Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berita Tempo Plus

Pendekar-pendekar manca negara

Invitasi pencak silat internasional prasetya mulya i di istora senayan, jakarta, beberapa pendekar dari luar negeri menunjukkan kebolehannya perkembangan pencak silat di luar negeri. (or)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Pendekar-pendekar manca negara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-MULA John Will tampak seperti masih menyusun kuda-kuda kedua kakinya. Dalam keadaan begitu sebuah ayunan pelungku pesilat Jaelani Kassim (Malaysia) mendarat di dada John Will. Serangan itu dengan segera memancing pesilat Australia itu mengeluarkan jurusjurus yang sukar diduga lawannya. Kedua lengannya berkembang, disusul ayunan kaki beruntun ke dada lawan. Suatu ketika ia menjatuhkan diri dengan kaki kiri terlipat bersila dan serempak kaki kanannya terentang menyapu Jaelani. Pesilat Malaysia itu sempoyongan keluar lingkaran arena. Angka kemenangan diberikan dewan juri kepada John Will. John Will (25 tahun) adalah pendekar satu-satunya dari negeri Kanguru yang ikut Invitasi Pencak Silat Internasional Prasetiya Mulya Pertama (6-8 Agustus) di Istora Jakarta. Meski satu-satunya, penampilannya paling mengesankan di antara peserta berkulit putih. Ia adalah guru olahraga pada sebuah perusahaan di Melbourne. "Sejak 1975, 4 bulan dalam setahun saya menetap di Bali untuk belajar silat," tutur pemuda brambut keriting itu dalam bahasa Indonesia yang fasih. John Will, katanya sebelum berguru silat di perguruan Bakti Negara (Bali), pernah belajar di berbagai perguruan silat di Indonesia. Ia meninggalkan setiap perguruan setelah mengalahkan rekan-rekan seperguruan. Cuma di Bali ia menemukan pendekar-pendekar yang membuat dia harus berguru sampai tahun 1982 ini. "Mungkin ini tahun terakhir," tutur pelatihnya, Bagus Ketut Dani Suparta. John Will sudah membuka perguruan Bakti Negara cabang Australia dengan 100 murid. Tiap murid membayar A$ 15 sebulan. Rencananya jika menjadi juara di Jakarta dia akan melaporkan keikutsertaannya dalam invitasi ini kepada pemerintahnya di Australia. John Will yang datang ke invitasi ini dengan biaya sendiri, akan memperkenalkan pencak silat sebagai bagian dari cabang bela diri yang dibawahkan konsul bela diri Australia. Sekarang yang telah dibawahkan konsul ini adalah karate, taekwondo dan jiu jitsu. Dia sendiri mula-mula adalah penggemar seni bela diri dari Jepang itu. "Tapi olahraga-olahraga itu membosankan, karena itu saya memilih pencak silat," tutur John Will. Tak kalah teknik dari John Will adalah pesilat Jerman Barat, Zeljko Menikanin (20 tahun). "Ia juara pencak silat se Eropa tahun ini," ungkap gurunya, Arief Suryana 33 tahun). Pemuda ganteng, yang digelari "Lady Di" oleh pesilat-pesilat putri Indonesia karena rambutnya mirip istri putra mahkota Inggris itu, menurut Arief, tertarik pada silat karena ia penggemar film kungfu. Mula-mula Menikanin belajar kungfu, tapi kemudian berguru pada Arief Suryana, putra Banten yang membuka perguruan Panca Indra Sakti di Jerman. "Dalam perguruan kungfu pemuda Jerman tak puas. Justru dalam silat kita, kata mereka, jurus-jurus yang diajarkan lebih mirip Bruce Lee di film," tutur Arief. Bukan cuma dari kalangan tukang las seperti Zeljko Menikanin yang menggemari silat Indonesia. Pelajar SMP seperti Slavko Rako (16 tahun), tertarik karena silat adalah olahraga yang menarik. Para mahasiswa di Jerman pun banyak, karena menurut mereka perguruan silat bukan cuma tempat olahraga beladiri, tapi juga memberi ajaran filsafat. Contoh jelas, Dieter Rajic (30 tahun) belajar pencak silat sejak ia mulai kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Aachen. Satu falsafah silat yang sangat dihayati Dieter Rajic, yakni "padi semakin berisi semakin tunduk." Sudah 6 tahun ia belajar silat dan kini bergelar Kar 2 (Kampfer atau Pendekar) -- serta sudah diangkat jadi guru silat. Ia menolak dipotret bersama Ketua IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia) Eddy Nalapraya, karena "takut disangka mau sok jagoan di negeri silat ini." "Pemuda-pemudi Jerman tertarik pada pencak silat hanya sebagai olahraga. Bukan untuk gagah-gagahan. Karena di Jerman kalau berani memukul orang, bisa dituntut di pengadilan dan didenda DM 100 (Rp 25.000)," tutur Arief Suryana, yang belum lama ini mendapat gelar sarjana arsitektur di sana. Fedefasi Sport Nasional Jerman Barat telah mengakui pencak silat sebagai olahraga resmi di negara itu. Di Negeri Belanda memang sering terjadi perkelahian, apalagi di daerah hitam Haarlem. Di dekat stasiun Haarlem kebetulan ada perguruan silat pimpinan A D. Nclson (50 tahun). Warganegara Belanda keturunan Manado ini lahir di Besuki, Jawa Timur dan bergelar pendekar 5 aliran (Pamur, Bawean, Badai, Manyang dan Bakti Negara Bali). Ia juga adalah karyawan Delta Lloyd Amsterdam dan menjabat Sekjen Bond Pencak Silat Belanda (BPSB). Kemajuan pencak silat di Belanda, antara lain diperlihatkan secara mengesankan oleh Ronald Boham di malam pembukaan kejuaraan Jumat lalu. Ronald Boham dijuluki penonton sebagai Belanda Hitam, karena pemuda 15 tahun itu memang warga Indonesia. Ayahnya, Otto Karl Boham, berasal dari Bunaken (Sangihe Besar), bekerja sebagai Ketua Dewan Ekonomi Veteran Indonesia (DEVI) cabang Eropa dan menjadi Ketua Bond Pencak Silat Belanda. "Usaha pembentukan bond sudah dimulai sejak 1972, tapi baru bisa menjadi bond setelah beranggotakan 2.000 orang tahun 1977," tutur Otto Karl Boham. Kini di Belanda sudah ada 39 perguruan, dengan 3.500 murid, antara lain pimpinan A.D. Nelson, Simon (pemuda Bandung) dengan aliran Pancabela dan Agus dari Panca Indra Suci Banten. Karena usaha BPSB pula pemerintah Belanda sudah mengakui pencak silat sebagai cabang olahraga nasional. "Pemerintah kotapraja banyak membantu menyediakan sarana gedung untuk latihan. Malah dalam penyusunan anggaran belanja negara itu 1983-1984, bond sudah diminta mengajukan anggaran," tutur ketua BPSB. Mungkin karena itu Ketua IPSI Eddy Nalapraya telah meminta BPSB menjadi tuan rumah kejuaraan pencak silat Prasetiya Mulya II tahun 1984 di Belanda. Pendekar-pendekar dari Belanda rupanya menyetujui hal itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus