CUKUP alasan bila dalam pertemuan dengan pembina dan olahragawan
Jakarta, Jumat 2 Januari malam lalu Gubernur Ali Sadikin
menyatakan keprihatinan terhadap prestasi atlit-atlitnya.
Keberhasilan 20 cabang olahraga mendominir kejuaraan nasional
menurut Ali Sadikin hanya 19«, karena dalam sepakbola kebolehan
Persija tidak begitu menggembirakan: juara bersama dengan PSMS
-- ternyata tidak begitu membujuk hatinya. Sebab target yang
diincar Ali Sadikin bukan lagi pada penitik-beratan pengumpulan
piala dan medali emas. Melainkan dalam pemecahan rekor. "Kalau
sekedar menjadi juara umum, itu sudah pasti di tangan kita",
ucap Ali Sadikin. Tapi, "yang saya maui bukan itu. Saya ingin
atlit-atlit Jakarta menembus rekor internasional". Ukuran
internasional yang diinginkan Ali Sadikin tidak pula terlalu
berlebihan. Melampaui rekor Asia saja pun cukup. Ia bukan tak
punya alasan untuk rnenuntut persyaratan itu. Lebih 12 milyard
rupiah telah dikeluarkannya untuk pengadaan prasarana olahraga
di Jakarta. Belum lagi termasuk biaya rutin pembinaan yang
berkisar antara 200 sampai 250 juta rupiah per bulan. "Dulu
saudara-saudara mengeluh lantaran prasarana tidak ada. Sekarang
prasarana itu telah lengkap. Malah ada yang tidak dimanfaatkan
secara baik," tambah Ali Sadikin menyebut contoh pada penggunaan
Gelanggang Olahraga dan Hall Karate di Cempaka Putih yang lebih
banyak kosong dari kegiatan ketimbang dipakai oleh atlit.
Iri
Melihat kenyataan yang digambarkan Ali Sadikin, menyedihkan
memang. Bagaimana mungkin harapan yang diiming-imingkannya bisa
tercapai, jika pembina dan olahragawannya sendiri kurang memberi
tanggapan atas jerih payah yang dikeluarkan sang Gubernur.
Pengeluaran dana 12 milyard rupiah untuk olahraga bukan suatu
jumlah yang kecil buat takaran Asia. Kecuali untuk Jepang atau
RRT, barangkali. Mengingat imbalan yang diperoleh tak sebanding
dengan pengeluaran, tak ayal Ali Sadikin menantang Sekjen KONI,
M.F. Siregar dan pembina olahraga lainnya untuk bertaruh
mengenai urutan keberapa yang akan dicapai Indonesia dalam SEAP
(South East Asia Penninsula) Games -- di mana Indonesia dan
Pilipina telah dihakuhkan menjadi anggota, akhir tahun lalu --
1977 nanti. Setelah menghitung-hitung jumlah negara anggota, Ali
Sadikin lalu huka suara: "Saya yakin kita akan menduduki urutan
keenam". Ucapan jelas sebagai sindiran. Sebab fakta masih
menunjukkan untuk beberapa cabang olahraga -- bulutangkis,
tenismeja tenis, loncat indah, dan sebagian dari nomor renang --
kebolehan atlit Indonesia rasanya belum tergoyahkan. Tapi yang
dimaksud Ali Sadikin terang bukan itu. Keiriannya
bertitik-tolak pada prestasi yang dicapai oleh atlit seperti
Anat Rathanapol (Muangthai) yang memperpendek rekor lari l00
meter Asia menjadi 10 detik (rekor lama atas nama Mohamad
Sarenga 10,4 detik). Belum terhitung rekor-rekor renang yang
ditumbangkan atlit Singapura, dan lainnya. Sedang semua itu
mereka capai dalam fasilitas yang sama, kalau tidak mau disebut
lebih kurang dari Indonesia.
Siluman
Menumpulnya prestasi olahragawan lndonesia sesudah periode Asian
Games 1962 di Jakarta, menurut Ali Sadikin bukan tanpa sebab.
Tidak adanya pola pembinaan olahraga yang mantap dari pemerintah
merupakan rintangan yang tidak kecil dalam menembus prestasi
baru. "Ini perlu dicarikan jalan keluarnya". kata Ali Sadikin
sembari mengungkap keberhasilan team Jerman Timur menumbangkan
dominasi Jerman Barat, Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam
dunia olahraga. Padahal sesudah Perang Dunia II (1945), Jerman
Timur tak lebih dari "anak bawang". Berpedoman pada kesuksesan
itu, dan juga mempelajari dasar keberhasilan regu Indonesia
dalam Asian Games 1962, Ali Sadikin menunjang sepenuhnya ide
pengadaan sekolah khusus bagi atlit-atlit berprestasi di Ragunan
(Jakarta). Agar mereka tidak terombang-ambing antara karir dan
prestasi. Adakah usaha ini akan menjadi jawaban dari
"ketinggalan" Indonesia dari negara luar? Tantangan itu tentu
harus dibuktikan oleh olahragawan-olahragawan terpilih dalam
pertandingan internasional mendatang. Dengan catatan
pembina-pembinanya pun ikut merubah sifat. Tidak bermental
"siluman" -- ini istilah Ali Sadikin untuk tokoh-tokoh yang
hanya menginginkan jabatan semata tanpa mau bekerja -- serupa
sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini