Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi menjadi finalis presiden korup 2024 versi OCCRP.
Pendukungnya menyebarkan kabar bohong bahwa OCCRP mencabut nama Jokowi.
Pada Pemilu 2029, tim Jokowi memakai data OCCRP untuk menyerang Prabowo Subianto yang namanya masuk Panama Papers.
MASYARAKAT perlu belajar dari sebagian rakyat Kenya dalam merespons pengumuman Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Bukannya keberatan, mereka memprotes organisasi global itu yang tak menempatkan Presiden William Ruto di urutan teratas tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang pergantian tahun, OCCRP mengumumkan sejumlah pemimpin sebagai finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi. Joko Widodo, Presiden Indonesia 2014-2024, menempati urutan ketiga di bawah mantan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, dan William Ruto. Tiga tokoh lain yang masuk daftar adalah Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu; mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina; dan pengusaha asal India, Gautam Adani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masuknya Jokowi menjadi finalis tokoh korup bersama pemimpin negara “kelas tiga” adalah kabar buruk dan memalukan bagi Indonesia. Ini pertama kali dalam sejarah mantan Presiden Indonesia masuk daftar tokoh korup OCCRP, konsorsium jurnalis investigasi berdedikasi yang kerap mengungkap kejahatan terorganisasi dan korupsi di seluruh dunia.
Rilis OCCRP itu memantik pro dan kontra. Sejumlah politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang ketua umumnya adalah Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, menjadi motor pembelanya. Mereka meragukan kredibilitas lembaga tersebut, menyebarkan kabar bohong bahwa nama Jokowi sudah hilang dalam siaran OCCRP, sampai disebut-sebut menekan sejumlah media agar mencabut berita tentang OCCRP itu. Berita CNN Indonesia, yang paling awal merilis kabar itu pada Selasa, 31 Desember 2024, tak bisa diakses lagi.
Upaya Jokowi dan pendukungnya membela diri sia-sia karena para pemimpin korup itu terpilih masuk nominasi berdasarkan survei kualitatif secara global. Sungguh keliru bila keputusan OCCRP hanya dinilai semata-mata secara kuantitatif, apalagi menanyakan bukti material legal dari tuduhan tersebut.
OCCRP, lembaga yang berisi para jurnalis independen, menjadi parameter di tengah macetnya organ negara menemukan tokoh bermasalah. Apalagi lembaga kredibel itu memilih tokoh korup 2024 secara proper dan transparan. Jaringan wartawan investigasi dunia itu menemukan 55 ribu orang yang berpartisipasi—7.500 di antaranya menominasikan Jokowi—dalam seleksi awal. Setelah menerima nomine, seleksi dilakukan oleh para juri yang kapabel.
Sepuluh tahun menjadi presiden, Jokowi dinilai telah menimbulkan kerusakan parah dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Korupsi sejatinya bukan sekadar menjarah uang negara. Nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, hingga praktik-praktik yang menggerus demokrasi merupakan bagian dari korupsi. Dalam konteks Indonesia, hal itu terjadi lewat kecurangan pemilihan umum.
Pada pemerintahan Jokowi, Pemilu 2024 menjadi pesta demokrasi terburuk sepanjang sejarah Indonesia setelah reformasi. Dia merusak lembaga penyelenggara pemilu demi menguntungkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi wakil presiden. Pengerahan aparatur negara dan penyaluran bantuan sosial untuk memenangkan anaknya secara benderang masuk kategori kejahatan terorganisasi dan korupsi.
Penyangkalan Jokowi dan para penyokongnya seperti menepuk air di dulang. Sebab, pada pemilihan presiden 2019, tim pemenangan Jokowi memakai data hasil kerja OCCRP untuk menyerang Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang masuk Panama Papers.
Panama Papers adalah kumpulan dokumen Mossack Fonseca, nama pemilik kantor penyedia layanan bisnis lepas pantai berbasis di Panama. Sebanyak 1,2 juta dokumen keuangan, yang sebagian besar upaya penghindaran pajak, diperoleh surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung, lalu dibocorkan melalui Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) bekerja sama dengan OCCRP.
Presiden Prabowo Subianto sudah berada di jalan yang benar dengan tidak ikut membela Jokowi. Penilaian buruk dunia internasional terhadap Jokowi sepenuhnya urusan pribadi. Termasuk ketika marak muncul usulan agar dia diadili lewat jalur hukum.
Bagi Jokowi, ia sedang menuai ambisinya mempertahankan kekuasaan. ●