Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mega Diam, Diamkah Mega?

Di tengah kemenangan dan kritik tajam, Megawati diam seribu basa. Tapi betulkah ia tidak melakukan gerakan-gerakan politik untuk memuluskan jalan ke kursi presiden?

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di manakah Megawati Soekarnoputri? Seperti ditelan bumi, Mega "menghilang". Selepas hiruk- pikuk kampanye—Mega sempat muncul di panggung dan bernyanyi "Banteng Saya Bulat"—geliat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan sebagai pemenang pemilu seperti surut. Tak ada kasak-kusuk untuk menggalang dukungan. Tak ada statement yang bisa dipegang. Paling-paling satu-dua pengurus teras partai itu, seperti Kwik Kian Gie, aktif terlibat dalam berbagai diskusi menjual ide. Selebihnya kosong. Program dan rencana partai ke depan belum disampaikan ke khalayak banyak. Soal debat calon presiden, pengurus partai ini masih yakin pemimpinnya melaju ke kursi orang nomor satu itu setelah mereka dipastikan menguasai suara mayoritas sederhana (simple majority) di gedung parlemen kelak. Karena "sudah yakin", buat apalagi banyak bicara, begitu kira-kira yang terdengar dari sekeliling Mega. Tapi lihatlah betapa gemerungsung-nya kubu calon presiden lainnya. Habibie, calon presiden dari Golkar, rajin bertemu dengan tokoh seperti Gus Dur atau Amien Rais. Gus Dur setali tiga uang. Kiai ini sudah "bersilat" sejak suara pemilu mulai dihitung, dari mengusulkan pembagian kekuasaan antara dirinya, Amien, dan Mega, sampai melobi organisasi sosial politik bermassa besar seperti Muhammadiyah. Amien Rais, meski resminya tidak ingin menjadi "ten percent president"—karena suara Partai Amanat Nasional (PAN) dalam pemilu tidak sampai 10 persen—tetap rajin berbicara. Amien juga masih giat bertemu dengan pemimpin partai lain untuk menggalang kekuatan. Lalu Mega? "Ibu Mega diam bukan asal diam saja. Ia bekerja tapi tidak mau banyak omong seperti tokoh lain," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Tarto Sudiro. Sikapnya terhadap hasil pemilu pun, menurut Tarto, baru akan disampaikan dua hari setelah penghitungan suara berakhir. Sehari-hari, putri Bung Karno ini menghabiskan waktunya dengan bertemu dengan pengurus PDI Perjuangan dari berbagai daerah di rumahnya atau di kantor DPP PDI Perjuangan di kawasan Lentengagung, Jakarta Selatan. Atau ia pergi tanpa diketahui banyak orang—termasuk orang didekatnya seperti sekretaris pribadinya, Sri. Jika pergi, pukul 9 pagi ia sudah berangkat dan baru kembali selepas pukul 10 malam. Orang biasanya melihat Mega berkeliling dengan menumpang Volvo Hitam B-154, sedan Toyota Crown, Land Cruiser berwarna cokelat metalik, Mitsubishi Pajero, sedan Toyota Twin Cam, Great Corolla, atau mobil Kijang. Pilihan mobil itu disesuaikan dengan keperluan. Untuk bertemu dengan pejabat negara atau tamu asing, ia memakai Volvo hitam. Untuk keperluan yang lain, ia menggunakan mobil yang lain lagi. Mega sesungguhnya sosok yang ramah dan tidak terlalu peduli dengan formalitas. Di kantor DPP PDI Perjuangan, ia tidak ingin terlalu diistimewakan. Di kantor itu, orang biasanya hanya menyapanya dengan sederhana, tanpa penghormatan yang berlebihan—seperti yang sering dilakukan pendukung Mega di pelbagai daerah. Tapi, soal menerima tamu di rumahnya, Mega menerapkan birokrasi yang ketat. Tamu yang ingin datang tidak bisa masuk bahkan ke halaman rumah sekalipun. Di luar pagar rumahnya yang rimbun di bilangan Kebagusan, Jakarta Selatan, dibangun semacam pos kecil untuk menyeleksi tamu. Pos itu dilengkapi lima sampai delapan kursi plastik tempat menunggu. Setiap orang yang mau bertamu harus mampu menjelaskan keperluannya, sudah punya janji atau tidak, dan sebagainya. Dan untuk itu, mereka harus siap "diinterogasi" oleh petugas keamanan yang terdiri atas anggota Satuan Tugas (Satgas) PDI Perjuangan. Ketertutupan Mega juga bisa disaksikan dengan dipilahnya "pintu-pintu" masuk menuju Mega. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kontak-kontak menuju Mega bisa dicapai melalui orang sekelilingnya. Untuk keperluan partai, orang biasanya membikin kontak dengan Alex Litaay, Haryanto Taslam, V.B. da Costa, Meilono, atau Sutardjo Soerjogoeritno—semuanya petinggi partai. Lalu, untuk urusan pertemuan dengan tamu asing, pintu menuju Megawati dijaga ekonom Kwik Kian Gie atau Laksamana Sukardi. Sedangkan lobi dengan kalangan pemerintah diatur Mochtar Buchori, Dimyati Hartono, Sabam Sirait, atau Theo Safei—juga pejabat penting PDI Perjuangan. Adapun wartawan yang mau ketemu sebaiknya mendekati Subagio Anam, untuk pers asing, atau Panda Nababan, untuk pers lokal. Orang-orang kunci itu pun bukan jalan bebas hambatan. Mereka bukan penentu, melainkan hanya pelicin jalan. "Jadwal dan keputusan ada di Ibu sendiri," kata Sri. Sang sekretaris bahkan tidak bisa memastikan apakah jadwal yang ia siapkan bisa ditepati sang Ibu. Soal tidak bisa dipegangnya jadwal Mega dibenarkan oleh beberapa pengurus teras PDI Perjuangan. Jumat pekan lalu, misalnya, mestinya Mega mengadakan pertemuan dengan pengurus DPP PDI Perjuangan untuk membahas hasil penghitungan suara. Tapi, sampai salat Jumat usai, Mega tak muncul. Menurut Hartas, salah seorang pengurus PDI Perjuangan, Mega mengadakan pertemuan khusus dengan Theo Safei. Tidak jelas apa agenda pertemuan itu. Kunci hubungan Mega dengan orang di sekelilingnya adalah kepercayaan. Sekali dia mempercayai seseorang, dia akan sangat bergantung pada orang tersebut. Seorang sumber TEMPO di lingkungan dalam Mega bercerita tentang betapa bergantungnya ia pada juru masaknya yang bernama Warti. Apa pun yang dimasak Warti pasti ia santap tanpa rewel. Tapi, kalau yang memasak bukan Warti, "Ia makan sangat hati-hati," kata sumber itu. Di luar soal makanan itu, betulkah Mega tidak menggalang kekuatan apa-apa untuk melancarkan jalannya menuju Bina Graha? Sulit menjawabnya secara pasti. Soalnya, eksistensi Mega sekarang sedang digedor di sana-sini. Kalangan Islam tertentu, misalnya, sangat khawatir kalau Mega benar-benar naik ke kursi presiden. "Ideologi orang di sekelilingnya yang belum kita ketahui," kata Ketua Partai Bulan Bintang, Ahmad Sumargono, kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Di mata Sumargono, ada kekhawatiran, jika Mega naik, Islam akan kembali tersingkir dari panggung politik, seperti di era yang lalu-lalu. A.M. Saefuddin dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahkan menancapkan tekad untuk habis-habisan mengganjal Mega di MPR nanti. Melihat "tusukan" dari mana-mana tersebut, agak aneh rasanya kalau Mega tetap adem-ayem. Seorang sumber TEMPO, misalnya, menyebutkan Mega bukan tidak bergerak. Tim sukses Mega, kabarnya, telah melakukan pertemuan di Hotel Mahakam, Kebayoran. Agendanya kira-kira bagaimana melicinkan jalan bagi Mega ke kursi presiden. Tapi info samar-samar itu ditolak oleh Tarto Sudiro. Namun, penjelasan yang lain datang dari Roi B. Janis, Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta. "Mungkin saja itu pertemuan di antara pendukung Mega," kata Roi. Artinya, boleh jadi ini pertemuan sporadis yang tidak dikomandoi oleh markas besar PDI Perjuangan di Lentengagung. Maklum, Mega memang punya banyak pendukung dan tiap pendukung punya kepentingan politik sendiri-sendiri. Bahkan, sumber TEMPO lain yang dekat dengan keluarga Mega menduga pertemuan ini dilakukan oleh kubu Taufik Kiemas. Menurut dia, orang-orang dari kubu Taufik memang rajin melakukan "gerilya" seperti itu. Tapi bahwa Mega kerap menggunakan hotel untuk pertemuan dan lobi, itu dibenarkan oleh salah seorang pengurus partai, Subagio Anam. Menurut Anam, tempat yang sering dipakai ketua partainya untuk melakukan pertemuan "penting" adalah Hotel Indonesia, Hotel Sari Pan Pasifik, dan Hotel Gran Melia. Di tempat itu, Mega biasa menyewa kamar atau restoran. Artinya, Mega bukan tak bergerak. Masalahnya, banyak orang yang menyebutkan bahwa Mega bukan orang yang terampil mengambil inisiatif. Ide pertemuan dengan Gus Dur, Amien, atau tokoh lain, kabarnya, tidak dimulai dari Mega. Sebutlah misalnya Deklarasi Paso, yang menyatukan sikap Partai Kebangkitan Bangsa, PAN, dan PDI Perjuangan untuk membendung kekuatan status quo. Pertemuan itu lebih banyak dimotori Gus Dur. Mega hanya nunut atas apa yang dikatakan kiai yang diakuinya sebagai abangnya itu. Nah, dalam pertemuan Ciganjur II, yang rencananya dilakukan Sabtu pekan lalu—tapi belakangan diundur lagi—Mega juga tetap sebagai pihak yang manut. Padahal, kabarnya, pertemuan itu akan berspektrum lebih besar. Sebab, selain Mega, Amien, dan Gus Dur, pentolan partai lain seperti Hamzah Haz juga akan dilibatkan. Taufik Kiemas, suami Megawati, menyebutkan cerita dari Mega. "Gus Dur yang datang menemuinya (Mega)," kata Taufik. Artinya, lagi-lagi inisiatif tidak muncul dari putri sulung Bung Karno itu. Tentu saja soal inisiatif ini bukan semata-mata disebabkan oleh tidak pekanya Mega terhadap perubahan politik. Bisa jadi ini adalah sikapnya sebagai pemenang pemilu. Ibarat bertanding sepak bola, Mega sudah memimpin angka, dan bola kini berada di kakinya. Jika ia lengah dan berleha-leha, sangat boleh jadi sang lawan yang sangat agresif akan mencuri bola dari kakinya dan mencetak gol. Seandainya Mega menyadari kemungkinan ini, ia seharusnya tak hanya senyam-senyum, lalu diam lagi. Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus