Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Merubah Mental Siluman

Gubernur Ali Sadikin prihatin karena atlet jakarta belum mampu berbicara di arena internasional meski prasarana telah lengkap. Diharapkan pembina-pembina olah raga merubah sifatnya.

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUKUP alasan bila dalam pertemuan dengan pembina dan olahragawan Jakarta, Jumat 2 Januari malam lalu Gubernur Ali Sadikin menyatakan keprihatinan terhadap prestasi atlit-atlitnya. Keberhasilan 20 cabang olahraga mendominir kejuaraan nasional menurut Ali Sadikin hanya 19«, karena dalam sepakbola kebolehan Persija tidak begitu menggembirakan: juara bersama dengan PSMS -- ternyata tidak begitu membujuk hatinya. Sebab target yang diincar Ali Sadikin bukan lagi pada penitik-beratan pengumpulan piala dan medali emas. Melainkan dalam pemecahan rekor. "Kalau sekedar menjadi juara umum, itu sudah pasti di tangan kita", ucap Ali Sadikin. Tapi, "yang saya maui bukan itu. Saya ingin atlit-atlit Jakarta menembus rekor internasional". Ukuran internasional yang diinginkan Ali Sadikin tidak pula terlalu berlebihan. Melampaui rekor Asia saja pun cukup. Ia bukan tak punya alasan untuk rnenuntut persyaratan itu. Lebih 12 milyard rupiah telah dikeluarkannya untuk pengadaan prasarana olahraga di Jakarta. Belum lagi termasuk biaya rutin pembinaan yang berkisar antara 200 sampai 250 juta rupiah per bulan. "Dulu saudara-saudara mengeluh lantaran prasarana tidak ada. Sekarang prasarana itu telah lengkap. Malah ada yang tidak dimanfaatkan secara baik," tambah Ali Sadikin menyebut contoh pada penggunaan Gelanggang Olahraga dan Hall Karate di Cempaka Putih yang lebih banyak kosong dari kegiatan ketimbang dipakai oleh atlit. Iri Melihat kenyataan yang digambarkan Ali Sadikin, menyedihkan memang. Bagaimana mungkin harapan yang diiming-imingkannya bisa tercapai, jika pembina dan olahragawannya sendiri kurang memberi tanggapan atas jerih payah yang dikeluarkan sang Gubernur. Pengeluaran dana 12 milyard rupiah untuk olahraga bukan suatu jumlah yang kecil buat takaran Asia. Kecuali untuk Jepang atau RRT, barangkali. Mengingat imbalan yang diperoleh tak sebanding dengan pengeluaran, tak ayal Ali Sadikin menantang Sekjen KONI, M.F. Siregar dan pembina olahraga lainnya untuk bertaruh mengenai urutan keberapa yang akan dicapai Indonesia dalam SEAP (South East Asia Penninsula) Games -- di mana Indonesia dan Pilipina telah dihakuhkan menjadi anggota, akhir tahun lalu -- 1977 nanti. Setelah menghitung-hitung jumlah negara anggota, Ali Sadikin lalu huka suara: "Saya yakin kita akan menduduki urutan keenam". Ucapan jelas sebagai sindiran. Sebab fakta masih menunjukkan untuk beberapa cabang olahraga -- bulutangkis, tenismeja tenis, loncat indah, dan sebagian dari nomor renang -- kebolehan atlit Indonesia rasanya belum tergoyahkan. Tapi yang dimaksud Ali Sadikin terang bukan itu. Keiriannya bertitik-tolak pada prestasi yang dicapai oleh atlit seperti Anat Rathanapol (Muangthai) yang memperpendek rekor lari l00 meter Asia menjadi 10 detik (rekor lama atas nama Mohamad Sarenga 10,4 detik). Belum terhitung rekor-rekor renang yang ditumbangkan atlit Singapura, dan lainnya. Sedang semua itu mereka capai dalam fasilitas yang sama, kalau tidak mau disebut lebih kurang dari Indonesia. Siluman Menumpulnya prestasi olahragawan lndonesia sesudah periode Asian Games 1962 di Jakarta, menurut Ali Sadikin bukan tanpa sebab. Tidak adanya pola pembinaan olahraga yang mantap dari pemerintah merupakan rintangan yang tidak kecil dalam menembus prestasi baru. "Ini perlu dicarikan jalan keluarnya". kata Ali Sadikin sembari mengungkap keberhasilan team Jerman Timur menumbangkan dominasi Jerman Barat, Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam dunia olahraga. Padahal sesudah Perang Dunia II (1945), Jerman Timur tak lebih dari "anak bawang". Berpedoman pada kesuksesan itu, dan juga mempelajari dasar keberhasilan regu Indonesia dalam Asian Games 1962, Ali Sadikin menunjang sepenuhnya ide pengadaan sekolah khusus bagi atlit-atlit berprestasi di Ragunan (Jakarta). Agar mereka tidak terombang-ambing antara karir dan prestasi. Adakah usaha ini akan menjadi jawaban dari "ketinggalan" Indonesia dari negara luar? Tantangan itu tentu harus dibuktikan oleh olahragawan-olahragawan terpilih dalam pertandingan internasional mendatang. Dengan catatan pembina-pembinanya pun ikut merubah sifat. Tidak bermental "siluman" -- ini istilah Ali Sadikin untuk tokoh-tokoh yang hanya menginginkan jabatan semata tanpa mau bekerja -- serupa sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus