarik, turnamen sepak bola wanitai memang memikat. Rata-rata empat gol tercipta dalam satu pertandingan, karena semua tim bermain menyerang dengan mutu tinggi. Bahkan, pengamat sepak bola Kusnaeni berseloroh, "Dibandingkan dengan pertandingan yang mana saja dalam Ligina baru lalu, sepak bola wanita di Amerika jauh lebih menarik." Pujian juga datang dari mantan bintang sepak bola Jerman, Juergen Klinsman. Menurut Klinsman, pemain putri hanya kalah tenaga dan kecepatan daripada pemain pria. Namun, kelemahan ini tertutup dengan kelenturan tubuh para pemain putri, sehingga gol-gol yang tercipta pun lebih indah. Tak aneh bila kini, bagi pecandu bola sejati, bukan nama Vieri atau Ronaldo saja yang dibicarakan, tapi juga Mia Hamm dan Kristine Lily dari AS, serta Sissi dari Brasil. Masalahnya, setelah turnamen, apa kelanjutannya? Liga profesional, itulah jawaban yang seharusnya. Selama ini dalam sepak bola wanita yang ada hanyalah liga amatir dan liga mahasiswa. Kusnaeni memperkirakan, peluang paling besar adalah terbentuknya liga profesional di Amerika Serikat. Apalagi prestasi tim putri mereka sangat bagus dan stabil. Pada PDW 1991 mereka juara, PDW 1995 urutan ketiga, dan tahun ini masuk final. Selain itu, medali emas Olimpiade 1996 juga dapat diraih. Mengingat bangsa Amerika terkenal suka memanfaatkan momentum, tahun depan liga sepak bola putri tidak mustahil akan lahir, menandingi turnamen sepak bola pria. Persoalan lain, bila liga profesional telah bergulir, berapa sebenarnya harga yang layak untuk pemain putri. Ronaldo, pemain sepak bola (pria) termahal, beroleh US$ 8 juta per tahun, sedangkan Mia Hamm, pemain wanita paling kondang, "hanya" dihargai US$ 1 juta. Jumlah sebesar itu sudah meliputi gaji, honornya sebagai pembicara, penulis buku, dan bintang iklan sepatu Nike. Dalam iklan itu, ia tampil bersama Michael Jordan, yang penghasilannya sampai US$ 60 juta per tahun. Singkat kata, nilai komersial pemain wanita masih terlalu rendah dibandingkan dengan pria. Dan masih ada kendala lain. Hamm, misalnya, belum tentu bisa berlaga di liga profesional karena usia istri pilot marinir ini hampir 27 tahun. Berarti, ia sudah tergolong veteran untuk pemain putri. Tapi pengakuan internasional untuk pemain yang dijuluki America's Deadly Weapon ini, serta pemain putri lainnya, kini telah datang. Sebuah pengakuan yang terlambat, sebetulnya, karena di Inggris wanita sudah bersepak bola sejak abad ke-16. Perkembangannya memang merayap, tapi cukup banyak kejadian unik. Pada akhir abad ke-18, di Edinburgh, Skotlandia, misalnya, secara rutin digelar pertandingan antara tim wanita lajang dan tim ibu rumah tangga. Di Eropa, klub putri terbentuk pada awal abad ke-20, sementara di Amerika Latin, yang marak justru gerakan menentang sepak bola wanita. Bahkan di Paraguay, olahraga ini secara resmi sempat dilarang karena dianggap bertentangan dengan kodrat keperempuanan. Di Indonesia, sepak bola putri mulai berkembang pada awal 1970-an. Namun, baru pada 1980-an dikenal luas dengan adanya beberapa klub di pelbagai kota. Muthia Datau, artis yang mantan kiper klub Buana Putri, mengenang masa jayanya dulu sebagai saat yang sangat berkesan. Aksinya selalu ditunggu ribuan orang. Apalagi kalau pertandingannya di daerah. "Wedok-wedok (wanita) main bal-balan (sepak bola), yang nonton ramai banget," ujar Muthia, 40 tahun. Pada masa itu, ia terjun ke sepak bola karena benar-benar hobi. Ia tak peduli kulitnya jadi hitam—satu hal yang ditakuti banyak wanita lain. Usai berlatih, ia mendapat telur rebus, bubur kacang hijau, susu, dan uang saku Rp 3.500. Itu saja sudah membuat Muthia senang. Kini, aksi para wanita di kejuaraan Kartini Cup tak bisa ditonton lagi, apalagi berharap akan ada organisasi profesional untuk mereka. PSSI, sebagai organisasi yang paling bertanggung jawab pun, menurut Ketua Bidang Pembinaan Sartomo, baru sampai pada tahap mendata berapa banyak klub sepak bola putri yang kita miliki. Karena itu, jangan heran bila dagelan gaya Kardjo AC/DC, tetap laku hingga kini. Yusi A. Pareanom dan Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus