Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDUNG bermainmain di atas Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Tapi Mohammad Unjik tak terusik. Ia harus segera membersihkan gulma di sekitar tanaman kubisnya.
Hari itu, jadwal petani di pundak Gunung Panderman ini cukup padat: beres menyiangi kebun, ia masih harus kuliah. Pukul 14.0016.00, Unjik harus mengikuti mata kuliah sistem pertanian organik.
Unjik dan 39 petani lain adalah mahasiswa Program Diploma Satu Hortikultura Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Inilah program diploma pertama di Indonesia khusus bagi petani yang dikembangkan Universitas Brawijaya dan Pemerintah Kota Batu.
Dibuka sejak 2006, bidang studi program ini bergantiganti setiap tahun, dimulai setiap Agustus. Di tahun pertama, mata kuliah utama program ini budi daya apel. Tahun berikutnya budi daya tanaman hias. Tahun ini budi daya sayursayuran.
Untuk dapat mengikuti kuliah itu, Unjik dan kawankawannya harus lulus serangkaian tes tertulis, wawancara, dan administrasi. Seleksinya ketat. Dalam seleksi administratif, misalnya, calon mahasiswa harus berijazah sekolah menengah atas, bekerja sebagai petani atau buruh tani, dan anak petani, serta memiliki pengetahuan tentang bertani.
Calon mahasiswa juga harus mempunyai bukti yang menunjukkan ia petani atau anak petani yang berdomisili di Kota Batu. Bukti itu bisa berupa kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan surat pengantar dari desa. ”Ini agar tak salah sasaran,” ujar Mistin, Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu, kepada Tempo.
Soal usia—ini yang sedikit longgar—tak ada batasan. Unjik baru 19 tahun, tapi ada teman sekelasnya yang berusia 42 tahun.
Untuk kuliah ini, Unjik dan temantemannya tidak dikenai biaya. ”Dananya sebesar Rp 400 juta dari APBD,” kata Mistin. ”Dana itu berdasarkan perhitungan bahwa setiap mahasiswa menghabiskan anggaran Rp 10 juta selama kuliah.”
Lulus kuliah, para mahasiswa akan mendapat dana hibah untuk modal usaha. ”Setiap mahasiswa mendapat Rp 30 juta,” ujar Mistin.
Tapi para mahasiswa itu harus menyanggupi satu syarat: menyelesaikan kuliah. Jika berhenti di tengah jalan, mereka harus membayar uang pengganti Rp 10 juta.
Walau kelasnya cuma diploma, para pengajarnya bukan dosen sembarangan. ”Para dosen harus menguasai teori dan praktek lapangan karena mereka langsung berhadapan dengan petani yang biasa di lapangan,” kata ketua program ini, Tatik Wardiyati.
Sesekali ke kelas mereka datang dosen tamu, yang berasal dari kalangan praktisi dan peneliti. Kadang yang datang itu ahli dari perbankan, kali lain dari balai penelitian pertanian, dan ada pula pedagang.
Program diploma itu terdiri atas 42 satuan kredit semester—70 persen teori dan 30 persen praktek lapangan serta praktikum. Praktek lapangan dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Kota Batu dan di lahan pertanian milik mahasiswa. Untuk kuliah, mereka memakai salah satu kelas di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri II Kota Batu.
Materi kuliahnya beragam, tapi disesuaikan dengan program kuliah utama. ”Semua mengarah ke praktek,” ujar Tatik. Doktor budi daya pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ini mencontohkan, di kelas apel (2006), yang diajarkan adalah teknologi produksi hortikultura apel. Di kelas sayuran, yang diberikan adalah materi tentang teknologi produksi sayuran.
Ada pula materi kuliah umum, seperti mata kuliah tanah. Di kelas ini mahasiswa diajari soal kesuburan tanah, fungsi tanah terhadap tanaman, serta reaksi tanah terhadap pupuk organik dan nonorganik. Pada mata kuliah pengendalian hama penyakit, diajarkan pengetahuan mengenai jenis hama dan cara pemberantasannya. Mahasiswa juga diajari teknologi pascapanen, seperti pengepakan dan penyimpanan, sekaligus cara pemasaran hasil panen.
Materi penting lainnya adalah keorganisasian. Menurut Tatik, petani di Thailand dan Taiwan maju berkat organisasi mereka yang kuat. ”Melalui organisasinya, mereka bisa menentukan harga panen hingga punya gudang penyimpanan di bandara. Di Indonesia, karena organisasi petani lemah, harga komoditas pertanian masih ditentukan pedagang,” ujarnya.
Unjik juga akan diajari cara membuat proposal usaha untuk diajukan ke bank dalam mata kuliah permodalan. Dalam proposal itu, mahasiswa harus mencantumkan prospek tanaman, jumlah modal yang dibutuhkan, dan berapa lama mereka sanggup membayar pinjaman.
Setelah menyelesaikan semua mata kuliah, mahasiswa wajib membuat tugas akhir. Temanya adalah masalah yang ada di lahan masingmasing dan cara pemecahannya. Setelah lulus, para petani itu masih mendapat bimbingan hingga bisa mendirikan usaha tani, selain—itu tadi—mendapat dana hibah Rp 30 juta. ”Program ini memang sebagai training budi daya tanaman hortikultura mulai hulu hingga hilir,” ujar Tatik.
Begitulah gagasan besar program diploma satu ini. Awalnya adalah keprihatinan mantan Wali Kota Batu, (almarhum) Imam Kabul, terhadap penurunan produksi dan mutu apel di wilayahnya. Saat itu tanaman apel terlihat kurus, ukuran buahnya kecil, dan rasanya masam.
Imam Kabul lantas meminta saran Universitas Brawijaya mengenai cara menaikkan kembali produksi dan mutu apel. ”Waktu itu saya menyarankan sumber daya petani diperbaiki dengan menyekolahkan para petani,” ujar Tatik.
Saran diterima. Semula program ini dirancang untuk diploma dua. Program itu diubah jadi diploma satu karena Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya tak memiliki program diploma dua. Program ini direncanakan akan berlangsung lima tahun dengan mata kuliah utama yang berbeda setiap tahun. Tahun depan, program utamanya adalah kelas lanskap untuk mendukung Kota Batu sebagai kota agrowisata. Pada tahun kelima, yang diselenggarakan adalah program jeruk. Setelah itu? Belum ditetapkan, tapi banyak yang berharap program dilanjutkan.
Edi Suprapto, Budi Rawendro, dan Fauzi—ketiganya alumnus program diploma ini—berharap program ini dilanjutkan. ”Sangat membantu para petani,” kata Edi.
Pria 27 tahun warga Kelurahan Ngaglik ini mengaku, berkat program ini, pengetahuannya tentang budi daya tanaman hias semakin kaya. Semua yang diajarkan di kuliah menjawab kebutuhannya.
Edi, lulusan sekolah menengah kejuruan dan petani tanaman hias, mendaftar sebagai mahasiswa program ini tahun lalu. Kini ia bersama Budi dan Fauzi sedang mengembangkan bisnis tanaman anturium. Modalnya dari hibah program diploma satu. Di lahan seluas 800 meter persegi di Desa Pesanggrahan, mereka membuka usaha tersebut dalam sebuah greenhouse. ”Sudah mulai panen,” kata Edi.
Sebelum kuliah, ia hanya bisa menjual hasil panennya ke tengkulak dengan harga Rp 1.500 per tangkai. Tapi saat ini ia bisa menjual bunga anturium Rp 5.0006.000 per tangkai. Harga bagus ini karena ia kini menjual langsung ke toko bunga. ”Ini berkat mata kuliah pemasaran,” ujarnya.
Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo