Kejaksaan, menurut penilaian umum, bobroknya telah melewati batas. Sudah sejak dulu demikian. Menurut mereka yang telah mengalami, baik yang terkena perkara maupun yang berurusan sebagai pengacara, hampir tak ada masalah di kejaksaan yang lepas dari kaitan dengan uang atau bermacam-macam bentuk sogokan lain (lihat halaman 39). Dan katanya, sukar untuk menyebut personel kejaksaan mana yang bersih dari cipratan seperti itu. Ini berlaku untuk semua lapisan, dari atas ke bawah, dari Kejaksaan Agung sampai kejaksaan negeri.
Memang semua informasi ini tidak dilengkapi bukti yang memenuhi syarat hukum untuk menuduh. Siapa berani bersaksi, dan pada siapa harus melapor kalau di belakang setiap meja yang terlihat hanyalah tikus pitak yang lain? Walau tanpa bukti keras, tapi sebaliknya karena tidak pernah dibantah, khalayak tetap percaya kebenaran cerita ini. Peristiwa Andi Ghalib bukan yang pertama, dan bukan satu-satunya dalam tingkatan itu. Mungkin yang terungkap baru satu, yang lain masih tinggal dongeng. Soalnya, kalau begini kondisinya, bagaimana memperbaiki cabang penegak hukum yang bernama kejaksaan ini agar bisa diandalkan menangani korupsi?
Melalui pembersihan personel saja tidak pernah akan cukup karena itu artinya harus membuang dan mengganti seluruhnya dengan yang baru. Membubarkan lembaga kejaksaan dan menggantinya dengan organisasi lain juga tidak masuk akal. Jalan keluar lainnya belum kelihatan. Dalam teori, membangun hukum untuk menegakkan keadilan akan mencakup tiga segi yang saling bersangkutan: sistem perundang-undangannya, aparat penegakan hukum, dan peranan masyarakat. Ketiganya harus diperbaiki. Untuk kebutuhan jangka pendek, mana yang harus dan bisa didahulukan, itulah soalnya sekarang.
Memperbaiki dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang masih berantakan dan berlubang-lubang memang mutlak perlu. Yang harus diciptakan ialah undang-undang yang menata kembali sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system). Tapi itu makan waktu cukup panjang. Aparat penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, tampaknya lebih mungkin untuk diperbaiki cepat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa keadilan bisa lebih terjamin dengan jaksa dan hakim yang baik walau undang-undangnya tak sempurna, daripada dengan peraturan yang bagus tapi jaksa dan hakimnya buruk.
Yang kita alami sekarang sebenarnya sangat luar biasa: selain perundang-undangannya tidak sempurna, juga kualitas polisi, jaksa, hakim, dan pengacara sudah sedemikian sehingga seolah-olah berkongkalikong menjepit posisi pencari keadilan. Kalau mustahil membongkar sekaligus, dari titik mana perbaikan akan dimulai? Melihat contoh penanganan kasus Jaksa Agung Andi Ghalib dan kelanjutannya, bisa disimpulkan bahwa perbaikan personel kejaksaan bukanlah garis kebijakan yang ditempuh pemerintahan Habibie. Bahkan, pemerintah lebih rajin untuk membuat undang-undang baru ketimbang memperbaiki aparat penegak hukumnya, sampai menimbulkan kesan bahwa pemerintah merasa telah menegakkan hukum (baca: keadilan) dengan cara membuat hukum (baca: undang-undang).
Produksi undang-undang yang dipercepat itu sama sekali belum menjamin bisa menutupi keberengsekan aparat yang ada. Undang-undang yang dibuat itu rendah mutunya, dan hanya menambah kesimpangsiuran yang lebih menjauhi gagasan sistem peradilan pidana terpadu. Contohnya ialah Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang diundangkan pada 19 Mei 1999, tapi baru mulai berlaku nanti enam bulan lagi. Bukan cuma judul dan saat berlakunya yang aneh, tapi secara keseluruhan, baik sistematika maupun perumusan kaidah, sangat lemah dan mudah keliru ditafsirkan. Undang-undang ini nyaris tak ada manfaatnya, dan hanya jadi bukti dibuat tergopoh-gopoh dengan keahlian teknik legal yang rendah.
Yang bisa lebih menyesatkan ialah mengenai Komisi Pemeriksa dalam undang-undang ini. Komisi ini, yang dibentuk oleh presiden, melapor kepada presiden, dan bertanggung jawab kepada presiden selaku kepala negara, disifatkan sebagai lembaga independen. Terhadap apa dan siapa independensinya, tak jelas. Kedudukannya terhadap kejaksaan sebagai pejabat penuntut umum juga kurang jelas aturannya. Maka, terlalu mengada-ada kalau Komisi Pemeriksa (sekarang sering disebut KPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat) ini dijagokan sebagai organisasi yang bisa mengambil alih tugas kejaksaan untuk menanggulangi korupsi. Singkatnya, ia tidak akan efektif, kalau bukan mengacaukan.
Di tengah ramai-ramai proses pembentukan KPKP, menurut Menteri Kehakiman Muladi, sebuah komisi independen lain akan dibentuk. Nama yang satu ini ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang pengaturannya akan disisipkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tengah digodok bersama DPR. Kedudukan yang ini pun belum jelas karena dalam rancangan undang-undang semula hal ini tidak disinggung. Teranglah, pemberantasan korupsi melalui perbaikan undang-undang ini sembrono perencanaannya. Rancangan kacau tak mungkin menghasilkan pelaksanaan memuaskan, terutama bila ditangani aparat yang payah pula.
Mungkin, kesibukan membuat undang-undang dan membentuk komisi-komisi ini sekadar agar pemerintah ini tampak serius menangani korupsi. Tapi, kalau pembersihan Kejaksaan Agung tetap perlu dilakukan, bukan ini cara yang harus ditempuh. Kejaksaan bisa dicoba dibersihkan kalau ada jaksa agung yang kuat dan bersih. Sukar mencarinya karena kebanyakan jaksa yang ada telah disandera oleh noda keterlibatannya dalam penggerogotan yang dulu. Dan masalah kebobrokan ini telah menyatu dengan susunan kekuasaan yang ada. Jadi, jaksa agung yang bersih hanya bisa ada kalau diangkat oleh pemerintah yang bersih juga. Tunggu presiden baru, kalau begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini