BANJIR bukan saja banyak membunuh banyak api kompor penduduk.
Tapi tak kurang pula yang menjungkalkan rumpun-rumpun padi --
kalaupun sedang ditanam. Maka harga-harga bahan pokok pun naik.
Di Jakarta sendiri hingga minggu lalu harga beras masih
menanjak. Menurut para pedagang, hal ini karena mereka masih
waswas: apakah banjir masih akan datang dan masa paceklik yang
dan dekat di sementara daerah. Meskipun di Jakarta hujan sudah
mulai berkurang di ujung minggu pertama bulan Pebruari ini.
Namun sebagaimana lazimnya menjelang masa-masa yang
mengkhawatirkan itu, "selama bulan Januari saja beras yang
didrop berjumlah 120 ton, 40 ton di antaranya langsung disebar
di Jakarta" -- seperti dikatakan Ka Bulog Bustanil Arifin awal
Pebruari. Menurut dia, "situasi pangan di Indonesia cukup
mantap". Meski ditambahkannya: "Perlu diadakan stok nasional
dalam jumlah yang cukup besar". Untuk itu pula Ka Bulog telah
melakukan kunjungan ke Muangthai untuk membeli beras.
Pembelian beras di Bangkok itu tampaknya berjalan lancar. Sebab
transakai dilakukan antar pemerintah dalam rangka kerjasama
ekonomi ASEAN. Lagipula,"situasi pangan dunia dewasa ini memang
lebih baik disebabkan iklimnya baik" kata seorang pejabat
pertanian kepada TEMPO. Ketika Indonesia dibelit antri beras
tahun 1973, Indonesia pernah membeli dengan harga AS $ 530
per-ton C&F. Sekarang ini harga di pasaran internasional di
bawah AS 300 per-ton. Menurut pejabat tadi, lonjakan harga
yang terjadi di dalam negeri terutama di Jakarta karena pengaruh
musim hujan. Dan harga akan stabil kembali setelah cuaca cerah
lagi. Alasan nya, stok nasional cukup, sementara kelebihan
(carry over) tahun -tahun lalu masih banyak. Dengan kata
lain: masyarakat tak perlu risau karena persediaan cukup, dari
impor maupun persediaan dalam negeri.
Keamanan
Walaupun begitu kekhawatiran tak perlu dikesampingkan akan
kemungkinan terus menanjaknya impor beras jika tehnologi
pertanian padi tak ditingkatkan. Tadinya, di akhir Pelita I
(Maret 1974) diperkirakan Indonesia telah mampu menghasilkan
beras sebanyak yang diperlukan. Kenyataannya, "rencana itu masih
belum tercapai sampai sekarang" -- tambah pejabat tadi. Malahan
impor semakin merangkak naik. Kalau sebelum tahun 1972/1973
impor rata-rata di bawah 800.000 ton setahun, sejak tahun
anggaran 1972/1973 melonjak di atas 1 juta ton per-tahun. Dari
tahun itu hingga tahun 1974, tercatat impor beras Indonesia
dari berbagai negara rata-rata sebanyak 1,2 juta ton. Sedang
tahun 1975/1976 diperkirakan tak kurang dari 1 14/ juta ton.
Inipun telah diganjel dengan impor ganda yang dewasa ini
rata-rata 300 hingga 500 ton setahun -- meskipun khusus tahun
1974/1975 impor gandum ini sekitar 1 juta ton.
Sampai kini, Muangthai memang masih dapat melayani permintaan.
Tapi untuk masa-masa mendatang Indonesia tak dapat mengharapkan
lebih banyak beras dari negeri itu. Hal ini disebahkan
pertambahan penduduk Muangthai cukup tinggi. Sedang petani padi
di sana belum begitu luas memakai teknologi baru. Sebagian besar
petaninya bercocok-tanam secara tradisionil. Dan yang penting
lagi adalah petani dapat bekerja bila keamanan belum terjamin.
Tapi sejak Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis petani
Muangthai mulai dibayangi ketakutan, yang sekali waktu bisa
saja berakibat Muangthai sulit menyisihkan berasnya dalam jumlah
besar untuk diekpor. Meskipun Indonesia dapat membeli beras
dari negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang dan
Korea, tapi impor beras India, Bangladesh dan beberapa negara
di Afrika juga semakin meningkat. Secara tak langsung beras RRT
telah dibeli Indonesia via para perantara di Hongkong. Namun
Birma sebagai importir beras tidak bisa diharapkan lagi. Amerika
Serikat komersiil tetap mahal karena jarak dan ongkos angkutan
mahal".
Yang Tadinya Sagu
Kebutuhan beras yang semakin meningkat menurut pengamat karena
konsumsi rakyat yang semakin meningkat. Yang tadinya memakan
sagu atau jagung kini beralih kepada beras. Sementara kenaikan
penduduk bertambah 2,5% setahun. Alias 4 orang tiap menit
lahir ke muka bumi ini. Sementara itu, Zainul Yasni, lektor
kepala IPB Bogor yang sehari-harinya menjabat Kepala Pusat
Pengembangan Pemasaran Hasil Pertanian BPEN, mengatakan
program Bimas telah meningkatkan produksl 4,6% setahun,
sejak awal Pelita I. Namun, katanya,"kenaikan itu belum
memadai ketimbang kenaikan konsumsi rakyat. Bahkan menurut dia,
"jika Indonesia tidak dapat meningkatkan produksi lebih cepat
bukan mustahil di tahun 80an nanti, kita terpaksa mengimpor
beras 2-3 juta ton setahun", katanya.
Kekhawatirannya itu disebabkan karena produksi Bimas belun
mencapai yang diharapkan. Teorinya, secara teknis setiap hektar
sawah Bimas menghasilkan 8 ton padi. Tapi kenytaannya dari
pengalaman praktek petani, produktivitas yang dicapai cuma 4-5
ton saja. Ini disebabkan keadaan sosial petani miskin. Mereka
terpaksa berorientasi kapada biaya terkecil,dan bukan kepada
hasil terbesar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini