Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ketika Owa dan Lutung Pulang Kampung

Primata endemis Indonesia dipulangkan dari Inggris. Dulu makan selada, kini lalapan.

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT Airbus A380-800 milik Singapore Airlines itu menjejak mulus landasan pacu Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jumat sore dua pekan lalu. Penerbangan selama 16 jam dari Bandara Heathrow, London, kali ini terbilang istimewa. Sebab, di dalam pesawat superjumbo itu ada penumpang tak biasa: satu owa Jawa dan enam lutung.

Kedatangan tujuh hewan primata ini disambut khusus oleh Jamie Robertson, Deputi Kepala Bidang Primata Kebun Binatang Port Lympne, Inggris, yang tiba lebih dulu di Jakarta. Robertson bertanggung jawab terhadap keselamatan owa Jawa dan lutung tersebut. "Seharusnya mereka baik-baik saja di pesawat," ujarnya sambil mengernyitkan dahi tanda khawatir.

Robertson pantas cemas karena inilah untuk pertama kalinya kebun binatang asing memulangkan primata endemis Indonesia hasil penangkaran di luar negeri. Pada awal tahun lalu, Kebun Binatang Perth, Australia, juga pernah berniat memulangkan pejantan Nakula, anak sepasang owa Jawa pinjaman dari Indonesia. Sayang, upaya tersebut harus ditunda lantaran Nakula tak lolos pemeriksaan kesehatan.

Perjalanan panjang di dalam pesawat bukan tanpa risiko bagi owa dan lutung. Cara paling aman agar mereka tidak mengalami stres adalah disimpan secara terpisah di dalam kandang kayu seukuran kulkas mini. Setiap sisinya diberi beberapa lubang sebesar tutup botol untuk sirkulasi udara. Agar tetap ber­energi, owa dan lutung ini disuguhi biji-bijian dan sekantong air dengan porsi cukup.

Dalam pengiriman ini, enam kotak pertama berisi enam lutung Jawa Timur (Trachypithecus auratus auratus). Lima di antaranya betina, yakni Linseed, 5 tahun, Dwale (9), Tequila (6), Diamond (6), dan Tango (15). Sedangkan satu lutung jantan bernama Adzuki, 14 tahun. Kotak terakhir berisi Regina, owa Jawa (Hylobates moloch) betina berumur 15 tahun.

Owa hanya hidup di hutan lebat di Pulau Jawa. Hidupnya sangat bergantung pada pohon karena mereka adalah satwa arboreal. Untuk bergerak, mereka bergelayut dari satu dahan ke dahan lain. Hidup berkelompok, owa memiliki daerah kekuasaan hingga 17 hektare. Pada 2008, IUCN Red List of Threatened Species memasukkan satwa ini ke kategori genting (endangered).

Proses pemulangan owa Jawa dan lutung ini dimulai delapan bulan lalu. Regina dan kawan-kawan merupakan individu terpilih dari puluhan owa Jawa dan lutung yang disimpan di dua kebun binatang Provinsi Kent: Port Lympne dan Howletts. Setelah diseleksi, mereka dipisahkan dari kawan-kawannya dan diletakkan di kandang khusus serta dijauhkan dari pengunjung.

Pemisahan bertujuan mempersiapkan satwa menghadapi lingkungan baru di Indonesia. Mereka diberi ruang dengan pemanas yang temperaturnya diatur agar menyerupai suhu di Indonesia. Makanan pun mulai disesuaikan dengan cita rasa Indonesia. Sementara dulu makan buah-buahan dan sayuran, seperti selada, apel, dan buah pir, sebelum dikirim mereka lebih sering ditawari durian, rambutan, dan pepaya. "Agar mereka terbiasa dengan makanan di Indonesia," kata Robertson.

Kedua kebun binatang di Inggris itu dikenal sebagai pusat penangkaran owa Jawa paling sukses di dunia. Kebun binatang itu merawat beberapa pasang owa sejak 1980-an. Hingga tahun lalu, sudah ada 11 jantan dan 13 betina hasil penangkaran. Untuk lutung, Yayasan Aspinall di Inggris sudah memiliki 41 ekor. Sebagai pembanding, data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan menunjukkan 11 kebun binatang di Indonesia memiliki 65 owa Jawa dan 50 lutung.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Novianto Bambang mengatakan belum ada kebun binatang lokal yang berfokus melakukan pembiakan. "Kebanyakan masih izin konservasi, bukan breeding," ujarnya. Kelahiran owa Jawa dan lutung di kebun binatang di Indonesia pun lebih banyak akibat ketidaksengajaan. Sepasang satwa merasa tertarik, lalu kawin dan melahirkan.

Koordinator Kesejahteraan dan Peragaan Satwa Taman Margasatwa Ragunan,­ Arianto Nugroho, membenarkan kebun binatangnya belum berkonsentrasi pada pembiakan owa Jawa dan lutung. Dari 24 owa Jawa yang dimiliki kebun binatang ini, baru dua pasang yang pernah melahirkan. Namun itu pun bukan hasil perjodohan. Menurut dia, owa Jawa sulit dikawinkan karena hakikat hidup monogami yang mereka pegang. "Kalau tidak cocok, mereka tak mau kawin," katanya.

Matt Ford, Kepala Bidang Primata Kebun Binatang Howletts, menuturkan bahwa keberhasilan penangkaran satwa yang terancam punah ini di Inggris lantaran kandang yang dibuat mendekati kondisi alam sebenarnya. "Kandang kami bikin agar satwa leluasa menjauh dari pengunjung," ujarnya.

Satwa dirawat agar terbebas dari stres. Kelompok owa dan lutung dimasukkan ke kandang berbeda. Para satwa dipamerkan apa adanya, bukan sebagai obyek pertunjukan. Makanan yang disajikan selalu alami. Menurut Ford, cara ini terdengar klise, tapi jika hal itu diterapkan dengan disiplin, kebun binatang menjadi lahan subur bagi pembiakan primata. Selain menangkarkan owa dan lutung, Yayasan Aspinall sukses membiakkan gorila dan memulangkannya ke Afrika.

Khusus owa Jawa, kesulitan mencari pasangan diatasi dengan metode pancingan. Caranya, owa yang sama besar dipasangkan ketika fungsi kelaminnya mulai matang. Sebelum masa balig, owa betina disatukan dengan owa betina yang baru beranak. Dengan demikian, owa betina kecil bisa menyaksikan bagaimana seekor induk mengasuh bayinya. "Owa yang terbiasa melihat induk mengemong anak cenderung menyukai anak kecil dan mudah beranak," ujar Ford.

Ada lagi cara lebih ekstrem. Kebun binatang memilah owa Jawa berdasarkan kelompok induk yang baru melahirkan. Menurut teori yang sedang dipelajari, nyanyian lantang induk owa menimbulkan ancaman bagi owa lain, sehingga mereka berupaya mempertahankan teritorial dengan melahirkan anak. Pencocokan genetik terkadang menentukan keputusan sejoli owa untuk kawin.

l l l

Dari Cengkareng, owa Jawa dan lutung tersebut diangkut menggunakan dua mobil menuju Pusat Rehabilitasi Primata Jawa di Ciwidey, Jawa Barat. Selama sepekan, kondisi tujuh satwa primata tersebut dimonitor secara intensif. Kondisi mereka tampak sehat. Sementara lutung langsung bersuara dengan nada seperti kambing meng­embik saat dimasukkan ke kandang, owa baru "menyanyi" pada hari ketiga setelah mengenal lingkungan barunya.

Meski terlihat sehat, sebenarnya owa dan lutung tersebut sempat mengalami stres dan jetlag akibat perjalanan panjang. Indikasinya, mereka mengeluarkan feses cair dan nafsu makan berkurang. Kondisi itu berlangsung empat hari. "Itu biasa dan mereka tetap makan walaupun mencret," kata dokter hewan dari Yayasan Aspinall Indonesia, Zulfi Arsan. Untuk pengobatan, mereka dicekoki tanaman obat khas Indonesia, seperti daun atau buah jambu, kedondong, serta salak.

Owa dan lutung disuguhi tanaman yang dimakan leluhur mereka: lalapan. Daun kaliandra, lamtoro, bobontengan, dan anggrek mulai jadi santapan sehari-hari. Ketika mereka di Inggris, daun-daun ini pernah dicicipi selama masa persiapan pulang kampung.

Setelah masa karantina sekitar dua pekan, satwa kemudian memasuki tahap rehabilitasi. Mereka dididik menjadi liar, tak lagi jinak seperti saat tinggal di kebun binatang. Setiap kali mereka diberi makan, misalnya, nampan diletakkan di tempat berbeda. Pakan seperti kuaci kadang diselipkan di sela buah pinus, atau buah-buahan dibungkus daun pisang. "Pengayaan cara itu untuk melatih penglihatan dan penciuman mereka," kata koordinator perawat satwa, Sigit Ibrahim.

Pelepasliaran bisa dilakukan setelah dua syarat utama terpenuhi. Pertama, satwa sanggup menerima pakan seperti di alam. Kedua, mereka sanggup berpasangan, terlebih sampai punya anak. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Agus Priambudi, menyatakan kesiapannya menerima owa Regina ketika betina ini sudah berubah jadi liar. "Asal liar dan sehat," ujarnya.

Saat dilepas, owa Regina akan bergabung bersama 2.000 owa Jawa tersisa di dunia yang tersebar di rimba-rimba sepanjang Taman Nasional Gunung Halimun Salak hingga Cagar Alam Gunung Slamet. Pergerakan setiap satwa dimonitor. Untuk kepentingan pemantauan, sebuah cip diselipkan di tubuh setiap satwa, yang berfungsi sebagai KTP elektronik berisi biodata. Alat pemindai bisa mengenali identitas individu dari jarak 10 meter

"Mereka harus siap menghadapi kerasnya kehidupan tanah leluhur," ujar Zulfi. Regina, yang sedang berayun di kandang, menyahuti ucapan dokternya dengan nyanyian khas. Rupanya, kebiasaan leluhur masih mengalir di darah primata ini meski mereka terlahir di negeri Ratu Elizabeth.

Anton William, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus