Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menelusuri angke dan reklamasi PIK

Pengurukan proyek pantai indah kapuk dengan gundukan pasir telah menumbuhkan lagi kekhawatiran akan terjadinya banjir. mengapa hutan dan danau buatan belumjuga dibangun?

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK ia hadir di persada cagar alam Angke Kapuk, Jakarta, proyek itu tak hentinya menjadi sumber kebisingan. Hampir dua tahun lalu -- semester kedua tahun 1992 -- proyek yang dikenal dengan nama Pantai Indah Kapuk (PIK) ini banyak mengundang komentar orang, karena dikhawatirkan bisa merusak ekosistem di kawasan itu. Yang sangat dirisaukan adalah kemungkinan tenggelamnya jalan tol Sedyatmo, yang menghubungkan Jakarta dengan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Kini PIK kembali disorot, karena sejak akhir tahun lalu puluhan truk besar, tanpa henti, menderu-deru menyisir tepian cagar alam. Mereka membawa ribuan ton pasir, kemudian menumpahkannya ke proyek permukiman PIK, yang terletak di sebelah barat daya cagar alam tersebut. Seirama dengan hiruk-pikuk di cagar alam, terjadi pula kegiatan yang tak kurang berisik di PIK. Dua kapal pengeruk jenis Hopper Suction Dredger, milik BUMN Departemen Perhubungan, secara bergantian menyuplai pasir ke sana. Menurut beberapa karyawan PIK, pasir itu diambil dari Tanjungkait dan Cituis, di Kepulauan Seribu. Untuk keperluan itu, sebuah pipa berdiameter 50 sentimeter tak henti-hentinya menyedot pasir dari kapal dan kemudian menimbunnya di sebelah cagar alam. Tak aneh bila sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat hanyalah kawasan yang ditimbun tanah dan pasir. Hutan dan danau buatan yang merupakan persyaratan untuk dikeluarkannya izin pembangunan PIK belum juga kelihatan sosoknya. Yang tampak hanyalah kegiatan reklamasi pasir, yang diperkirakan mencapai luas 20 hektare. Ada kekhawatiran, reklamasi itu akan mengancam kelestarian cagar alam Angke Kapuk. Ya, bagaimana tidak?! Daerah penyangga cagar alam, yang sebenarnya harus dipertahankan keasliannya, ternyata ikut pula diuruk. Dan sebegitu jauh, tidak ada teguran, baik dari Pemda DKI maupun Departemen Kehutanan -- dua instansi yang merestui pembangunan PIK. Tumpang tindih reklamasi terjadi mungkin karena tak ada batas yang jelas antara cagar alam dan proyek PIK. Padahal, sebelumnya, pemilik PIK, yakni PT Mandara Permai, telah sepakat untuk membangun pembatas antara cagar alam dan lokasi proyek selebar 100 meter. Nah, jangankan hutan ataupun danau buatan, pembatas itu saja tidak juga dibangun. Yang disibukkan adalah reklamasi pasir, sehingga puluhan truk pasir tak henti-henti menggilas kawasan penyangga cagar alam. Menurut sumber Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), pembangunan permukiman di daerah penyangga cagar alam telah menyalahi Undang-Undang Tata Ruang (lihat Ubah Fungsi di Tangan Menteri). Maksudnya, jika pembangunan PIK akan diteruskan, DPR harus dikonsultasi untuk perubahan peruntukan daerah penyangga. "Tapi, setahu saya, sampai saat ini belum ada perubahan peruntukan daerah penyangga," kata sumber di Bapedal. Mungkin karena itu, pihak Bapedal belakangan kembali mempersoalkan pembangunan PIK. Seorang staf dari lembaga itu mengatakan, instansinya telah mengajukan dua usul ke Pemda DKI. Pertama, menyangkut evaluasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan proyek PIK. Adapun yang kedua berupa saran kepada Pemda DKI agar merevisi dokumen amdal (analisa mengenai dampak lingkungan). Usul Bapedal ini agak mengherankan, memang. Soalnya, sejak pembangunan dimulai dua tahun lalu, pihak PIK sudah mengantongi izin dari Departemen Kehutanan dan Pemda DKI. Lalu mengapa? Rupanya, selama pembangunan berlangsung, ada beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan PIK. Salah satu persyaratan itu adalah pembangunan danau dan hutan buatan -- yang telah disinggung pada awal cerita ini -- yang memang belum dipenuhi sampai kini. Padahal, persyaratan itu tertulis di dalam amdal yang telah disetujui Bapedal DKI. Hal lain, ya, soal reklamasi. "Reklamasi itu dikhawatirkan menimbulkan bencana bagi penduduk di sekitarnya," kata sumber di Bapedal. Sebelum adanya pembangunan PIK, menurut sumber yang tak mau disebutkan namanya ini, kawasan PIK merupakan rawa- rawa. Rawa ini semula berfungsi untuk menampung luapan air dari Cengkareng Drain. Dengan adanya reklamasi, luapan air dari Cengkareng Drain akan menggenangi kawasan industri dan penduduk di luar PIK. Sedangkan permukiman PIK, karena menggunakan sistem polder (pengatur ketinggian air tanah), bebas dari banjir. Hal lain yang juga tak diantasipasi sebelumnya, yakni reklamasi itu. Pihak Bapedal menilai reklamasi PIK dapat menyebabkan aliran air pasang-surut dari darat ke laut terputus. Pihak Mandara Permai menampik semua kekhawatiran itu, termasuk terjadinya banjir. Kekhawatiran itu tak beralasan, begitu dalihnya. Pihak Mandara sesumbar akan menjaga ketinggian air tanah dengan mempertahankan rawa-rawa selebar 20 meter. Bila kemarau tiba dan air rawa turun, air akan dipompa dari Cengkareng Drain. Sedangkan untuk menampung kelebihan air, terutama di musim hujan, akan dibangun waduk 100 meter di kanan kiri rawa tadi. Soal pembangunan kota di atas hutan bakau itu, menurut pihak PIK, telah sesuai dengan rencana umum tata ruang 1985-2005 untuk Jakarta Utara dan rencana bagian wilayah kota Kecamatan Penjaringan. "Kami tidak akan membangun kalau tidak mendapat izin dari pemerintah (Pemda DKI, Red.)," kata pihak Mandara. Keterangan ini didukung pihak Pemda DKI. Menurut Wakil Gebernur DKI Bidang Ekbang, T.B. Rais, selain diperuntukkan bagi tempat rekreasi, cagar alam, bisnis, dan pelabuhan, kawasan Jakarta Utara diizinkan untuk dikembangkan menjadi daerah permukiman. "Persaingan semakin ketat. Karena itu, kita perlu mempunyai keunggulan," kata Rais. Hingga kini Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan dua sertifikat untuk lahan sekitar 100 hektare, sedangkan dua izin lainnya masih dalam proses. Dalam soal perizinan, Mandara memang tak ada kelemahan. Anak perusahaan Grup Pembangunan Jaya ini, misalnya, memperoleh izin dari Departemen Kehutanan (tahun 1984) untuk membangun PIK di atas hutan Muara Angke. Sedangkan amdal dari Bapedal, yang menjadi pegangan dalam masalah lingkungan, sudah pula dikantongi dua tahun silam. Namun, apa yang terlihat di lapangan ternyata tak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan. Malah, hutan bakau buatan dan danau buatan belum juga dibangun padahal sarana itu sangat diperlukan untuk habitat burung, monyet, dan kucing hutan. Tak aneh bila di kawasan PIK kini monyet sulit dipergoki. "Saya belum pernah melihat kera di sini. Apa dulu ada kera di sini?" begitulah yang ditanyakan seorang pekerja di sana. Yang tak kalah penting, dan mungkin sudah mendesak, hutan bakau buatan juga berguna untuk menahan abrasi laut. Dewasa ini, kondisi hutan bakau di sekitar proyek PIK menurun. Ketebalannya cuma 50 meter. Malah, hutan itu diterabas pipa penyalur pasir sepanjang satu kilometer. Memang, untuk tempat tinggal berbagai satwa dan menahan menahan abrasi laut itulah, pihak Mandara diharuskan menghijaukan hutan bakau hingga ketebalannya mencapai 150-200 meter. Tapi, seperti yang dituturkan seorang staf di Bapedal, hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa pihak PIK akan menanam pohon bakau. Benarkah? Pengelola Mandara mengaku bahwa pihaknya tak bertanggung jawab atas pembuatan hutan bakau tersebut. "Penghijauan itu bukan tugas kami. Kalau tak salah, Departemen Kehutanan yang akan melakukannya," kata seorang staf PT Mandara Permai kepada TEMPO. Adapun mengenai pengurukan rawa-rawa, pihak PIK mengatakan telah menyerahkan pengerjaannya ke perusahaan lain. Kontrak itu, menurut seorang manajer Mandara Permai, mencakup penambangan pasir sampai pengurukan. Sekali lagi, kasus PIK ini memberi petunjuk tentang betapa lemahnya kontrol pelaksanaan Amdal di lapangan oleh pihak Pemda DKI. "Amdal itu, ya, seperti SIM. Kalau punya SIM, apa selalu benar?" kata Kepala Biro Bina Lingkungan Hidup Pemda DKI Jaya, Aboejowono. Jawaban ini memang ada benarnya. Dan "SIM" itu juga agaknya yang menyebabkan, mengapa proyek itu jadi sumber kebisingan selama dua tahun terakhir seperti yang disinggung pada awal tulisan ini.Bambang Aji dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum