HATI Harry Wicaksono berbunga-bunga. Pada 1982 itu, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia mulai menghiasi belakang namanya. Namun, rasa optimisme itu segera pudar ketika harus turun sebagai sarjana baru ke tengah masyarakat. Salah satu hal yang semula tidak pernah diperhitungkan akan menyulitkannya adalah bahasa Inggris. Ternyata, percakapan bahasa Inggris sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan kerja. Yang dibutuhkan, bahasa Inggris dengan banyak terminologi hukum. Belum lagi ketidaktahuan cara membuat surat gugatan, menyusun kontrak, merancang surat kuasa, dan lain-lain. "Saya mendapat ilmu justru dari masyarakat walaupun dengan terbentur-bentur," ujar Harry, yang kini sudah menjadi pengacara. Pengalaman Harry ternyata juga ditemui oleh hampir semua sarjana hukum. Baik lulusan universitas negeri maupun swasta. Kurikulum fakultas hukum dianggapnya kurang membekali para sarjana hukum menjadi siap pakai. Karena itulah, Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Mochtar Kusuma Atmadja mengungkapkan akan mengadakan pengkajian untuk memperbaiki kurikulum pendidikan hukum. Hal ini diangkat ke permukaan setelah ia menghadap Presiden Soeharto beberapa waktu lalu. "Orientasi pendidikan hukum, selama ini, kurang diarahkan pada profesionalisme, keterampilan, dan penguasaan masalah yang diperlukan dalam kehidupan. Mungkin terlalu akademis," kata Mochtar. Orientasi akademis memang tetap diperlukan. Namun, kalau hanya keterampilan yang diutamakan, maka sarjana yang dihasilkan hanya akan menjadi tukang saja. Sebenarnya, kata bekas menteri luar negeri ini, ia tidak bermaksud mengubah total kurikulum fakultas hukum karena, katanya, aturan dari Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1983 sudah cukup baik. Hanya, ada hal yang belum dilaksanakan. Misalnya kurang adanya keseimbangan antara pembinaan profesional dan akademis. Pendapat ini disetujui oleh Satjipto Rahardjo, guru besar ilmu sosiologi hukum FH Universitas Diponegoro. Menurut Satjipto, untuk mencetak sarjana hukum yang profesional, setidaknya masih diperlukan tambahan pendidikan spesialisasi 1-2 tahun seusai S1. Alasannya, kurikulum sekarang masih ada yang cuma kelanjutan kurikulum zaman Belanda. Ada sebagian mata kuliah titipan, dan ada pula yang tak langsung berkaitan dengan profesi. Revisi kurikulum zaman Belanda -- yang pernah diadakan -- juga belum terasa mendasar. Pembantu Dekan I Bidang Akademis FH Universitas Islam Indonesia Yogyakarta M. Busyro Muqodas menambahkan bahwa kurikulum pendidikan hukum sekarang belum jelas apakah sudah sesuai dengan masyarakat atau belum. Busyro mengambil contoh kuliah filsafat hukum yang masih berkiblat ke Barat. Yang dianggap sudah sesuai dengan kondisi masyarakat, misalnya, isi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Karena itu, penyusunan kurikulum baru -- yang mengarahkan mahasiswa pada profesionalisme -- harus mencerminkan budaya Indonesia. Beberapa pakar hukum berharap agar kurikulum mendatang diarahkan pada hal yang lebih praktis. Misalnya, kata Ketua Jurusan Hukum Internasional FH Universitas Padjadjaran Mieke Komar Kantaatmadja, mata kuliah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, pembuatan Legal Drafting harus diberikan dalam porsi yang cukup besar. Sekarang ini, beban kuliah yang harus disandang mahasiswa terlalu berat. Seorang mahasiswa hukum, kata Dekan FH Universitas Trisakti Suherman, harus menyelesaikan 70 mata kuliah. Padahal, ada mata kuliah yang tak menunjang profesi. Misalnya, kata Mieke, mata kuliah dasar umum (MKDU) terlalu berlebihan. Bahkan ada mata kuliah, seperti ilmu budaya dasar, bisa saja dihilangkan. Namun, tidak siap pakainya sarjana hukum juga disebabkan oleh faktor mahasiswa sendiri. Mereka, ada yang asal lulus dan tak mendalami ilmunya. Banyak mahasiswa hukum sekarang dinilai tidak suka membaca buku hukum dan mendiskusikan masalah hukum yang timbul di masyarakat. Belum lagi kemampuan bahasa asingnya yang minim. Ini tentu memberatkan mereka yang akan terjun ke masyarakat. Sistem ujian pun dianggap kurang mendorong mahasiswa siap terjun ke masyarakat. Sistem mulfiple choice, menurut Dekan FH Universitas Diponegoro Muladi, harus diubah menjadi sistem ujian yang mengembangkan daya analisa. Multiple choice dinilainya hanya cocok untuk jurusan eksakta. Sebenarnya, bukan tidak ada perguruan tinggi yang mencoba menekankan segi profesionalisme. Mochtar mengambil contoh FH Universitas Airlangga, Surabaya, dan beberapa FH di luar Jawa. Mereka sudah menerapkan metode pengajaran yang berlandaskan kebutuhan masyarakat. FH Universitas Padjadjaran pun, katanya, pernah mempraktekkan mata kuliah Hukum Klinis -- yang sangat menekankan keterampilan hukum mahasiswa. Sayang, kuliah yang diadakan pada 1980 ini terhenti karena kurangnya dana. Biaya untuk dosen dan bahan peraga yang mendukung kuliah ini memang tak sedikit. "Jika kita mau memenuhi tuntutan masyarakat, pendidikan hukum perlu diubah. Berilah Konsorsium Ilmu Hukum kebebasan untuk menyusun kurikulumnya," kata Satjipto, Ketua Konsorsium Ilmu Hukum 1986-1989. Idealnya, 70% kurikulum diatur oleh konsorsium. Sisanya, dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarang ini, yang terjadi adalah kebalikannya. Kini, konsorsium sudah melakukan konsultasi untuk inventarisasi masalah dengan empat PTN di Jawa. Secara garis besar, Mochtar Kusuma Atmadja sudah menemukan jalan keluarnya. Kurikulum kuliah di S1, nantinya, akan menekankan peningkatan profesionalisme. Nantinya, calon sarjana itu dapat langsung praktek di masyarakat. Pembinaan akademis secara rinci teoretis akan dialihkan ke jenjang S2. Kuliah filsafat hukum dan skripsi, yang selama ini dinilai memberatkan mahasiswa, juga akan dialihkan ke jenjang kuliah berikutnya. Skripsi di S1, nantinya, hanya berbentuk karya ilmiah hukum yang menekankan segi profesional praktis. Diah Purnomowati (Jakarta), Riza Sofyat (Bandung), Bandelan Amarudin dan Slamet Subagyo (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini