Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harga Banjir-Dan Sesudahnya

Harga beras di jakarta naik akibat banjir, paceklik di beberapa daerah. perlu diadakan stock nasional lebih besar. program bimas belum mencapai sasaran. th 1980 diperkirakan impor beras 2-3 juta ton setahun.

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR bukan saja banyak membunuh banyak api kompor penduduk. Tapi tak kurang pula yang menjungkalkan rumpun-rumpun padi -- kalaupun sedang ditanam. Maka harga-harga bahan pokok pun naik. Di Jakarta sendiri hingga minggu lalu harga beras masih menanjak. Menurut para pedagang, hal ini karena mereka masih waswas: apakah banjir masih akan datang dan masa paceklik yang dan dekat di sementara daerah. Meskipun di Jakarta hujan sudah mulai berkurang di ujung minggu pertama bulan Pebruari ini. Namun sebagaimana lazimnya menjelang masa-masa yang mengkhawatirkan itu, "selama bulan Januari saja beras yang didrop berjumlah 120 ton, 40 ton di antaranya langsung disebar di Jakarta" -- seperti dikatakan Ka Bulog Bustanil Arifin awal Pebruari. Menurut dia, "situasi pangan di Indonesia cukup mantap". Meski ditambahkannya: "Perlu diadakan stok nasional dalam jumlah yang cukup besar". Untuk itu pula Ka Bulog telah melakukan kunjungan ke Muangthai untuk membeli beras. Pembelian beras di Bangkok itu tampaknya berjalan lancar. Sebab transakai dilakukan antar pemerintah dalam rangka kerjasama ekonomi ASEAN. Lagipula,"situasi pangan dunia dewasa ini memang lebih baik disebabkan iklimnya baik" kata seorang pejabat pertanian kepada TEMPO. Ketika Indonesia dibelit antri beras tahun 1973, Indonesia pernah membeli dengan harga AS $ 530 per-ton C&F. Sekarang ini harga di pasaran internasional di bawah AS 300 per-ton. Menurut pejabat tadi, lonjakan harga yang terjadi di dalam negeri terutama di Jakarta karena pengaruh musim hujan. Dan harga akan stabil kembali setelah cuaca cerah lagi. Alasan nya, stok nasional cukup, sementara kelebihan (carry over) tahun -tahun lalu masih banyak. Dengan kata lain: masyarakat tak perlu risau karena persediaan cukup, dari impor maupun persediaan dalam negeri. Keamanan Walaupun begitu kekhawatiran tak perlu dikesampingkan akan kemungkinan terus menanjaknya impor beras jika tehnologi pertanian padi tak ditingkatkan. Tadinya, di akhir Pelita I (Maret 1974) diperkirakan Indonesia telah mampu menghasilkan beras sebanyak yang diperlukan. Kenyataannya, "rencana itu masih belum tercapai sampai sekarang" -- tambah pejabat tadi. Malahan impor semakin merangkak naik. Kalau sebelum tahun 1972/1973 impor rata-rata di bawah 800.000 ton setahun, sejak tahun anggaran 1972/1973 melonjak di atas 1 juta ton per-tahun. Dari tahun itu hingga tahun 1974, tercatat impor beras Indonesia dari berbagai negara rata-rata sebanyak 1,2 juta ton. Sedang tahun 1975/1976 diperkirakan tak kurang dari 1 14/ juta ton. Inipun telah diganjel dengan impor ganda yang dewasa ini rata-rata 300 hingga 500 ton setahun -- meskipun khusus tahun 1974/1975 impor gandum ini sekitar 1 juta ton. Sampai kini, Muangthai memang masih dapat melayani permintaan. Tapi untuk masa-masa mendatang Indonesia tak dapat mengharapkan lebih banyak beras dari negeri itu. Hal ini disebahkan pertambahan penduduk Muangthai cukup tinggi. Sedang petani padi di sana belum begitu luas memakai teknologi baru. Sebagian besar petaninya bercocok-tanam secara tradisionil. Dan yang penting lagi adalah petani dapat bekerja bila keamanan belum terjamin. Tapi sejak Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis petani Muangthai mulai dibayangi ketakutan, yang sekali waktu bisa saja berakibat Muangthai sulit menyisihkan berasnya dalam jumlah besar untuk diekpor. Meskipun Indonesia dapat membeli beras dari negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang dan Korea, tapi impor beras India, Bangladesh dan beberapa negara di Afrika juga semakin meningkat. Secara tak langsung beras RRT telah dibeli Indonesia via para perantara di Hongkong. Namun Birma sebagai importir beras tidak bisa diharapkan lagi. Amerika Serikat komersiil tetap mahal karena jarak dan ongkos angkutan mahal". Yang Tadinya Sagu Kebutuhan beras yang semakin meningkat menurut pengamat karena konsumsi rakyat yang semakin meningkat. Yang tadinya memakan sagu atau jagung kini beralih kepada beras. Sementara kenaikan penduduk bertambah 2,5% setahun. Alias 4 orang tiap menit lahir ke muka bumi ini. Sementara itu, Zainul Yasni, lektor kepala IPB Bogor yang sehari-harinya menjabat Kepala Pusat Pengembangan Pemasaran Hasil Pertanian BPEN, mengatakan program Bimas telah meningkatkan produksl 4,6% setahun, sejak awal Pelita I. Namun, katanya,"kenaikan itu belum memadai ketimbang kenaikan konsumsi rakyat. Bahkan menurut dia, "jika Indonesia tidak dapat meningkatkan produksi lebih cepat bukan mustahil di tahun 80an nanti, kita terpaksa mengimpor beras 2-3 juta ton setahun", katanya. Kekhawatirannya itu disebabkan karena produksi Bimas belun mencapai yang diharapkan. Teorinya, secara teknis setiap hektar sawah Bimas menghasilkan 8 ton padi. Tapi kenytaannya dari pengalaman praktek petani, produktivitas yang dicapai cuma 4-5 ton saja. Ini disebabkan keadaan sosial petani miskin. Mereka terpaksa berorientasi kapada biaya terkecil,dan bukan kepada hasil terbesar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus