Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Olala Guardiola

Setahun melatih Barcelona, Josep Guardiola langsung merenggut tiga gelar. Dia berhasil menyuguhkan permainan sepak bola menyerang yang mengasyikkan.

1 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu Massimo Busacca, wasit asal Swiss yang memimpin pertandingan Rabu malam itu, meniup peluit tanda akhir pertarungan, ahli grafir dari UEFA langsung bekerja. Mesin kecil di tangannya menulis FC Barcelona, sebagai juara Liga Champions. Di Stadion Olimpico Roma, Italia, klub BiruMerah pun berpesta setelah menundukkan Manchester United, 20.

Ya, tak ada lagi keajaiban seperti di Barcelona sepuluh tahun lalu. Saat itu, Manchester United mencetak dua gol dalam waktu 112 detik untuk menumbangkan Bayern Muenchen. Tidak ada pula keberuntungan seperti di Moskow, Rusia, setahun lalu, saat Uni­ted mengempaskan Chelsea dalam drama adu pe­nalti. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah klub ini di final Liga Champions, Sir Alex Ferguson menjadi pecundang. ”Kami kalah dari klub yang teramat bagus,” katanya.

Barcelona memang luar biasa. Mereka tampil taktis, cantik, tapi juga mengerikan. Mereka memang sempat digedor habishabisan, tapi itu hanya berlangsung sepuluh menit. Keadaan berbalik setelah mereka melesakkan gol ke gawang Edwin van der Sar. Klub Catalan ini menjelma menjadi mesin pembunuh yang menakutkan. Si kulit bundar tak pernah lepas dari kaki para pemainnya.

Sebaliknya, ”Setan Merah” langsung kehabisan darah. Menara kembar Rio Ferdinand dan Nemanja Vidic, yang biasanya kukuh, berubah jadi mudah sekali diterobos. Alihalih mampu membalas gol, mereka panen kartu kuning karena kesulitan mendapatkan bola.

Inilah puncak keberhasilan Josep ”Pep” Guardiola, 38 tahun. Pelatih pendatang baru ini, seperti meteor, sekali mengorbit langsung bersinar terang. Dia hanya butuh waktu kurang dari setahun untuk merengkuh tiga gelar se­kaligus, yakni juara Copa del Rey alias Piala Raja, juara La Liga, dan ditutup dengan manis menjadi nomor satu di daratan Eropa.

Prestasi itu tidak pernah direngkuh manajer klub ini sebelumnya, tak terkecuali Johan Cruyff, legenda Barca yang menyumbangkan empat gelar liga dan satu Piala Champions Eropa. ”Kami memang juara, tapi bukan berarti ini tim Barcelona yang terbaik. Kami hanya terbaik di musim kompetisi ini,” ujar Pep merendah.

Apa pun silat kata yang keluar dari mulutnya, toh Guardiola telah menghadirkan kembali sebuah permainan sepak bola yang mengasyikkan: tampil terus menyerang dan, jangan lupa, dengan semangat yang tak pernah kendur. Kelebihannya adalah mampu memotivasi para pemainnya dan, yang jauh lebih penting, menghilangkan konflik di antara pemain. Permainan di lapangan itulah hasil kerja kerasnya. Semua orang bertepuk tangan.

Tentu ini berbeda dengan saat dia ditunjuk Joan Laporta, Presiden Barcelona, untuk menangani klub ini, Juni tahun lalu. Menyusul gagalnya Barca menjadi juara La Liga musim kemarin, pihak manajemen langsung mencopot Frank Rijkaard, asal Belanda. Kandidat pelatih bermunculan. Salah satunya Jose Mourinho, lelaki asal Portugal yang bersinar di Chelsea. ”Dia merupakan pilihan yang aman,” kata Laporta.

Ternyata, di tengah jalan, Laporta­ malah menunjuk Pep. Rupanya, dia mencari pelatih yang bisa menyatu dengan para pemain. Pada Peplah so­sok pelatih seperti itu dia temukan. Pep, bintang di klub itu pada 1990an, memang pernah menjadi pemain besar di Barcelona, tapi untuk menjadi pelatih? Tunggu dulu, begitu komentar khala­yak. Bekal membawa tim Barcelona B masuk ke Seri B tentu belum cukup untuk kompetisi yang keras dan megah seperti La Liga.

Benar saja. Penunjukan Pep langsung menuai kritik. Umpatan langsung berhamburan. Salah satunya dari bekas temannya satu tim, Hristo Stoichkov—legenda Barca asal Bulgaria. ”Guardiola pelatih terburuk di dunia,” katanya mengomentari buruknya Barca dalam dua pertandingan pemanasan.

Namun Laporta tutup kuping. Dia pun memberikan dukungan kepada pi­lihannya. Pep sendiri tak peduli. Dia telah menemukan kunci penyebab keja­tuhan klub itu. Pemainpemain bintang dianggapnya sebagai biang keladi. Ro­naldinho dan Deco Sousa dijual. Kelakuan mereka yang bak setengah dewa kerap menjadi persoalan dalam ruang ganti. Dia memberikan kesempatan kepada Samuel Eto’o untuk menunjukkan keserius­annya. Bila tidak, silakan angkat koper dari Camp Nou.

Tak hanya itu. Dia pun mengeluarkan aturan baru, terutama dalam soal disiplin. Baginya, siapa pun pemainnya, kalau salah, tiada ampun. Dia me­ne­rapkan sistem hukuman berupa denda. Mereka yang telat berlatih kena sanksi membayar uang 6.000 euro. Sedangkan yang absen dalam sarap­an bersama kena denda 500 euro. Dia juga mene­rapkan pan­tangan pada pemainnya. Lionel Messi dilarang menyantap pizza, steak, dan minuman soda.

Di lapangan sama juga. Dia melakukan proteksi yang ketat terhadap pemain. Satu contoh terjadi saat pertandingan melawan Real Madrid di Camp Nou, Barcelona, Desember tahun lalu. Saat Lionel Messi bergulingguling sehabis digaprak pemain Madrid, dari pinggir lapangan Pep berteriak kepada wasit, ”Woooi…. Kau harus melin­dunginya.”

Yang paling penting, di luar lapangan, dia menjadi teman bagi para pemainnya. Pep sering mengajak diskusi dan menonton rekaman pertandingan. ”Dia mengingat segalanya,” kata Xavi Hernandez, salah satu bintang Barca. ”Dan semua alasan yang dia berikan, bagi kami, sangat masuk akal,” ujarnya. Hal lain adalah kemampuannya dalam memompa ­semangat timnya. Termasuk dalam perburuan gelar dengan musuh ”tradisi” mereka, Real Madrid. Intinya: klub Ca­talan ini tidak boleh kalah oleh Madrid.

Dia memang Catalan sejati. Pep mengaku dilahirkan untuk menjadi pemain sepak bola. Saat kakikakinya masih lemah, dia sudah menyepak bola di kampung halamannya, Santpedor, sebuah desa di Catalunya. Beranjak remaja, dia masuk akademi sepak bola klub itu. Pada usia 15 tahun, dia menjadi anak gawang, yang siap berlari di pinggir lapangan untuk mengambil bola saat para seniornya bertarung. Sebelas tahun berselang, dia menjadi pemain inti klub ini.

Namun itu bukan berarti tak ada hambatan. Orang tuanya ingin dia mengutamakan sekolahnya. ”Saya murid yang pintar. Saya pernah kuliah ­hukum selama satu tahun. Tapi, ah, saya menyerah,” katanya. Pep memutuskan untuk berhenti ke kampus, karena harus berbagi dengan kegiatannya bermain sepak bola.

Pilihan yang tak keliru. Dia menjadi ikon di Camp Nou. Setelah pensiun dari klub yang membesarkannya, dia sempat berpindah klub. Di klub Brescia, Italia, sinarnya tak lagi berkilau, bahkan ia sempat tersandung kasus doping. Beruntung klub AS Roma memungutnya. ”Tapi tidak terlalu menyenangkan. Ketimbang bermain, saya lebih banyak berada di bangku cadangan,” ujarnya masygul.

Rabu malam pekan lalu, keadaan berbeda sama sekali. Di stadion yang sering membuatnya gulana, Josep Guardiola menjadi bintang yang luar biasa. Seluruh dunia menyaksikan kehebatannya.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus