WARTAWAN kini termasuk tenaga yang "laku diperjualbelikan". Tentu saja, yang diincar para penanam modal adalah tenaga wartawan yang berpengalaman dan berilmu. Bertolak dari kebutuhan itu, agaknya beberapa sesepuh pers seperti B.M. Diah dan Menpen Harmoko menganggap perlu adanya sekolah khusus bagi wartawan yang andal itu. Hasil pemikiran itu akan terwujud bulan Mei ini, berupa sekolah wartawan dengan nama Akademi Jurnalistik Dr. Soetomo (AJS). Harapannya, sekolah ini mampu menjawab kebutuhan akan tenaga wartawan yang benar-benar diincar para pengusaha industri pers. Sebagai sekolah AJS memang baru. Tapi, Yayasan Pers Dr. Soetomo -- yang mendirikan AJS -- sebenarnya sudah mengawali kegiatannya sejak terbentuk Februari 1988. Yayasan ini pernah menyelenggarakan beberapa kursus pendek bagi wartawan selama dua minggu -- di bawah bendera Lembaga Pers Dr. Soetomo. Sementara itu, AJS sendiri sudah mulai dioperasikan sejak April 1989. Untuk percobaan, AJS menyelenggarakan pendidikan selama tujuh bulan bagi 16 wartawan. Untuk program yang tetap, AJS menyelenggarakan pendidikan wartawan selama setahun. "Sistem belajarnya tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh sekolah-sekolah M.B.A.," kata Djafar H. Assegaff, salah seorang pengurus yayasan. Persamaan itu terlihat, misalnya, dari peralatan belajar yang cukup canggih, yang serba komputer. Di samping itu, jam pelajaran pun berlangsung full time, dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00. Tapi, di luar sistem belajar yang ketat, masih ada persamaan lainnya dengan sekolah untuk para manajer. Biaya pendidikan tergolong tinggi, yakni sekitar Rp 8,5 juta bagi setiap siswa, atau hampir sama dengan sekolah untuk M.B.A. Mahalnya biaya pendidikan untuk pers itu memang diakui Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas yang menjadi Ketua Pengurus Harian AJS. Kendati mahal, katanya, hal itu wajar saja. "Karena kami mengutamakan kualitas, maka para pengajarnya harus dibayar dengan baik," katanya. Staf pengajar AJS, seperti kata Jakob bukan sembarang comot. Sebagian dosen adalah wartawan berpengalaman dan punya nama. Misalnya Amir Daud (eks Pemred Bisnis Indonesia), Djafar Assegaff (Pemimpin Redaksi Warta Ekonomi), dan Jakob sendiri. Selain itu, AJS juga memanfaatkan pengalaman R.E. Stannard Jr., wartawan kondang lulusan Universitas Cornell, sebagai perancang kurikulum sekaligus salah satu dosen. Tim pengajar juga diperkuat dengan dosen paruh waktu (part time) yang terdiri dari para ahli berbagai disiplin ilmu. Untuk mata kuliah Hukum Pers, misalnya, diundang Prof. Oemar Senoadji, pakar hukum dan pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung. Memang, tujuan utama lembaga ini adalah, "Untuk mencetak wartawan-wartawan siap pakai yang berkualitas tinggi," kata Jakob. Itulah sebabnya, selain teori, kurikulum AJS juga padat dengan mata kuliah praktek. Mulai dari teknik reporting, menulis berita jadi, sampai bagaimana mengedit berita. Bahkan mata kuliah Topik Jurnalistik, yang mengupas dunia kewartawanan, sengaja diberikan dalam bahasa Inggris. Tujuannya, agar lulusan AJS mampu melakukan wawancara, sekaligus membuat laporan, dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, AJS terkesan menyiapkan wartawan andal yang dilengkapi dengan ilmu komplet dan siap pakai, sedangkan perguruan tinggi bertujuan untuk mencetak ahli-ahli dalam bidang ilmu komunikasi. "Jadi, lembaga ini arahnya lebih banyak pada praktek," tutur Jakob. Hal sama dikemukakan Dr. Bambang Setiawan, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Jurusan Ilmu Komunikasi, katanya, seperti yang diselenggarakan UGM, Unpad, ataupun UI memang bukan untuk mencetak wartawan yang siap pakai. "Perguruan tinggi lebih cenderung untuk melahirkan analis-analis komunikasi," katanya. Karenanya, kemunculan AJS merupakan sesuatu yang wajar untuk memenuhi kebutuhan pekerja pers yang siap pakai. Bahkan, sejak 1982, UGM juga sudah merintis jalan itu dengan menyelenggarakan pendidikan khusus reporter lewat LP3Y (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogya). Konon, 41 alumni LP3Y kini telah bekerja pada sejumlah penerbitan di Jakarta. Kebutuhan wartawan siap pakai memang dirasa mendesak. Hal ini dianggap tak bisa dicukupi dari pendidikan formal universitas. "Pendidikan formal yang telah ada tak dapat menjawab kebutuhan seperti itu," kata Ashadi Siregar, dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) UGM. Soal ketidakmampuan JIK dalam mencetak tenaga jadi, sama kasusnya dengan fakultas ekonomi yang tak mampu melahirkan manajer. Idealnya, kata Ashadi, Fakultas Ekonomilah yang menciptakan manajer-manajer perusahaan swasta. Tapi, pada kenyataannya, untuk menjadi manajer, seorang sarjana ekonomi masih perlu menambah pengetahuannya dengan ilmu-ilmu yang praktis. Begitu pula yang terjadi pada profesi kewartawanan. "Diperlukan sarjana plus," katanya. Kini tinggal AJS. Mampukah dia menjawab kebutuhan itu. Dan, walau mahal, ternyata peminat tetap ada. Seperti dikatakan Assegaff, selain akan mendidik calon-calon wartawan dari harian Kompas, Jakarta Post, Suara Pembaruan, dan Asia Foundation, panitia pendaftaran pun telah menerima lamaran secara individual. Budi Kusumah dan Leila S. Chudori (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini