APA lagi yang belum dimiliki AC Milan? Gelar juara dunia yang kedua kalinya disabet tahun lalu, setelah ia membabat Nacional Kolumbia 1-0 di Tokyo. AC Milan pun sudah membuktikan sebagai klub terkuat Eropa dengan membantai Steau Bucharest 4-0 di Barcelona, juga tahun lalu. Ini gelar ketiganya di Piala Champions. Di Italia sendiri, sampai dengan 1988, klub ini sudah 11 kali juara kompetisi Liga. Lalu, empat kali juara Piala Italia dan dua kali juara Piala Winners. Itu prestasinya di lapangan. Kepopulerannya melewati batas samudera. Di banyak negara, klub ini punya fans club yang diatur oleh AC Milan Club dari markasnya di Milano. Salah satunya ada di Bali, dengan nama "Poker AC Milan Bali Club", yang diketuai Ezio Migliavacca, 38 tahun. Migliavacca, orang Italia yang sudah 10 tahun tinggal dan menikah dengan orang Bali itu, adalah pengusaha pakaian jadi di Kuta. Fans club ini sudah punya 50 orang anggota yang didaftarkannya ke AC Milan Club, dengan uang pendaftaran masing-masing Rp 100 ribu. Kegiatan fans di Bali itu masih berupa pesta-pesta jika AC Milan menang. Misalnya, mereka berpawai di Kuta dengan membawa spanduk AC Milan. Ezio Migliavacca, yang punya nama Bali Made Kresna, pernah menonton langsung ketika AC Milan bertanding melawan Nacional di Tokyo. "Setiap fans club akan diberi kartu bebas nonton sepak bola di Milano," kata Made Kresna kepada Joko Daryanto dari TEMPO. Jadi, apa yang kurang pada AC Milan? Tapi itulah, menginjak Tahun Kuda ini, klub itu mendadak malang. Keroposnya klub ini dimulai sejak awal Maret lalu, ketika ia ditundukkan Napoli 1-3. Sejak itu, penampilan AC Milan terus memburuk. Nasib malang itu ditambah dengan cederanya Ruud Gullit. Bintang asal PSV Eindhoven ini cedera lutut sejak Mei 1989, ketika Belanda beruji coba melawan Finlandia. Gelar juara Liga Italia tahun ini, yang hampir di tangan, akhirnya disabet Napoli. Tanpa Gullit, Frank Rijkaard, yang belakangan bermain di lapangan tengah, juga lebih banyak hanya berlari-lari. Bahkan Marco van Basten, yang merupakan pencetak gol terbanyak di kompetisi kali ini dengan 19 gol, juga tak mampu mengangkat pamor Milan. Di babak-babak akhir kompetisi, AC Milan makin menurun. Di antaranya sempat ditahan klub lemah Bologna 0-0. Dan dua pekan lalu, secara menyakitkan klub ini kalah dari klub urutan nomor dua dari belakang, Verona, dengan 1-2. Pertandingan ini merupakan gambaran jelas betapa frustrasinya AC Milan. Pelatih Arrigo Sacchi diusir dari pinggir lapangan. Tiga pemainnya, termasuk Marco van Basten dan Rijkaard, kena kartu merah. Marco van Basten sampai perlu membuka kostum merah-hitamnya dan memperlihatkan kaus singletnya untuk memprotes wasit. Tragisnya, dalam pertandingan itu, Gullit justru mulai diturunkan setelah hampir setahun absen. Pers Italia menuding, diturunkannya Gullit merupakan kesalahan paling besar yang dibuat Sacchi. Apa boleh buat, klub yang didirikan pada 1899 oleh grup pengusaha Italia dan Inggris di Milano itu terpaksa menanggung malu. Tapi bencana tak sampai di situ. Rabu pekan lalu, di final Copa Italia (Piala Italia), yang kedua di kandang sendiri AC Milan ditaklukkan Juventus dengan 0-1. Pertandingan pertama di Turino berakhir seri 0-0. Sungguh sial, AC Milan. Memang, masih ada satu kesempatan bagi AC Milan untuk mengangkat pamor, yaitu final Piala Champions -- yang diikuti klub-klub juara kompetisi di negara masing-masing -- melawan Benfica Portugal di Wina, 23 Mei nanti. Jika ditilik prestasinya, dan juga sejarahnya, AC Milan berada di atas angin. Pada 1963 di Wembley, juga dalam final Piala Champions, AC Milan mengalahkan Benfica 2-1. Entah nanti di Wina dengan kondisi AC Milan yang seperti ini, banyak minusnya. Moril dan semangat bertandingnya sedang anjlok. Ruud Gullit hampir pasti absen kembali, setelah tampil serba ragu-ragu lawan Verona. Namun, melorotnya AC Milan bukanlah pertanda ambruk buat sepak bola Italia. Kenyataannya justru sebaliknya, klub-klub Italia lainnya mengalami pasang naik. Lihat saja Juventus, pemegang Piala Champions 1985 yang mengalahkan Liverpool 1-0 dalam pertandingan yang kemudian dikenal sebagai "Tragedi Heysell". Klub peringkat keempat -- di kompetisi tahun ini, yang sudah 22 kali menjuarai kompetisi Italia, kini akan terlibat perang saudara dalam all Italian final Piala UEFA melawan Fiorentina peringkat ke-12 kompetisi. Perebutan Piala UEFA diikuti klub-klub negara Eropa, dan tiap negara bisa mengirim lebih dari satu klub, tergantung "kuota" yang diberikan kepada negara tersebut. Di Piala Winners, Sampdoria, juara FA Italia dan peringkat kelima kompetisi Liga Italia, akan menantang Anderlecht, juara FA Belgia, di Gothenburgh, Swedia, 9 Mei nanti. Kalau saja tiga piala kejuaraan Eropa nanti bisa dibawa ke bumi "spaghetti" itu, maka itulah pertama kali begitu banyak supremasi sepak bola Eropa diborong Italia. Dan itu tampaknya bukan tak mungkin. Mengapa Italia begitu hebat dalam persepakbolaannya? "Itu berkat pemain asing," kata bekas pelatih nasional tim Indonesia Sinyo Aliandoe. Ruud Gullit dan Marco van Basten di AC Milan, Maradona serta Careca di Napoli, Lothar Mattheus di Inter Milan, Rui Barros di Juventus, dan mungkin ada yang lain lagi, dinilai Sinyo banyak berperan mengangkat mutu kompetisi di Italia. Teknik dan taktik yang tinggi dari pemain impor itu memungkinkan kompetisi yang ketat dan menarik. Maka, lihatlah betapa penuhnya stadion-stadion Italia. Karena itu, kendati selama uji coba tim nasional Italia belum meyakinkan, Sinyo menyebut Italia sebagai salah satu favorit juara Piala Dunia 1990. Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini