RINUS Michels tiba di Jakarta, Selasa pekan silam. Arsitek total football dari Belanda ini menjadi tamu penting. Ia didampingi pengurus Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA), Frits Ahlstrom dari Denmark dan S. Subramaniam dari Federasi Sepak Bola Asia. Maksud kunjungan bekas pelatih tim nasional Belanda itu bukan untuk melatih PSSI, melainkan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi persepakbolaan kita. Selain ke Jakarta, dalam kunjungan selama 12 hari, Michels juga ke Bandung, Surabaya, dan Medan. Di kota-kota tadi, ia disuguhi kompetisi perserikatan dan galatama. Di samping itu, dalam kapasitas sebagai penasihat teknis FIFA, ia diharapkan memberikan sedikit saran tentang sistem kompetisi yang baik. Adapun Frits Ahlstrom, pendampingnya, menangani soal organisasi. Bagi pecandu sepak bola, Marinus Michels -- begitu nama lengkapnya -- yang kini berusia 66 tahun, bukanlah nama asing. Selain terkenal sebagai arsitek sistem permainan total football, dia pula yang mengorbitkan prestasi sepak bola Negeri Kincir Angin itu. Setidaknya ini dibuktikan Michels saat mengantar Johan Cruyff dan kawan-kawan melaju ke final Piala Dunia 1974. Saat itu, Belanda hampir tak dapat diredam tim mana pun. Sayang, di final, menghadapi tuan rumah Jerman Barat, anak asuh Michels takluk 1-2. Boleh jadi, kegagalan itu disebabkan rasa percaya diri tim Belanda yang kelewat besar. Pada saat pertandingan berjalan dua menit, gawang Jerman Barat yang dikawal kiper tangguh Sepp Maier sudah jebol. Saat itu, kapten kesebelasan Johan Cruyff yang sudah berhadapan dengan Maier diganjal keras oleh bek Berti Vogts. Wasit James Taylor dari Inggris menunjuk titik putih. Johan Neeskens, yang dipercaya sebagai algojo, melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, berkat dukungan 60.000 penonton yang membanjiri stadion olimpiade Munchen, tuan rumah bangkit lagi. Masih dalam babak yang sama Beckenbauer dkk. menyarangkan dua gol ke gawang Belanda, yang dikawal Jan Jongbloed. Meski kalah, toh prestasi anak asuhan Michels tetap dikagumi pecandu bola dunia. Mereka sepakat, Belanda adalah juara dunia tanpa mahkota. Sebagian pengamat malah menyatakan, bila pertarungan itu digelar di Amsterdam, niscaya Belanda pemenangnya. Perasaan kecewa membuat Michels meletakkan jabatan sebagai pelatih tim nasional Belanda. Namanya pun hampir dilupakan orang. Akibatnya, prestasi Belanda kedodoran. Pada 1978, Ernst Happel, pelatih asal Austria, memang mampu mengantar Belanda ke final -- secara terseok-seok. Di babak penyisihan, Belanda keok 3-2 dari tim ayam sayur Skotlandia. Setelah itu, meski sekadar lolos ke Piala Dunia, Belanda pun tak mampu. Rupanya, pacekliknya prestasi Belanda memaksa Michels untuk tampil lagi tahun 1988. Hasilnya meyakinkan. Dalam Piala Eropa tahun itu, pelatih bertangan dingin ini mengantar Belanda ke tangga juara. Sebelum tampil di final, pasukan Michels yang diperkuat kuartet Ruud Gullit, Marco van Basten, Ronald Koeman, dan Frank Rijkaard menghajar tim tuan rumah Jerman Barat. Dalam partai balas dendam itu, luka lama Michels seperti terobati. Hasil akhirnya persis dengan kejadian tahun 1974, yakni 2-1. Bahkan, yang agak sulit dipercaya adalah rangkaian gol demi gol dalam pertarungan itu. Jerman Barat unggul lebih dulu juga melalui tendangan penalti. Begitupun dengan gol balasan Belanda. Tapi nama harum Michels bukannya diraih tanpa "perjuangan dan doa". Selain perlu menerapkan disiplin ketat, Michels dalam jumpa pers Kamis pekan lalu di Jakarta menyatakan, tim nasional yang baik tak mungkin dibentuk dalam waktu singkat. Menurut dia, langkah penting yang harus dilakukan adalah membina pemain berbakat sejak awal. Ini, kata Michels, harus dilakukan sejak pemain masih berusia 12 tahun. "Pada usia itu, pemain yang berbakat saja yang berhak melanjutkan langkahnya sampai ke kelompok usia 16 tahun," katanya. Untuk sampai ke periode paling penting, yakni 18 tahun, pemain sekali lagi harus disaring. "Nah, pada usia itu mereka harus diberi pelatih berkualitas tinggi," ujar Michels. Soalnya adalah, apakah Indonesia punya orang seperti dimaksudkan Michels. Sebab, kriteria yang dipatoknya agaknya sulit ditemukan di sini. Seperti kata Michels, "Ia harus bekas pemain berpengalaman, berkualitas, dan berwibawa." Lalu, apa komentarnya terhadap sepak bola Indonesia? Michels, yang Jumat pekan lalu berada di Bandung menyaksikan kompetisi perserikatan Persib Bandung melawan Persiraja Banda Aceh, mengaku cukup puas. Wajar jika ia berkata demikian. Pertarungan kedua tim yang dimenangkan Persib dengan skor mencolok 4-1 itu berlangsung bersih. Seandainya Michels disuguhi pertandingan Persib melawan PSMS Medan, bisa jadi ia bersikap sebaliknya. Pertemuan dua musuh lama yang berakhir sama kuat itu diwarnai dengan atraksi ganjal-mengganjal menyalahi textbook. Belum lagi ulah penonton yang menghujani pemain dengan benda-benda keras. Mungkin Anda masih ingat tingkah Michels saat gawang Jongbloed dihajar ujung tombak Jerman Barat, Gerd Muller. Nah saat itu Michels hanya bisa geleng-geleng kepala seraya menggaruk kepalanya yang berambut tipis itu.Andi Reza Rohadian dan Taufik Abriansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini