Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Seperti ikan menggelepar...

Ramang, penembak gawang tepat, maskot pssi, menjadi pelatih persipal. tahun '60 terlibat skandal suap. tahun '62 bekerja sebagai opas kantor. macan bola itu merasa seperti ikan di daratan. (tk)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYERANG tengah itu tenang-tenang saja mengawasi, meskipun bola sudah hampir mendekati gawang kesebelasannya. Seorang pemain belakang lawan bahkan siap membayanginya, kurang dari 1 meter di belakangnya. Ia memang dianggap 'berhahaya'. Sesaat kemudian, dari jarak 20 meter, mendadak bola kembali. Sengaja diumpankan kepadanya, keras menerobos ke tengah barisan lawan -- nyaris rata dengan rumput. Secara refleks ia berputar 45 derajat ke kiri sambil menggulir bola dengan sontekan manis. Lalu secepat kilat menembakkannya -- ground shot. Back yang membayanginya kaget ia kecolongan. Dalam dua-tiga detik itu bola langsung menembus gawang lawan sebelah kiri. Kiper lawan tak berkutik. Di lain pertandingan, tiba-tiba ia mendapat operan bola terlalu tinggi dan agak ke belakang. Lebih lihay menendang, ia memang agak kurang dalam menyundul bola. Lebih-lebih mendapat operan bola seperti itu. Maka satu-satunya jalan ialah, cepat berbalik membuat loncatan salto ke belakang sambil menendang dengan keras. Gol! Sekali lagi kiper lawan kaget, tak tahu bola mau mengarah kemana.... Tendangan salto yang indah dan mengejutkan seperti itu terjadi ketika PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Keduanya lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertan- dingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Karena lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat. Sayang. Ramang memang penembak-gawang tepat, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini. Terutama tembakan salto. Ia benar-benar pemain alam. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Sepakraga adalah sejenis permainan sepakbola khas Sulawesi Selatan dengan bola dari rotan anyaman. Dulu, selama beberapa tahun ia muncul sebagai bintang lapangan, favorit penonton, Bahkan maskot bagi PSSI. Pemain-pemain bola luar negeri pun mengaguminya. Dalam perlawatan tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Pilipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang prestasi yang menyebabkan ia memperoleh medali emas. Tak heran kalau pada masa jayanya dulu banyak bayi-bayi lahir yang oleh orang tuanya dinamai Ramang (tentu saja bayi yang berjenis lelaki). Sekarang sejak beberapa tahun ini, ia menjadi pelatih Persipal (Palu) dan mukim di sana. Bahkan dalam kesebelasan dari ibukota Sulawesi Tengah ini pun ia ketemu dengan Ramang-Ramang yang lain. Di antaranya Ramang Said yang lahir ketika ia melawat ke Palu tahun 1954. Seorang lagi Ramang Poduwai, juga pemain Persipal, yang sekarang lagi digodog di Diklat Salatiga. Di zaman Ramang dulu memang belum ada Diklat, tapi setiap jam 3 sore Ramang sudah jalan kaki dari rumahnya ke lapangan Karebosi Ujung Pandang, menggelinding bola sendirian sebanyak 15 kali putaran. Staminanya memang stabil ketika itu. Sekarang, dalam usia hampir setengah abad, ramhutnya sudah mulai agak mengelabu. Tubuhnya tidak lagi sekekar dulu, banyak merokok, pernafasannya sudah tidak lagi bagaikan kuda pacuan. Dan Ramang sendiri merasa tak lebih berharga dari sang kuda. "Di jaman saya dulu kuda pacuan lebih dihargai ketimbang pemain bola", keluhnya di penginapannya, sebuah kamar pojok di belakang rumah Bupati Donggala. Maksudnya, kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding -- menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan TC. "Dan sesudah itu tak ada apa-apa lagi", tambahnya dengan kecewa. Tapi gambaran Ramang sebenarnya tak sepahit itu. Dua tahun lalu, bersama Sarengat (pelari), Danny Gumulya (perenang) dan Olih Solihin (bulutangkis) ia menjadi Tamu Kehormatan panitia PON VIII sebagai olahragawan berprestasi. Fasilitasnya: menginap di HI dan nonton pertandingan gratis, dijemput dan diantar dengan mobil. Tanpa Buku Sekarang ia sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampau. "Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?" katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga belum lama ini ia sengaja sembunyi ke luar kota Palu hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya. Mengaku tak begitu banyak mendapat pendidikan sekolah, Ramang memang tak berhubungan dengan buku. Di kamarnya yang tampak acak-acakan hanya ada satu ranjang besi untuk seorang dan satu pasang kursi tamu dari plastik. Tak ada satu buku pun, misalnya tentang teori sepakbola. Di meja hanya ada termos dan mangkuk kopi kental. Sama sekali tak terbayang sebagai kamar kerja seorang pelatih yang biasanya penuh buku atau sobekan-sobekan kertas bercorat-coret dengan skema teori permainan. "Saya hanya mengajarkan pengalaman saya saja", ujarnya. Pengalaman itu lalu ia kawinkan dengan teori yang pernah ia dapat dari Tony Pogacknic, bekas pelatih PSSI yang dulu mengolah Ramang dari pemain belakang menjadi penyerang tengah. Cocokkah pola zaman Ramang itu untuk masa sekarang? Ia hanya menjawab dengan menunjukkan prestasi Persipal selama ini yang malah sempat mendapat pujian Coerver, ketika pelatih PSSI ini mencoba anak-anak asuhannya melawan Persipal dalam lawatan team Pre-Olimpik akhir tahun kemarin di Palu. Menurut Ramang, dulu polanya 5-3-2, sekarang "total football". Total football adalah pola mutakhir di mana pemain bisa main di segala posisi. Meski pola dulu itu kini sudah dianggap kuno, toh Tony Pogacknic pernah mengetrapkan variasi 4-3-3 di Olympiade Melbourne tahun 1956 -- seperti yang kemudian diperbuat pula oleh kesebelasan Inggeris tahun 1966 dalam Jules Rimet di London. Namun pemain-pemain di zaman dia dulu memang agak lain. "Terus-terang saja, dulu itu kami hanya memiliki bakat yang luar biasa saja. Peranan pelatih tidak terlalu dominan. Sekarang pengetahuan tentang bola sudah begitu tinggi, sedang pembinaan pemain pun sudah dimulai sejak masih tingkat junior. Lebih-lebih sekarang ada Diklat semacam yang di Salatiga", ia menjelaskan. "Tapi dulu rata-rata kami kekar dan tinggi (kecuali Tan Liong Houw) hingga kami selalu menang dalam duel di udara. Sekarang rata-rata pendek dan kecil. Lihat saja Iswadi, Sofyan Hadi, Rivai, Andi Lala. Akibatnya mereka kurang dalam heading (sundulan bola). Dan rata-rata pemain zaman saya dulu ada spesialisasi. Misalnya kanan luar seperti Witarsa tak bisa bermain sebagai kiri luar. Tendangan kaki kirinya kurang dibanding kaki kanan. Sekarang rata-rata all-round, dapat bermain sama baiknya dengan posisi yang berlainan. Iswadi misalnya, sama baiknya bermain di kiri atau kanan luar. Tapi dulu toh ada juga rekan-rekan kami yang mampu main di segala posisi seperti Ramelan. Tan Liong Houw, Ramlan, Him Tjiang dan chaeruddin". Analisa Ramang terutama tentang tinggi pemain PSSI sekarang -- tidak seluruhnya benar. Andi Lala, Sofyan Hadi dan Iswadi misalnya, cukup tinggi. Masing-masing 168,166 dan 161 sentimeter. Surat Untuk Isteri Adapun jadwal latihan Ramang di Palu sekarang 3 kali seminggu, sore hari. Kalau menghadapi suatu pertandingan, baru setiap pagi dan petang turun lapangan, seperti menjelang Final round PSSI di Jakarta tempo hari. Di waktu luang bersantai dengan anak-anak didiknya atau istirahat saja di kamar. Hanya sesekali saja menulis surat kepada isterinya yang masih tinggal di Ujung Pandang. "Kalau semua persiapan untuk masa depan saya di sini sudah rampung, baru saya akan membawa isteri ke Palu", katanya. Persipal memang sudah menyediakan satu rumah gratis atas namanya. Dan walaupun ia sekarang sudah punya sebidang kebun cengkih di Kulawi (71 kilometel dari Palu), toh baginya Palu yang ibukota Sulawesi Tengah itu bisa disebut sebagai tempat pelarian dari rasa kecewanya setelah tak kuran dari 9 tahun mengabdi PSM (Makasar dan PSSI -- tanpa imbalan apa pun. Ia merasa terlupakan, meski pernah tenar sebagai satu di antara trio PSM bersama Suwardi dan Nursalam. Sejak akhir 1960 ia tidak lagi dipanggil turun lapangan oleh PSSI. Konon terlibat dalam apa yang disebut skandal suap. Ia mulai karirnya sejak 1939 di Barru Sulawesi Selatan, kota kelahirannya. "Ketika itu hanya iseng-iseng mengisi waktu saja", tuturnya. Menjelang proklamasi 1945, ia memboyong keluarganya ke Ujung Pandang d/h Makasar. Menumpang di rumah seorang teman, dari pada menganggur ia mencoba mencari nafkah sebagai pengemudi becak. Karena penghasilannya tak memadai, ia beralih menjadi kenek truk sampai tahun 1947. Selama bersusah-susah itu kakinya tak sempat menyentuh bola. Tapi setahun kemudian datanglah saat yang membawanya tak terpisahkan lagi dari bola. Ia masuk salah sebuah klub dan ikut kompetisi PSM. Mencetak sebagian besar gol, klubnya menang 9-0. Ia menjadi buah-bibir pimpinan PSM. Maka sejak 1952-ia pun dikuntit bayangan kecemerlangan sebagai jago bola. Dikirim mengikuti latihan di Jakarta kesempatan ini menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Berkat prestasi Ramang, maka Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia A dan B yang gawangnya dijaga oleh Beara (pemain yang masuk ranking dunia), Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kipel top dunia Lev Jashin, Locomotive dengan penembak maut Bubukin, Grasshopers dengan Roger Vollentein. "Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan", ujarnya merendah, sembari menyebut nama rekan-rekannya satu persatu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Witarsa, Him Tjiang, Danu, Tee San Liong dan Djamiat. Masih segar dalam ingatan Ramang, bagaimana rekan-rekannya dulu menjalin kerjasama yang kompak. Penyerang San Liong misalnya, selalu pandai menahan-nahan bola menarik perhatian lawan ke arahnya. Dengan begitu Ramang mendapat peluang. "Juga berkat sodoran-sodoran Djamiat yang cepat, saya bisa start mengejar operan lebih cepat dari pemain belakang. Hingga saya tinggal berhadapan dengan gawang lawan saja", begitu ceritanya. Tapi gerak-gerik dan tipu muslihat seperti itu lama-lama diketahui dan dipelajari oleh lawan. "Dan saya selalu mendapat penjagaan istimewa", tambah Ramang. Itulah sebabnya mereka harus menyusun taktik penyerangan baru. "Sebelumnya kencan dulu dengan kawan-kawan. Variasinya dibuat oleh Djamiat dan San Liong. Saya tinggal menyelesaikannya dengan gol", katanya lagi. Dalam Olympiade Melbourne 1956. Ramang dan kawan-kawan pernah memperlihatkan satu sensasi. Selama 120 menit (diperpanjang 2 x 15 menit) mereka menahan kesebelasan Rusia yang ketika itu juara Eropa dengan 0-0. Pelatih Tony mengetrapkan taktik "bertahan mati-matian" sebab Rusia' memang bukan tandingan PSSI. Susunannya ketika itu: Saelan (kiper), Rasjid dan Charuddin (belakang), Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw (gelandang) Witarsa, Him Tjiang, Danu, Tee San Liong, Djamiat dan Ramang (penyerang). "Jadi saya di kiri luar. Posisi saya yang biasanya penyerang tengah digantikan Danu. Djamiat yang biasanya kanan dalam, sekarang kiri dalam, sedang kanan dalam diduduki Him Tjiang. Him Tjiang biasanya sebagai back yang dapat kerjasama baik dengan Chaeruddin", tutur Ramang. "Dengan begitu Tony membentuk pertahanan yang tangguh, satu tembok pertahanan yang kuat. Hingga saya dan Witarsa bisa menyerang". Dalam pertandingan berikutnya barulah Indonesia terpaksa kalah dengan 4--0. "Soalnya ketika itu banyak kawan-kawan yang cedera pada pertandingan pertama", ujar Ramang dengan lancar mengenang pengalaman PSSI yang dramatis itu. Ikan Di Daratan Dan itulah pula kenangan manis bagi Ramang, untuk tidak lagi berlanjut. Beberapa tahun setelah itu ia tak lagi dipanggil oleh PSSI. Yaitu menjelang Asian Games 1962 di Jakarta. Ia pun menganggur, persis seperti ketika ia belum masuk PSM. Untung DPU Ujung Pandang menampungnya sebagai opas kantor dengan gaji Rp 3.500 sebulan -- sekedar menahannya tidak lagi menarik becak atau menjadi kenek truk. Tapi dasar 'macan bola', dipisahkan dengan lapangan seperti itu kontan ia kecewa. "Itu kan sama saja seperti menaruh ikan di daratan. Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati", katanya. Maka sebelum gelepar yang terakhir, ia berangkat ke Blitar memenuhi ajakan Bupati Sanusi untuk mengasuh PSBI Blitar. Ketika sang Bupati meninggal, ia pun kembali ke Palu mengikuti Bupati Haji Abdul Azis Lamadjito SH untuk membenahi Persipal. Tak seorang diri, ia juga memboyong kedua anak kandungnya yang sudah mulai main bola Anwar & Rauf -- serta beberapa pemain Blitar yang kebetulan asal Sulawesi Tengah. Di sana, ternyata bukan hanya Bupati saja. Mulai Gubernur Albertus Maruli Tambunan sampai petani kelapa pun sudah kecanduan bola. Maka Ramangpun memutuskan mendatangi hantu kecamatan untuk menjadi penduduk baru. Untuk menopang hidupnya sehari-hari ia mendapat honorarium Rp 40.000 sebulan di samping tiket Palu -Ujung Pandang pp. Kecuali mendapat satu rumah dan kebun cengkeh, ia kini juga sudah membeli satu kebun lagi dari hasil preminya sebagai pelatih. Harapan anak-anak Persipal terhadap Ramang memang tidak sia-sia. Debutnya yang pertama ialah bulan Pebruari 1975 yang lalu dalam pertandingan persahabatan segi-tiga di Ujung Pandang. Persipal keluar sebagai juara pertama setelah main draw (1-1) dengan PSM dan menundukkan Persib (Bandung) dengan 2-1. Bulan Juli 1975 kesebelasan Palu ini sekali lagi mengalahkan PSM di kandang sendiri dalam perebutan kejuaraan ranking PSSI wilayah IV dengan kedudukan akhir 2-1. Dengan begitu, PSM sebagai kesebelasan terkemuka di Indonesia bagian Timur (dan tak pernah absen dalam urutan kejuaraan sejak 1957) hanya sempat menduduki tempat ketiga. Persipal sendiri menduduki tempat kedua, sedang juara pertama adalah Persipura. Dalam pertandingan final round tempo hari di Jakarta, meskipun Persipal tak berhasil keluar sebagai empat besar (hanya menduduki urutan kelima) tapi prestasi itu dianggap luar biasa. Sebab ini adalah kesempatan pertama bagi Persipal masuk gelanggang nasional. Dulu hanya kesebelasan lokal yang tak punya arti apa-apa. Tapi sesungguhnya ini juga tak terlalu mengejutkan. Soalnya sebagian besar pemain Persipal adalah eks PSBI. Dan PSBI tahun 1972/1973 pernah termasuk dalam 8 besar. Begitu hebatkah Ramang sebagai pelatih? "Ia memang pemain yang baik tapi bukan pelatih yang baik", kata seorang tokoh Palu yang sering mengamati Persipal. Selama ini latihan-latihan Ramang memang memakai sistem lama dengan pola spesialisasi, hingga para pemain sulit berkembang. Selain itu ia juga tak biasa menukar-nukar posisi pemain, maunya yang itu-itu saja. Hingga apabila ada salah seorang pemain berhalangan dan harus diganti, kesebelasan tidak lagi kompak. Pada Persipal, kelemahan seperti itu kabarnya sering terulang beberapa kali dalam beberapa pertandingan. "Dan hal itu mudah diketahui oleh lawan", kata tokoh itu lagi. Kalau Ramang turun lapangan, biasanya hanya mengajak anak-anak asuhannya lari-lari kemudian latihan menembak gawang -- keahliannya yang paling unggul, yang belum dimiliki oleh pemain Persipal, bahkan oleh kedua anak kandungnya sekalipun. Ia juga tak pernah menggunakan kartu pemain untuk mengontrol konduite anak-anak didiknya. Semuanya hanya disimpan dalam ingatan, untuk dirinya sendiri. Ia juga jarang menganalisa pemain-pemainnya, bahkan konon tak pernah melaporkan secara terperinci kepada pengurus Persipal. Maka diam-diam pengurus Persipal pun mengambil tenaga pelatih teknik yang lain. Di samping bantuan literatur sepakbola, beberapa pemain Persipal senior seperti Karno Wahid, Anwar Hadi dan Rusno turun tangan melatih 70 pemain junior (rata-rata berusia 18 tahun, tinggi 165 sentimeter). Akhir tahun kemarin sebagian mereka sempat melawan team Pre-Olimpik dengan stand kekalahan 2-0. Mereka tampak lebih tangguh, terutama dalam sistem pertahanan dan stamina, dibanding seniornya yang kalah 5-1 dari team yang sama. Sekarang Persipal sudah memiliki 5 kesebelasan junior di samping 32 pemain inti Persipal. Berfikir ke masa depan, pengurus Persipal juga menarik 5 pemain eks Persipura yang juara Indonesia bagian Timur itu. Tiga di antaranya (Jacobus Makanue, Johannes Jakadewa dan Stefanus Sirei), kini sedang mengikuti latihan kekompakan dengan team inti Persipal. Dan mungkin akan ditampilkan bulan Pebruari ini melawan PSM dan Persebaya di Ujung Pandang. Dua pemain yang lain. Eddy Sabena dan T. Heipan sedang ditunggu dalam waktu dekat. Dalam beberapa latihan di stadion Nokilalaki Palu baru-baru ini Ramang memang tak tampak. Merasa ledudukannya agak tersisih, ia mengancam akan keluar bersama kedua anak kandungnya. Tak Licin Akan halnya Anwar Ramang (26 tahun), salah seorang anak kandungnya akhir Pebruari 1975 kemarin masih memperkuat PSM melawan Persipal asuhan ayahnya dalam pertandingan segi-tiga bersama Pesib Bandung di stadion Mattoangin Ujung Pandang. Sesudah itu ia hijrah ke Palu menyusul Rauf Ramang abangnya, yang lebih dulu di sana. Tahun 1970 Anwar pernah main dalam PSSI junior melawan ke Pilipina. Dua tahun kemudian memperkuat kesebelasan Dolog memperebutkan Queen Cup di Muangthai lalu melawat ke Laos. Di tanah air sendiri, berkali-kali ia mempertahankan PSSI junior melawan kesebelasan tamu antara lain kesebelasan Dynamo dari Moskow. Tapi kepindahannya ke Palu tak selicin ayahandanya. April 1975 yang lalu turunlah vonis PSSI untuk putera keempat Ramang ini lewat PSM. Ia diskors, tak boleh mengikuti pertandingan dalam lingkungan PSSI. Alasannya : melanggar AD-ART PSSI dan tata-tertib PSM yang dibuat sejak 1950 ketika ayahnya masih pemain inti kesebelasan Makasar itu. Bagi Persipal, berarti kepindahan ini tak ada artinya. Tak ayal kasus ini sempat bikin tegang Palu-Ujung Pandang. Anwar dituduh pindah diam-diam tak seijin. Sampai-sampai Gubernur Tambunan membujuk Walikota Ujung Pandang Patompo (yang juga ketua PSM) yang tentu saja amat marah dibuatnya. Komda Wilayah PSSI Indonesia bagian Timur diminta menengahi. Maka setelah 7 bulan dalam skorsing, Anwar diperkenankan memperkuat kesebelasan didikan ayahandanya. Dan Persipal tak sia-sia menampung anak muda ini, yang sebagai kanan luar banyak mencetak gol. Darah ayahnya, tampak benar-benar mengalir di kakinya.... Mengapa ia lebih menyukai Palu yang terpencil sementara Patompo toh bukannya tak 'memanjakan'? Tak kurang dari Ramang sendiri yang pantas menjawab. Maka katanya dengan nada cukup melo-dramatis: "Saudara tahu, hidup ini kan serpihan kasih sayang. Anak saya ingin hidup bersama meskipun di satu kota kecil, sambil berusaha mnunjang wibawa dan nama baik ayahnya. Ia ingin memberi sumbangan kepda ayahnya. Bukan dengan kekayaan materiil tapi dengan kedua belah kakinya. Yaitu lewat klub di mana ayahnya menjadi pelatihnya...".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus