DALAM acara perpisahan di Ruang Pola DKI Jakarta, 2 pekan
lampau pelatih atletik asal Jerman Barat, Bert Sumser, 62 tahun
tak lupa memberikan petuah mengenai dunia olahraga. "Situasi di
Indonesia sekarang, sama dengan kondisi Jerman (Barat) 20 tahun
silam", katanya kepada TEMPO. Maksudnya: dana untuk pembinaan
ada, tapi disiplin di kalangan atlit dan pembina masih kurang.
Kekurangan itu, menurut Sumser merupakan sumber
ketidak-berhasilan dari suatu pembinaan untuk mengejar prestasi.
Buat mengatasi kelemahan tersebut yang perlu ditumbuhkan lebih
dulu adalah sifat kepemimpinan yang baik dari pembina olahraga
itu sendiri. Meski ia tidak menyitir istilah Ali Sadikin tentang
Pembina Siluman, tapi jantung permasalahan yang diungkapkannya
tak terlepas dari itu. Pengalaman menunjukkan bahwa sedikit
sekali pembina olahraga yang mempunyai kepemimpinan terpuji yang
ditemuinya di sini. Artinya yang bisa diteladani kolega dan
atlitnya.
Di dunia atletik tokoh yang memenuhi persyaratan itu adalah
Ketua PASl, Letjen Sajidiman. Ciri kepemimpinannya ditandai
dengan perhatiannya yang begitu besar terhadap atlitnya. Waktu
luang yang seharusnya bisa dipergunakannya untuk keluarga,
dipakainya buat menjumpai anak asuhannya di Pelatnas. Untuk
sepakbola, Sumser mengambil contoh pada Pimpinan Persatuan
Sepakbola Jayakarta, Frans Hutasoit dan dokter Suhantoro yang
tanpa menghiraukan hujan lebat tetap berada di pinggir lapangan
meperhatikan permainan kesebelasannya. Buat yang di belakang
meja, tokoh yang memiliki kepemimpinan yang baik itu pilihan
jatuh pada Sekretaris Komite Olympiade Indonesia, Suworo. Tokoh
ini trampil dalam menyiapkan segala sesuatu yang menjadi
urusannya. Sekalipun contoh yang dikemukakan Sumser terbatas
pada beberapa nama, bukan berarti pribadi lain tidak ada. Tapi,
pada dasarnya "Pembina Siluman" memang lebih banyak daripada
"Pembina Nyata".
Lepas dari soal kepemimpinan, Sumser beralih pada watak atlit.
Ia membagi 4 tabiat olahragawan dalam masalah ini. Pertama,
atlit tipe pejuang (fighter). Olahragawan ini memiliki sifat
pantang menyerah, dan selalu optimis menghadapi pertandingan.
Dan itu merupakan modal pokok untuk memenangkan kejuaraan.
Kedua, atlit tipe sensitif. Umumnya mereka kurang percaya pada
kemampuan sendiri. Ketiga, atlit tipe tenang dan berimbang.
Olahragawan yang memiliki sifat ini, biasanya disiplin dan
bekerja keras dalam latihan. Tapi tidak punya kemauan membaja
dalam pertandingan. Baginya kalah atau menang tak ada
pengaruhnya. Sebab mereka berpedoman: hari esok masih ada
kesempatan. Keempat, atlit tipe aktor. Atlit semacam ini lebih
mementingkan prestise daripada prestasi. Umumnya mereka lebih
sok tahu dari pelatihnya. Tanpa mau menyebut atlit Indonesia
tergolong dalam tipe yang mana, Sumser memilih untuk mengatakan:
"Marilah kita introspeksi diri kita sendiri".
Kendati Bert Sumser merasa sungkan buat menunjuk hidung, tapi
inti permasalahan yang disampaikannya sama sekali tidak salah
alamat. Sebab prototipe "Pembina Siluman" dan atlit yang
memiliki sifat kedua, ketiga, dan keempat banyak sekali di sini.
Aneka ragam kepemimpinan dan tipe atlit yang diungkapkan Sumser
perlu untuk ditanggapi dengan kelapangan hati. Tanpa itu berapa
pun dana dan perhatian yang dicurahkan oleh pemimpin seperti Ali
Sadikin tak bakal ada mantaatnya. Dan kita akan selalu terpukul
oleh jargon-jargon dan prestasi yang pernah dicapai olahragawan
"tua". Bahkan adakalanya mereka pun terlupakan. Padahal,
"mereka itu bukan hanya menimbulkan kebanggaan bagi klta, juga
pengalamannya pun dapat dimanfaatkan", kata Sumser. Petuah yang
disampaikan Sumser ini bukan terlalu asing dan cerita baru buat
dunia olahraga Indonesia. Tapi toh perlu untuk mawas diri.
Apalagi datangnya dari coach asing yang pernah tiga kali
berkunjung ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini