Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Istri teraniaya dan penis yang terpotong

Lorena bobbitt, yang memotong penis suaminya, diputus bebas oleh pengadilan di as. kewarasannya dianggap terganggu akibat penderitaannya dalam perkawinan.

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JURI di Pengadilan Negeri Mannasas, sekitar 50 km dari Washington, D.C., Amerika Serikat, akhirnya memutuskan Lorena Bobbitt tidak bersalah. Keputusan itu diumumkan Jumat pekan lalu. Lorena, wanita yang kini sangat populer di AS, telah memotong penis suaminya, yang sedang tidur pulas, hingga putus, 23 Juni tahun lalu. Begitu usai memotong, ia kabur dengan mobil sambil membawa "barang" suaminya dan membuangnya di semak-semak dekat toko 7-Eleven di pinggir jalan. Untunglah, ia kemudian menyesal. Perempuan manis berusia 24 tahun kelahiran Ekuador ini kemudian menelepon polisi, melaporkan apa yang telah dilakukan sambil menunjuk lokasi tempat anggota tubuh John Wayne Bobbitt itu dibuang. Beruntung pula polisi berhasil menemukan potongan tubuh itu dengan segera. Tim dokter, setelah melakukan operasi selama sembilan setengah jam, berhasil menyambung potongan itu ke tempat asalnya dan memperkirakan keadaan akan kembali normal setelah dua tahun. Yang tidak normal adalah reaksi masyarakat AS. Kasus istri memotong penis suami ini ternyata menggugah perhatian jutaan penduduk negara superkuat itu. Padahal, ini bukan kasus pertama yang terjadi di AS. Di Thailand, kasus ini bahkan cukup kerap terjadi. Toh tak urung, 300-an wartawan berbagai media meliput persidangan di ruang yang hanya mampu menampung 43 penonton itu. Sekitar 20 truk milik stasiun televisi, lengkap dengan antena parabolanya, nangkring di tempat parkir. Dari antena parabola itulah jalannya sidang dipancarkan ke satelit untuk dipancarkan ulang ke seluruh dunia, termasuk oleh stasiun TV CNN. "Saya sulit mempercayai hal ini," kata Greta Van Sustern, pengacara yang menjadi komentator CNN. "Tapi rating peliputan ini ternyata tinggi," tambahnya. Pol yang dilakukan majalah Newsweek malah menunjukkan bahwa 60% penduduk AS mengikuti jalannya persidangan ini. Tak peduli pria atau wanita. Soalnya, pengumpulan pendapat Newsweek tadi menunjukkan porsi keduanya boleh dikata sama. Yang umumnya berbeda adalah reaksi mereka atas keputusan "tak bersalahnya" Lorena. "Saya simpati pada penderitaan yang dialami Lorena Bobbitt, namun tetap beranggapan apa yang dilakukannya merupakan tindakan kriminal," kata Paul B. Ebert, sang penuntut umum. Adapun Lisa B. Kemler, salah satu anggota tim pembela Lorena, berpendapat kliennya melakukan pemotongan karena terpaksa. "Ia selama empat setengah tahun terus-menerus menerima penganiayaan suaminya yang kejam," katanya dalam pembelaannya di depan juri. Lantas, ketika John Bobbitt memaksakan nafsu berahinya pada 23 Juni yang nahas itu, "penganiayaan seksual terakhir ini tak tertahankan". Begitu Bobbitt tidur pulas, Lorena mengambil pisau ke dapur dan terjadilah semuanya itu. John Bobbitt membantah pemerkosaan itu, tetapi mengakui malam itu ia baru kembali dari berkunjung ke beberapa tempat minum. Bekas marinir berusia 26 tahun ini memang gemar menenggak minuman keras, bahkan sebelumnya pernah menjadi penjaga malam di sebuah bar. Bobbitt terbukti bukan suami yang baik. Berbagai saksi, seperti tetangga, menuturkan bagaimana mereka acap menemukan Lorena memar akibat siksaan suaminya. Lorena bahkan menuturkan bagaimana suaminya mempraktekkan "teknik-teknik penyiksaan marinir" terhadap dirinya. Bahkan, setelah kasus pemotongan ini, Lorena sempat mengajukan suaminya ke sidang pengadilan dengan tuduhan penyiksaan terhadap istri. Pengadilan memutuskan John Bobbitt tak terbukti bersalah. Dan pekan lalu, tim juri yang terdiri dari 7 wanita dan 5 pria juga menyatakan Lorena tak bersalah atas tuduhan jaksa melakukan "penganiayaan kejam yang mengakibatkan luka". Artinya, perempuan yang banyak menangis di pengadilan ini terbebas dari ancaman hukuman kurungan maksimum 20 tahun dan deportasi ke negara asalnya. Para juri membebaskan Lorena dengan alasan ketidakwarasan. Itulah sebabnya Lorena segera dilarikan polisi ke rumah sakit jiwa begitu keputusan pengadilan usai dibacakan. Bahwa secara kejiwaan Lorena Bobbitt terganggu tampaknya tak ada yang meragukan. Para pakar kejiwaan yang diajukan penuntut umum sebagai saksi ahli pun mengakui bahwa wanita yang ber-IQ 83 ini menderita gangguan kejiwaan dalam tiga tahun terakhir perkawinannya. Lorena dianggap menderita sindrom battered wife alias istri teraniaya. Sindrom ini pertama kali dimunculkan oleh Psikolog Lenore Walker pada tahun 1970-an. Penderitanya acap bereaksi atas penyiksaan suaminya dengan menyalahkan dirinya sendiri. Karena itu, mencari jalan keluar dengan perceraian jauh dari bayangannya. Hingga, pada suatu saat, akhirnya tak tahan lagi dan meledak dalam aksi kekerasan. "Ini adalah wanita yang mengidentikkan dirinya begitu kuat dengan suaminya yang kejam, yang begitu menjajah hingga tak mungkin meninggalkannya, dan akhirnya malah meledak dalam bentuk kekejaman pula," kata Cynthia Heimel, kolumnis yang banyak membahas masalah feminisme. Di Indonesia, teori sindrom istri teraniaya belum pernah digunakan di persidangan. Jangan-jangan, di sini juga banyak narapidana wanita yang dihukum akibat terkena sindrom tadi.Bambang Harymurti (Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum