Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN anak terlihat asyik bermain sepak bola di pantai Distrik Jamestown, Akra, Ghana, suatu siang. Anak-anak berusia 10-12 tahun yang berasal dari permukiman nelayan ini bal-balan menggunakan perlengkapan seadanya. "Lapangan" dari hamparan pasir bercampur puing batu bata dan pecahan asbes. Bola terbuat dari buntalan kain. Tak ada gawang, juga garis lapangan.
Tapi ada yang istimewa di sana. Di salah satu sudut terpasang poster besar Michael Essien, pemain Real Madrid asal Ghana, tengah memegang bola. Di bagian bawah tercetak kalimat pendek: "Be Proud!" Baliho itu dipasang seolah-olah untuk menjaga semangat para bocah agar tetap berlatih keras, meski dengan fasilitas seadanya.
Mereka memang terlihat tetap bersemangat bermain. Setidaknya hal itu ditunjukkan Mafiusa Asare, 11 tahun. Ia tampak bergerak lincah ke sana-kemari. Kausnya yang sobek di kedua sisi berkibar-kibar setiap kali tubuhnya melesat. Asare salah satu yang paling menonjol dalam perkumpulan tersebut.
Bakat besar anak ini diakui sang pelatih, Isaac Aloti. Kata dia, Asare serta dua temannya, Daniel Vijo dan Imano Buso, diminati sebuah klub Prancis untuk direkrut. "Saya punya kontak dengan pencari bakat Paris Saint-Germain," kata Aloti. Paris Saint-Germain adalah klub kaya asal Prancis yang baru saja membeli David Beckham.
Benarkah klaim Aloti itu? Belum jelas. Yang sudah pasti, menjadi pesepak bola kondang di Eropa adalah impian Asare dan puluhan ribu anak lain di Benua Afrika. Mereka ingin seperti Essien dan bintang-bintang Benua Hitam lain yang sukses di Eropa. Perhelatan Piala Afrika, yang baru saja usai dua pekan lalu, bagai etalase impian tersebut. Sebab, di sana tampil pemain pujaan mereka, seperti Didier Drogba, John Obi Mikel, Jonathan Pitroipa, dan Yaya Toure.
Hasrat ingin lepas dari rawa kemiskinan adalah ladang subur bagi impian setiap anak menjadi pesepak bola kelas dunia. Olahraga rebutan bola ini dianggap tiket yang paling mungkin untuk mentas dari kesengsaraan hidup. Sepertinya ini hampir jadi impian kolektif semua warga miskin di Afrika. Jika ada sebuah keluarga yang yakin anaknya berbakat dalam bermain bola, mereka rela menjual apa saja demi menyokong bakat itu.
"Kami pernah menjual televisi agar Stephen bisa membeli sepatu dan berlatih sepak bola," Tina Appiah, adik kandung Stephen Appiah, menyebutkan. Stephen Appiah adalah mantan kapten tim nasional Ghana. Dia pernah memperkuat Juventus, Parma, dan Udinese. "Kami sedih ketika itu. Tapi sekarang kami bisa memesan pizza setiap saat dan keliling Eropa."
Melakukan apa saja juga dilakoni Kinsley Chibueze, yang rela pindah dari Nigeria ke Akra. Saat ini para pencari bakat memang banyak memasang mata di Ghana dan Pantai Gading. Pertumbuhan ekonomi dan stabilitas dua negara itu dinilai lebih baik dibanding negara Afrika lainnya. Akibatnya, ribuan anak bersedia bermigrasi ke Akra. Sebab, di sini mereka berpeluang lebih besar dilirik para pencari bakat.
"Saya berasal dari Nigeria. Tapi, seperti yang lain, saya mencari paspor Ghana," ujar Chibueze. Dari Lagos, dia berangkat hanya ditemani pamannya. Kenapa tak bertahan di negerinya sampai ditemukan pencari bakat? "Karena mereka tak cukup gila untuk mencari pemain di permukiman kumuh."
Akra kini memang jadi salah satu gerbang untuk mewujudkan impian anak-anak Afrika. Pemandangan anak-anak bermain bola sepanjang hari di Akra bukan hal yang aneh. Di sana sedikitnya ada 500 akademi sepak bola.
Tak hanya di Akra, ribuan akademi lain tersebar di penjuru Ghana. Nama-nama akademi itu cukup unik, misalnya Sons of Musa dan Lovers of Christ. Meskipun mereka menyebut diri akademi, kebanyakan fasilitas dan sistem pelatihannya masih minim. Anak-anak hanya berlatih di pinggir jalan dan pantai. Pelatih yang memimpin kegiatan kebanyakan tak mengantongi lisensi. Tapi mereka tetap mengutip bayaran. Mayoritas akademi itu memang tak terdaftar di federasi sepak bola setempat—alias akademi liar.
Tapi apa peduli orang-orang yang telah "teracuni" impian ingin sukses itu? Anak-anak tetap antusias masuk akademi. Para orang tua pun menyokong. Mereka berharap anak-anaknya kelak bisa semengkilap Victor Moses dan John Obi Mikel, dua punggawa Chelsea yang baru saja membawa Nigeria juara Piala Afrika 2013.
Mereka ingin anaknya bermain di Eropa dan mampu mengubah nasib seperti yang dilakukan, misalnya, Samuel Eto’o. Penyerang Kamerun yang kini bermain di klub Rusia, Anzhi Makhachkala, ini mengumpulkan duit tak kurang dari Rp 293,2 miliar sepanjang 2012. Atau lihatlah Yaya Toure, pemain gelandang Manchester City asal Pantai Gading, yang mengantongi upah 200 ribu pound sterling (Rp 2,8 miliar) per pekan. Betapa fantastisnya angka itu dibanding pendapatan hampir sepertiga populasi di Afrika yang tak lebih dari US$ 1 per hari. Betapa hal itu membikin silau siapa saja.
Tapi, seperti halnya kisah drama telenovela yang berliku, mewujudkan impian Eropa itu tidaklah gampang. Tak sedikit perjuangan pemuda Afrika berakhir tragis. Hasrat hijrah ke Eropa membuat sebagian dari mereka menjadi korban perdagangan manusia.
Modus para penjahat trafficking ini sederhana. Para begundal ini mengaku agen pemain, lalu meminta sejumlah uang dengan janji si anak akan disalurkan ke klub Eropa. Mereka memalsukan paspor dan menyelundupkan para pemain muda lewat jalur laut. Pengiriman dilakukan lewat rute dari pantai barat Afrika ke Kepulauan Canary. Dari sana, rombongan masuk ke Spanyol.
Salah satu kasus penipuan besar terbongkar pada 2007. Saat itu, sebuah kapal pukat terdampar di La Tejita, Tenerife, Spanyol, yang berisi 130 remaja dari berbagai negara di Afrika. Sebagian besar anak itu mengalami dehidrasi dan hipotermia. Ketika dievakuasi, 15 orang di antaranya masih meyakini akan bermain di klub MarÂseille dan Real Madrid.
Mereka yang sukses mendarat di Eropa pun belum tentu beruntung. Tengok nasib Bernard Bass, 17 tahun, asal Senegal. Ia bersama puluhan temannya hijrah ke Ghana setelah tergiur bujukan agen asal Libanon, yang menjanjikan mereka bermain di Metz. Ini klub di Ligue 2 Prancis.
Sesampai mereka di Metz, setelah sempat terdampar di Tenerife, klub itu menyatakan tak punya agen asal Libanon. Bass pun terkatung-katung. Apa lacur, uang hasil penjualan rumah guna membiayai perjalanan plus membayar agen itu tak menghasilkan apa-apa. "Sekarang saya di sini, di Clichy Sous Boir, menumpang teman," katanya. Clichy Sous Boir adalah permuÂkiman kumuh yang berlokasi di timur Paris.
Nasib Effa Steve, 17 tahun, pemuda asal Guinea, semula sedikit lebih baik. Ia datang ke Paris dengan mengantongi surat panggilan Dijon FC, klub yang bermain di Ligue 1 Prancis, untuk menjalani tes. Tapi lalu lututnya cedera sehingga Dijon ogah mengontraknya. Kini Steve menjual tas Prada palsu untuk bertahan hidup. Ia tinggal di lantai bekas apartemen bersama empat temannya.
Bagi Jean Claude Mboumin, kisah semacam itu bukan cerita baru. Presiden CulÂture Foot Soldaire—lembaga amal yang didirikan untuk membantu para pemain bola asal Afrika yang menjadi korban penipuan—itu mengatakan ada sekitar 800 orang bernasib seperti Bass dan Steve di Prancis. "Di Afrika, jika ada seseorang mengatakan anak Anda memiliki bakat yang hebat, keluarga itu akan melakukan apa saja untuk mengirim anaknya ke Eropa, termasuk menjual rumah," ucap Mboumin.
Dalam waktu dekat, sosok Mafiusa Asare mungkin tak lagi berkelebat di pantai Akra. Semoga orang menemukannya sedang beraksi dengan seragam Paris Saint-Germain, dan tidak tengah berkeliaran di jalanan Paris....
Dwi Riyanto Agustiar (Guardian, TIME, Sky Sports)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo