MINGGU-MINGGU tenang (TEMPO, 8 Pebruari 1976) tak dapat
bertahan lama. Komda PSSI Jawa Tengah yang membawahi 34 bond
anggota PSSI mengusulkan pada pimpinan PSSI untuk mengadakan
kongres luar biasa. Acaranya cukup prinsipil: membicarakan
kebijaksanaan Ketua Umum PSSI tentang "peraturan pertandingan
kejuaraan PSSI" dan "kejuaraan kembar". Usul tersebut disambut
oleh Bogor yang kemudian meminta supaya Komda Jawa Barat
mendukung terselenggara hanya kongres luar biasa itu. Konon di
balik kesibukan turnamen Pre- Olimpik ini, dukungan serupa itu
akan bersahutan dari daerah-daerah lainnya. Sehingga
minggu-minggu tenang terasa berguncang-guncang.
Menurut ketentuan Anggaran Dasar PSSI, quorum untuk terseleng-
garanya kongres luar biasa paling sedikit harus didukug oleh 1/3
dari seluruh anggota PSSI yang berjumlah 276 perserikatan. Untuk
memperoleh dukungan sebanyak 92 suara nampaknya tidak sulit.
Jawa Barat sendiri terdiri dari 26 anggota termasuk Persija.
Sementara Sumatera memliki 84 anggota. Tapi menurut Yusuf Antha,
staf Sekretariat PSSI, syarat tersebut masih belum cukup.
Paling sedikit setelah disetujui 1/3 anggota harus dipenuhi
pula 'keadaan yang mendesak dan persetujuan Ketua Umum PSSI'
yang memang menganggap perlu diadakan kongres luar biasa".
Ketiga unsur itu harus dipenuhi sekaligus kata Yusuf.
Tapi apakah tepat waktunya untuk melontarkan isyu "kongres luar
biasa", sementara masyarakat sepakbola digugah untuk
mensuksekan Pre-Olimpik? "Saya kira sasarannya lain-lain", ujar
Suprapto. Komda Jawa Tengah, pada TEMPO lewat telepon. "Lagi
pula persiapan kongres akan makan waktu dan paling cepat baru
akan terjadi pada turnamen Piala Suharto, April yang akan
datang. Sekarang hanya baru persiapan saja". Dukungan terhadap
pendapat Komda Jateng itu datang pula dari Ketua arian PSIC
(Cirebon) Mustaffa Ridwan. "Masalah organisasi harus terus
menerus mengalami perbaikan", katanya, "saya setuju soal kongres
luar biasa harus dicegah jangan sampai merugikan Pre olimpik.
Tapi kan masalahnya lain". Ia kemudian menegaskan: "Pada
prinsipnya saya setuju kongres luar biasa. Berhasil atau gagal
kesebelasan Indonesia dalam Pre Olimpik tidak bisa dijadikan
alasan untuk menutupi kelemahan organisasi". Jadi kalau ada
yang mengatakan, seandainya Indonesia menang dalam Pre Olimpik,
kesalahan-kesalahan "teknis walaupun politis" yang diperbuat
Ketua Umum Bardosono dapat terhapuskan. pun tidak benar.
Reaksi Bardosono pun tegas menghadapi isyu kongres luar biasa.
Ia hanya mau menyelenggarakan kongres PSSI pada tahun 1978 pada
masa berakhirnya kepengurusan Kongres Jogya setahun yang lalu.
Tapi bila isyu itu tak berkesudahan, di satu fihak anggota
kepingin, di lain fihak Ketua tidak mau apa yang akan terjadi?
Jalan buntu ini mungkin ditembus oleh campur tangan KONI Pusat.
Untuk mencegah perpecahan tentunya.
Kurang Menampilkan Diri
Sementara itu di balik pertandingan di lapangan dan isyu
kongres luar biasa, Ketua III PSSI Sumantri, 60 tahun,
menyumbat kupingnya rapat-rapat. Selaku Ketua Penyelenggara
(Executive Presient) turnamen Pre olimpik, ia nampak hanya
menekuni tugas FIFA/AFC (Federasi Sepakbola Dunia/Konfederasi
Sepakbola Asia). Organisasi penyelenggaraan harus netral dan
sukses. Sebab buat Sumantri yang berpengalaman mengadakan
pertandingan Mohammad Ali-Ruddy Lubbers pada bulan Oktober 1973,
turnamen Pre Olimpik di Indonesia merupakan "batu ujian'
pertama yang berpredikat resmi. "Dalam hati tentu saja saya
menjagoi Indonesia. Tapi demi tugas saya harus cair terhadap
semua peserta", katanya. Menjabat Direktur Gelora Senayan
sehari-hari, Sumatri oleh Humasnya Zainal, dinilai sebagai
"orang yang banyak bekerja tapi kurang menampilkan diri". Ia
lebih banyak terbenam di balik meja ruang kerjanya di kantor
Gelora yang berhadap-hadapan dengan Stadion Utama Senayan Modal
penyelenggaraan Pre Olimpik cukup besar. Sekitar 90 juta rupiah.
Tapi kepada TEMPO ia hanya menyampaikan permintaan yang
"kecil". "Harus disadari", katanya. "Pre 0limpik yang pertama di
Indonesia merupakan test case, khususnya bagi PSSI dan umumnya
bagi negara RI. Masyarakat bisa memberi bantuan yang besar
dengan meninggalkan cara-cara liar yang belakangan ini sering
terjadi" Apa itu? Jawab Sumantri sederhana: "Patuhilah
peraturan-peraturan untuk memasuki Stadion. Jagalah kesopanan
dalam memberi support kepada team yang mereka jagoi".
Soal keuangan nampaknya bukan menjadi target utama. Yang
penting, menurut Ketua III PSSI itu, adalah penyelenggaraan
dapat berlangsung dengan baik. Meskipun menurut kalkulasinya
sukses keuangan bisa terjamin bila karcis pada waktu
kesebelasan Indonesia main, bisa laku 70 persen. Kalau main lain
50 persen dan final 80 persen selanjutnya ketika dimintai
perhitungan lebih konkrit. Sumantri hanya menyuguhkan angka
"X".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini