YUGOSLAVIA, si Pembunuh Raksasa, kini berhak menyandang supremasi sepak bola dunia yunior. Di hadapan sekitar 65 ribu penonton di stadion nasional di Santiago, Cili, Minggu malam, pekan lalu, kesebelasan Partizan menggilas favorit Jerman Barat dengan skor 6-5 lewat adu penalti. Kedua kesebelasan bermain imbang 1-1 (0-0) selama 2 x 45 menit dan perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Keberhasilan Yugoslavia sudah terlihat sejak babak pendahuluan. Di grup A, bersama tuan rumah Cili, Togo, dan Australia, kesebelasan asuhan Mirko Jozic ini bermain gemilang, tanpa kehilangan satu angka pun. Bahkan di perempat final Yugoslavia mengempaskan juara bertahan 1983 dan 1985, Brasil, 2-1. Begitu juga di semifinal menghantam tim tangguh Jerman Timur, 2-1. Kemenangan kesebelasan Pegunungan Balkan ini tentu merupakan pertanda bangkitnya sepak bola Yugoslavia yang sepuluh tahun belakangan ini tenggelam -- bahkan di tingkat Eropa sekalipun. Padahal, negeri ini tak pernah kering dalam melahirkan nama-nama besar di kalangan sepak bola. Misalnya, Pelatih Bora Milutinoyic, yang gemilang mengantarkan Meksiko ke perempat final Piala Dunia tahun lalu. Atau Tony Pogacnick, peletak dasar sepak bola modern yang legendaris di Indonesia. Sebaliknya, bagi Jerman Barat sendiri, hasil pertandingan final itu merupakan antiklimaks penampilan mereka di turnamen ini. Seperti halnya Yugoslavia, kesebelasan Jerman Barat juga mencatat kemenangan mutlak atas lawan-lawannya di babak penyisihan. Bahkan kesebelasan asuhan bekas kapten kesebelasan nasional Jerman Barat 1970-an, Bertie Vogts, sempat membungkam tuan rumah Cili dengan skor telak, 4-0, di babak semifinal. Sungguh ironis memang, buat juara dunia sepak bola yunior 1981 ini. Kegagalan itu justru datang dari goal getter berambut pirang, Marcel Witeczek. Dialah satu-satunya pemain yang luput menceploskan si kulit bundar ke gawang lawan, ketika adu penalti berlangsung. Sial, memang. Padahal, dari kaki pemain asal klub papan atas Bayern Uerdingen ini Jerman sempat menyamakan kedudukan 1-1, lewat tendangan penalti -- tiga menit menjelang babak kedua berakhir -- sekaligus menjadi top scorer kejuaraan dengan 7 gol. Kejuaraan yang memperebutkan piala Coca-Cola ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali, dan sudah berlangsung untuk keenam kalinya. Setiap kejuaraan diikuti 16 kesebelasan yunior di bawah usia 21 tahun, yang lolos dari babak kualifakasi mewakili lima benua. Uni Soviet merupakan negara pertama yang menjuarai turnamen ini ketika berlangsung di Tunisia, sepuluh tahun yang silam. Dua tahun berikutnya, 1979, kejuaraan diadakan di Jepang. Indonesia sempat mengirimkan wakilnya karena "kebetulan". Di babak kualifikasi Asia, yang hanya memilih dua wakil Asia, kesebelasan PSSI yunior tak punya harapan tampil di Jepang, karena berada di urutan lima setelah Korea Selatan, Korea Utara, Irak, dan Kuwait. Tapi entah mengapa Korea Utara terlambat mendaftarkan diri. Sedangkan Irak dan Kuwait, karena alasan politis, menolak sponsor perusahaan Coca-Cola dalam turnamen ini. Karena itulah pilihan jatuh pada Indonesia. PSSI Yunior, yang ketika itu diasuh oleh Sucipto Suntoro, di babak penyisihan berada satu grup dengan Argentina, Polandia, dan Yugoslavia. Hasilnya pahit. Indonesia diberi pelajaran "bagaimana bermain sepak bola yang benar". Akibatnya, Arief Hidayat dkk. digunduli oleh kesebelasan tersebut, masing-masing dengan skor 5-0, 6-0, dan 5-0. Ketika itu, Argentina, yang dipimpin Manajer Cesar Luis Menotti dan Kapten Diego Maradona, keluar sebagai juara. Rudy Novrianto dan Ahmed K.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini