PENDUDUK Tasikmalaya, Jawa Barat, punya kebanggaan baru selain industri payung, bordir, atau penyanyi dangdut Ice Trisnawati. Idola baru itu tak lain Susi Susanti, juara tunggal putri All England tahun ini. Bahkan, bagi Bupati Tasikmalaya H. Adang Roosman, S.H., keberhasilan Susi, "akan mendatangkan wisatawan kemari." Karena mau tak mau nama Tasikmalaya akan disebut-sebut dan orang ingin melihatnya. Masih tentang Susi, Adang bercerita bagaimana ia mendapat ucapan selamat dari Menteri PAN Sarwono Kusumaatmadja ketika peresmian proyek air bersih yang dipusatkan di Bandung. "Menteri memberi selamat atas Susinya, bukan proyeknya," cerita Adang. Inilah yang membuat Adang Roosman bertekad mengarak Susi meski PB PBSI menganjurkan agar penyambutan Susi tak berlebihan. Arak-arakan Ahad lalu itu melibatkan puluhan mobil dan motor, juga drumband dari SMP Pasundan. Susi Susanti, kini 19 tahun, tampak bersahaja dengan jas biru dan hem putih didampingi kedua orangtuanya, Risad Haditono dan Nyonya Purwo Benowati. Sebelum pawai berlangsung, Bupati Adang menyebutkan sukses Susi merupakan nikmat Tuhan kepada masyarakat Jawa Barat. Nikmat Tuhan sebelumnya adalah Jawa Barat meraih Parasamya Purnakaryanugraha, Persib juara perserikatan, dan tim sepak bola KNPI Ja-Bar juara sepak bola pemuda. Lalu seorang siswi SMA membacakan puisi Langkah-Langkah Mungil Menuju Tangga Dunia. Puisi itu ciptaan Bupati Adang. Pada kesempatan itu Atang Ruswita, Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat, menyerahkan dompet "Katineung keur (Cinta kepada) Susi Susanti", besarnya Rp6.919.500. Ini bukan hadiah pertama untuk Susi. Di Jakarta, Sabtu pekan lalu, dari klub Jaya Raya tempatnya berlatih, Susi memperoleh kapling 500 m2 di Bumi Serpong Damai, Serpong. Ketika menjuarai Piala Dunia di Guangzhou, Cina, akhir tahun lalu, Susi juga menerima tanah dan rumah di kawasan Cileduk. Mungkin masih ada hadiah lain menyusul. Kepada wartawan TEMPO Ahmad Taufik, Susi sendiri mengaku risi diarak berlebihan. "Saya nggak biasa diperlakukan begini," ujar gadis yang mengayun raket sejak usia sembilan tahun ini. Toh ia jujur berkata, "Saya senang berada di tanah kelahiran saya, bersama masyarakat dan keluarga." Sambutan masyarakat yang berlebihan untuk atlet yang sedang menang sering sulit ditampik. Ini diakui Liem Swie King. Juara dunia 1983 ini merasakan sambutan itu lebih merupakan beban. "Soalnya, kita masih harus mempertahankan prestasi itu," alasan King. Dan ketika ia gagal mempertahankan prestasi, ejekan yang diterima. "Sambutan masyarakat yang berlebihan akan membuat seorang atlet jadi takut kalah," ini kata Jo Rumeser. Padahal, olahraga punya dua sisi: kalah dan menang. Karena takut kalah, "Atlet biasanya akan cari-cari alasan untuk tidak main, atau malah akan bertindak un-fairplay," kata psikolog lulusan UI ini. Repotnya, setelah prestasi surut, perhatian masyarakat pun melorot. "Banyak atlet kita mengeluh habis manis sepah dibuang," kata Jo. Menurut Jo, penghargaan atas prestasi atlet seharusnya berjenjang, seperti gaji karyawan. Korea Selatan sudah menerapkan sistem ini. Seorang atlet yang juara di Asian Games mendapat uang pensiun. Juara di Olimpiade mendapat fasilitas lebih tinggi. "Pokoknya, harus ada kejelasan jenjang hadiah ini," kata Jo. Singgih Gunarsa, psikolog lainnya, senada dengan Jo. "Penghargaan materi yang berlebihan akan menjadi beban buat Susi. Lebih baik perhatian dan penghargaan yang resmi dari Pemerintah. Kalau materi nggak ada habis-habisnya," ujar Singgih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini