Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nasib atlet tak selamanya berjalan mulus setelah berhenti meniti karir di bidang olahraga yang digeluti. Seperti kisah mantan atlet tinju nasional, Suyanto.
Yanto menceritakan awal karir menjadi petinju profesional. Ia memutuskan hijrah dari kampung halaman, Nganjuk, Jawa Timur, menuju ibu kota Jakarta untuk mengejar cita-cita jadi petinju walau saat itu ia masih menempuh pendidikan SMA kelas 1 pada akhir 1985.
"Tujuan saya ke Jakarta itu awalnya main aja, karena mengenal tinju akhirnya gak pulang. Saya mulai latihan tinju," kata Yanto di Taman Tanah Abang III, Jakarta Pusat, kemarin.
Yanto de Villa, begitulah julukannya di atas ring. Nama tersebut diberi oleh pelatihnya Yohanes Matemuel yang merupakan mantan juara nasional kelas bantam 53,5 kg. Ia mengakui bahwa hobinya sejak kecil ialah berkelahi.
"Saya dulu memang hobinya berkelahi. Waktu SD atau SMP, saya nonton tinju pas tv masih hitam putih. Dari situ, saya pengen jadi petinju. Teman-teman bilang 'kamu kan centret (kecil) gitu, kok jadi petinju. Akhirnya pas udah gede jadi petinju juga," ujar Yanto.
Pada 1986, Yanto memulai karir tinju profesional. Karena mengidolakan sosok Mike Tyson, ia menjadi petinju yang sukses. Ia pernah meraih juara pada kejuaraan tinju se-Jabodetabek dan kejuaraan nasional ad-interim tinju kelas terbang mini pada 1993.
Suyanto saat menjadi juara tinju nasional ad-interim pada 1993. (Istimewa).
"Tyson itu merupakan petarung sejati kelas berat. Sehingga saya ingin menjadi petarung sejati seperti dia," katanya.
Yanto menjadi pedagang rokok dan minuman ringan dengan modal gerobak sejak 1998. Hal itu ia lakukan saat masih bergabung dengan pelatihan Sasana Arseto milik promotor Tourino Tidar yang lokasinya sekitar 50 meter dari Jalan Taman Tanah Abang III. Ia terpaksa berjualan rokok dan minuman ringan karena sudah tak punya uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.
Ia akhirnya memutuskan pensiun dari dunia tinju pada 2001. Ia membuat keputusan itu karena istrinya yang baru melahirkan anak kedua khawatir akan keselamatannya.
Istrinya tak ingin kejadian seperti petinju Muhammad Alfaridzi yang tewas setelah mengalami cedera di otaknya setelah dipukul KO oleh Khongtawat Sor Kitti dari Thailand terjadi dengan diri sang suami. Padahal, saat itu ia telah menandatangani kontrak pertandingan untuk melawan petinju asal Pacitan, Wonoroya.
"Istri saya nggak izinin itu sampai nangis, kasih tahu anak masih kecil. Hal itu yang buat saya sadar. Ya sudah, saya nggak main lagi sampai sekarang," ujar dia.
Bapak yang punya tiga anak ini juga menceritakan, gerobak warung miliknya pernah digusur oleh Satpol pada 2014. Setelah itu, ia memutuskan jadi pelatih Muay Thai Boxing di Punch Center, Jalan Taman Sari Raya, Jakarta Barat. Ia sempat pindah melatih Muay Thai di Legacy Executive Sports Club, Jalan Mangga 17, Tanjung Duren, Jakarta Barat. Setelah berhenti melatih, ia sekarang jadi driver ojek online sejak November 2016 hingga sekarang.
Awalnya, ia mengira pendapatan dari ojek online ini menguntungkan, ternyata tak sesuai dengan kenyataan.
"Saya menyesal. Dulu penghasilannya menggiurkan bisa dapat 400 ribu lebih sehari, ternyata 2 minggu setelah itu penghasilan makin turun sampai sekarang," kata dia.
Yanto juga memiliki teman senasib, Hasan Lobubun. Hasan adalah mantan petinju juara nasional kelas bantam junior pada 1987. Dulu, ia harus bertahan hidup dengan mengumpulkan barang-barang bekas dan mengais-ngais sampah sebelum Hasan dijemput keluarganya pulang ke Ambon.
"Dulu di sini juga sama saya. Tapi, dia udah pulang ke Ambon karena dijemput omnya," katanya.
Baik Yanto maupun Hasan merupakan kawan karib sejak meniti karir bersama sebagai petinju. Namun, nasib Hasan tak seberuntung Yanto. Ia tak mempunyai tempat tinggal dan setiap hari tidur di Taman Tanah Abang III. Mereka ka sudah tak pernah berkomunikasi lagi semenjak Hasan pindah ke Ambon.
Yanto berharap pemerintah memperhatikan nasib para mantan atlet baik yang berlaga pada ajang nasional maupun internasional.
"Perhatikanlah nasib para mantan atlet itulah, jangan sampai ada yang lebih susah dari saya. Pokoknya diperhatikanlah masa depannya, seperti dikasih rumah tinggal, kaya saya gini kan masih ngontrak. Bukan hanya pemerintah pusat saja, tapi pemerintah provinsi juga harus memperhatikan nasib mantan atlet," kata dia.
Yanto dan anak sulungnya saat ini hidup di kamar kontrakan di Kemanggisan, Jakarta Barat. Sementara istri dan dua anak lainnya tinggal di kampung, Nganjuk, Jawa Timur.
Pada masa pemerintahan SBY dan Menpora Adhyaksa Dault, Yanto pernah bertemu dan bersalaman dengan SBY pada 2007.
Mantan atlet tinju nasional, Suyanto, saat bertemu Presiden SBY pada 2007. (foto: istimewa)
"Waktu zamannya pak Adhyaksa, sebenernya saya dapat dari pemerintah, saya sempat dua kali disuruh survey ke blok A Tanah Abang, itu tempatnya baru jadi, dikasih beberapa unit juga untuk mantan atlet yang lain. Saya sempat dua kali ditelpon staf Kemenpora. Tapi ini bukan bidang saya dan modalnya nggak ada juga, jadi nggak saya ambil," ujar dia.
"Semenjak pak Adhyaksa lengser, saya belum pernah menginjakkan kaki lagi ke kantor Kemenpora. Nggak ada kepastian dari Menpora sekarang terhadap nasib kami para mantan atlet," ujar dia lagi.
Ia juga berharap kepada atlet tinju nasional yang saat ini masih aktif untuk terus berjuang pada event-event selanjutnya, mengingat tahun depan akan diadakan pesta olahraga se-Asia, Asian Games 2018 di Indonesia.
RAMADHAN L.Q.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini