Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Otokritik Zionis Liberal

Pemikir Yahudi-Amerika mengkritik negara leluhurnya. Mengapa kemerdekaan Palestina justru akan menguntungkan Israel?

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Crisis of Zionism
Penulis: Peter Beinart
Penerbit: Times Books Henry Holt and Company, New York
Edisi: I, 2012
Tebal: 289 halaman

Adakah sebuah negara Zionis yang liberal, demokratis, dan egaliter—seperti diangankan oleh Theodor Herzl? Negeri bernama Israel itu diceritakan sang nenek kepada Peter Beinart kecil sepulang dari sebuah sinagoge di Sea Point, Afrika Selatan. Sang nenek ingin berkumpul dengan saudaranya, Isaac, di negeri yang idealnya, menurut Beinart, kini tengah berada di tubir jurang itu.

Sebuah rekaman video kiriman kawan Israelnya menguatkan kekhawatiran ­Beinart tentang tergerusnya cita-cita negara Zionis liberal itu. Fadel Jabar, warga Palestina, diseret polisi Israel dengan tuduhan mencuri air. Kamera lalu beralih ke seorang anak lelaki lima tahun bernama Khaled, yang di tengah ketakutannya mengintip di antara kaki-kaki orang dewasa. Ketika ayahnya semakin jauh, Khaled hanya bisa berteriak parau, "Baba, Baba!"

Tangisan Khaled menyisakan "horor tak bersuara" di layar monitor Beinart. Ia mengaku tak tahu mengapa. "Mungkin karena anak lelaki saya seusia Khaled," tulis Beinart. "Ia juga memanggilku Baba."

Sudah berulang kali keluarga Jabar meminta penguasa wilayah pendudukan Tepi Barat menyalurkan pipa air yang mem­­basahi rumah-rumah keluarga Yahudi di samping mereka. Tapi, di sini, orang Palestina adalah obyek, bukan warga negara.

Sayangnya, Beinart tak berkisah lebih jauh tentang derita dan siksa yang dialami­ orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Ia lebih ingin mengatakan bahwa pendudukan dan pembangunan permukim­an Yahudi di Tepi Barat telah membahayakan ideal negara Zionis yang demokratis. Barangkali karena buku ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi Amerika yang, di mata editor The New Republic ini, tak terwakili dalam organisasi-organisasi mapan yang dikuasai kartel kekuasaan.

Terdapat urgensi moral untuk memberi kesempatan kepada orang Palestina membangun negaranya sendiri, kata Beinart. Para pemimpin Israel—yang dipilih secara demokratis—organisasi Yahudi-Amerika yang mapan, serta kaum Yahudi ortodoks telah menggagalkan perdamaian dengan selalu mengusung penderitaan masa lampau (victimhood) sebagai alasan. Tindakan mereka, kata dia, telah membahayakan negara Yahudi yang dibangun di atas gagasan liberal.

Israel memang menghadapi ancaman, tutur Beinart, tapi menganalogikan terus-menerus ancaman ini dengan Holocaust sangatlah berbahaya. Selama Holocaust, Yahudi di Eropa adalah bangsa yang lemah. Kini Israel adalah negara kuat yang keputusan politiknya dapat membentuk watak ancaman-ancaman ini. Menghentikan pembangunan permukiman merupakan cara melemahkan kekuatan anti-Israel radikal di dunia Arab dan memperkuat mereka yang mau hidup berdamai dengan Israel.

Negara Palestina merdeka, dalam pandangan associate professor of political ­science di City University of New York ini, justru akan mengurangi ancaman keamanan bagi negara Israel. Inilah cara yang tepat untuk meredam gerakan radikal di tubuh Palestina, sekaligus cara untuk menyelamatkan ideal negara Zionis liberal. "Kita mengatakan pada diri sendiri bahwa Israel adalah demokrasi, tapi di Tepi Barat yang ada adalah etnokrasi—tempat Yahudi menikmati kewarganegaraan dan Palestina tidak."

Beinart mengingatkan, Yahudi telah bergerak cepat dari bangsa tersebar yang tak berdaya pada permulaan abad ke-20 menjadi Yahudi yang kuat secara ekonomi, militer, dan politik. "Pergeseran itu begitu cepat, bahkan melampaui kecepatan berpikir orang Yahudi tentang diri mereka," kata Beinart.

Beinart juga mengatakan, "Jika Yahudi tak menggunakan kekuatan militer, politik, dan ekonomi secara etis—dengan menghargai hak-hak orang Palestina dan Arab-Israel—Yahudi telah gagal belajar dari pelajaran menyakitkan dalam sejarah Yahudi sendiri." Kata-katanya terkesan begitu normatif untuk tak mengatakan, seperti yang disebutkan sebagian pengkritiknya dari sisi kiri, "naif" terhadap real politics. Sebab, dengan kekuatan itu sekalipun, penguasa Israel dan kelompok mapan Yahudi-Amerika masih selalu mendengungkan narasi victimhood dan anti-Semitisme sebagai senjata untuk memperoleh dukungan dan membenarkan pendudukan Tepi Barat.

Bagi Yahudi Amerika, pendudukan dan pembangunan permukiman di Tepi Barat merupakan isu yang sukar. Namun Beinart­ berupaya menunjukkan bahwa kritik terhadap penguasa Israel tak sama dengan mendelegitimasi negara Yahudi.

Upaya Beinart menyelamatkan cita-cita Herzl tentang sebuah negeri Zionis liberal, demokratis, dan egaliter tak hanya membentur kekuatan mapan, tapi juga gugatan terhadap gagasan negeri liberal itu sendiri. "Zionisme liberal itu ideologi yang membingungkan," ujar Joseph Dana, jurnalis muda, "ia memberi keistimewaan kepada satu kelompok etnis di atas yang lain... bersandar pada gagasan Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis—tempat liberalisme (diharapkan) hidup berdampingan dengan tribalisme."

Mungkinkah ketegangan fundamental antara Zionisme dan demokrasi liberal diselesaikan?

Dian R. Basuki, penulis blog di Tempo.co

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus