MANCING tak selalu membuahkan kesabaran. Buktinya, Rusdianto, 30 tahun. Penarik becak ini gusar. Seharian mengail, sorenya ia pulang tanpa bawa ikan -- kecuali capek dan kesal. Dengan lesu, tubuhnya yang kurus dan hitam itu direbahkan ke balai-balai bambu tanpa kasur. Beberapa menit kemudian, ayah dua anak ini tertidur. Tahu-tahu Umiri, 19 tahun, istrinya itu, masuk ke kamar. "Pak, makan dulu," katanya. Dengan enggan, Rusdi menjawab, "Malas, masih kenyang." Jawaban ini rupanya berbuntut panjang. Umiri nyerocos, "Kamu orang lelaki seharian kerjanya hanya tiduran. Ingat, kamu punya anak dan istri yang harus diberi makan." Rusdi diam saja. Di pinggir balai-balai itu, anaknya yang dua tahun, Riyanto, ikut merengek. Ia minta dibelikan kue. Rusdi tetap diam. Ia memang tak punya uang untuk beli kue. Tapi Umiri kembali nyerocos, "Sekarang kita tak punya beras untuk dimasak." Kuping Rusdi jadi panas mendengarnya. Semula ia ditawari makan, tapi sekarang dibilang tak punya beras. Malam itu, sekitar pukul 9, Rusdi, yang masih numpang di rumah mertua itu, keluar rumah. Katanya, ia ke rumah orangtuanya di SangkanJoyo, desa tetangga yang jaraknya 500 meter. Tak berapa lama, Rusdi sudah kembali tanpa membawa sebutir beras pun. "Mana berasnya?" sergah Umiri, jebolan SD kelas II itu. "Tak dapat," jawab Rusdianto pendek, tak kalah sengit. Omelan Umiri kembali meledak. Perang mulut tak terhindarkan, hingga membuat Mardin, anak mereka yang satu tahun, terbangun. Dan anak itu menangis. Kejengkelan Rusdi jadi menumpuk. Sumpek. Ditariknya kedua kaki Mardin dari gendongan istrinya. Umiri, yang berusaha mempertahankan anaknya, tak berhasil. Anak itu berpindah ke Rusdi, dan masih menangis. Rusdi melarikan anak itu ke belakang rumah, ke dekat pohon bambu yang gelap. Tangis anak itu makin kencang. Tanpa rasa kasihan lagi, mulut Mardin disumbat Rusdi dengan onderock istrinya. Kejengkelan Rusdi tak luluh, apalagi setelah mendengar teriakan Umiri minta tolong. Malah Rusdi membanting Mardin. Ngek! Bantingan itu hingga tiga kali - dan anak itu tak bersuara. Setelah Mardin tak berkutik, barulah Rusdi sadar. Cepat ia menyelinap ke dalam kebun tebu. Malam itu juga, tubuh bocah tanpa dosa ini dibawa ke Puskesmas setempat. Tapi tak tertolong. Kejadian 2 Juni lalu itu tentu membuat geger warga Desa Kebon Agung, Kecamatan Kajen, Pekalongan. Rusdi, yang raib itu, dua hari kemudian barulah menyerahkan diri pada Kepala Desa Sangkanjoyo, tempat Rusdi dibesarkan. Dan pekan-pekan ini, kini ia duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Pekalongan. Pada sidang terakhir, 19 Oktober lalu, Rusdi, yang didampingi pengacara Furqon Ismail, S.H., lebih banyak menunduk lesu. Menyesal. "Sejak ditahan ia memang kelihatan tertekan, tak mau diajak ngomong oleh orang lain, kecuali polisi," kata Letkol B. Amir Pringgowarsito, Kapolres Pekalongan. Rusdi, yang dua jarinya putus dan sering dipanggil Puther itu, menurut para tetangga dikenal malas. Pantas, istrinya sering marah. Suatu ketika anak pertamanya, ketika masih kecil, diletakkan Rusdi di pinggir parit, di malam hari. Tentu anak itu menjerit-jerit. Umiri diancam. Rusdi memang emosional. Atas kelakuan menantunya itu, Ustiah tak bisa apa-apa. Ia janda tua. Mengapa Rusdi membunuh anaknya? "Saya kilap, Bu Hakim," kata Rusdi di hadapan Hakim Ketua, Nyonya Rooswanti, S.H. Sebenarnya, ia kesal diomeli istrinya setelah pulang dari mancing itu. Malam itu, kata Rusdi pada polisi, dia sudah berusaha mencari beras ke rumah orangtuanya. Tapi keterangan ini dibantah Umiri. "Malam itu suami saya tidak pergi ke mana-mana. Hanya duduk-duduk di belakang rumah," kata Umiri. Apa pun ceritanya, nasib sudah berlalu. Dan hati Umiri sudah tertutup untuk Rusdi. "Saya sudah benci padanya," kata Umiri. Kini ia berniat minta cerai, setelah suaminya keluar dari bui nanti. Widi Yarmanto (Jakarta) dan Rustam F. Mandayun (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini