KAPAL full container (peti kemas komplit) Maersk Pinto beberapa
waktu lalu telah ditolak membongkar muatan di Tanjungpriok,
Jakarta. Membawa 100 peti kemas dari AS yang di dalamnya
(sekitar 1% atau 64 m3) berisi barang milik berbagai instansi
pemerintah Indonesia, kapal berbendera Panama itu dianggap telah
melanggar Keppres No. 18 tahun 1982. Keputusan presiden yang
ditelurkan 12 April itu memang mengharuskan "pengangkutan muatan
barang ekspor dan impor milik pemerintah Indonesia dilakukan
oleh kapal-kapal Indonesia."
Sri Mulyono Herlambang, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Muatan
Kapal Indonesia (INFFA), yang mengungkapkan kenyataan itu kepada
Warta Ekonomi Maritim, menyesalkan penolakan yang terjadi pada
Juni lalu. Sedang J.E. Habibie, Sekretaris Ditjen Perhubungan
Laut ternyata tak mengetahui peristiwa tersebut. "Tak ada
laporan mengenai persoalan itu di meja saya," jawabnya.
Erwin Saropie, manajer customer service Maersk Line (pemilik
kapal), menduga persoalan sesungguhnya bukan karena melanggar
Keppres No. 18. Alasan yang masuk akal, katanya, "pemerintah
mungkin ingin mengurangi peran kapal asing melayari jalur feeder
line " Jadi tampaknya kapal asing hanya akan diberi peran di
regular line.
Pendapat serupa juga dikemukakan Dirut PT Djakarta Lloyd Norman
Razak. Menurut dia, mungkin saja pemerintah menganggap sejumlah
perusahaan pelayaran nasional -- seperti PT Pelni, PT Angkutan
Pertambangan, dan PT Perintis Line -- sudah mampu melayani
kegiatan pelayaran antara Singapura dengan sejumlah pelabuhan di
Indonesia, disebut feeder services.
Singapura dianggap masuk wilayah angkutan nusantara, sesuai
dengan perjanjian antara Asosiasi Perkapalan Singapura (SSA)
dengan Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA). "Dus
Maersk Pinto (yang diageni Djakarta Lloyd) tak boleh melakukan
kegiatan feedering ke Indonesia lagi, kalau tak salah mulai awal
kuartal kedua tahun ini," ujar Norman Razak kepada TEMPO.
Maersk Pinto akhirnya diperintahkan berlayar kembali ke
Hongkong, dan melakukan pengalihan muatan (transhipment) dari
sana. Tapi jika benar alasan penolakan membongkar muatan karena
dianggap melanggar Keppres No. 18, peristiwa itu, tentu saja,
menarik. Sebab sampai kini, sejumlah perusahaan pelayaran asing
masih tetap dibiarkan mengangkut barang milik pemerintah
Indonesia.
American President Line (APL) yang mendapat Surat Keagenan Umum
(SKU) pada 1 Agustus, misalnya, masih mengoperasikan keempat
kapal peti kemasnya melayari rute Oakland (Pantai Barat AS),
Taiwan, Hongkong, Singapura dan Jakarta. Dua pekan sekali kapai
APL tiba di Jakarta mengangkut buah segar (apel, jeruk, dan
anggur California), kapas, mesin, dan minyak pelumas. Serta
kembali ke AS mengangkut kayu olahan, teh, pakaian jadi, dan
hasil laut beku. "Kami masih menunggu peraturan pelaksanaan
keputusan presiden itu," ujar Aryanto Tjokronegoro, Manajer
Lalulintas APL.
Aryanto khawatir jika barang yang sifatnya dibeli langsung,
milik perusahaan umum (seperti PLN dan Telekomunikasi), dan
hasil dari persero perkebunan juga turut digolongkan milik
pemerintah. Sebab APL setiap bulannya mengangkut hasil persero
perkebunan (pemerintah) sekitar 60% dari volume ekspor yang
2.500 ton. Sedang volume barang yang dikategorikan milik
pemerintah yang diangkut dari AS, berjumlah 30% dari total 4.500
ton setiap bulan.
Sekalipun peraturan pelaksanaan itu belum turun, 10 negara
industri yang tergabung dalam OECD dikabarkan telah melayangkan
surat protes sehubungan dengan Keppres No. 18 itu. Tapi pihak
Ditjen Perhubungan Laut menyatakan belum menerima surat protes.
Kabarnya, kelompok 10 negara itu kemudian telah menunda surat
protesnya. Hanya Raymond Waldmann, Asisten Menteri Perdagangan
AS, yang secara resmi mewakili Washington, pernah melayangkan
kecamannya. Di awal Juni itu, Waldmann datang ke Jakarta menemui
Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro dan Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed.
PROTES keras Washington itu akhirnya toh dilayani Jakarta.
Menurut Sekretaris Ditjen Perla Habibie, pemerintah kini sedang
menyiapkan perjanjian bilateral dengan AS sehubungan dengan
Keppres No. 18. "Pokoknya kita ingin mencapai suatu persetujuan
yang adil," katanya.
Berdasarkan suatu perhitungan kasar, barang ekspor dan impor
milik pemerintah Indonesia itu hanya sekitar 30% dari seluruh
volume total ekspor dan impor. Barang milik pemerintah terbesar
datang dari Jepang yang tahun ini diperkirakan berjumlah 4,3
juta metrik ton, tahun lalu 4,1 juta metrik ton. Sekitar 43%
dari volume barang impor itu, demikian Ketua INSA Boedihardjo
Sastrohadiwirjo, diangkut oleh perusahaan pelayaran Indonesia.
Tapi minyak mentah dan LNG dari Indonesia ke Jepang, kata
Boedihardjo yang juga Presdir PT Trikora Lloyd, semuanya
diangkut armada asing. Sanggupkah pelayaran nasional mengangkut
kedua komoditi itu? Kendati belum punya kapal pengangkut "kami
bisa mencarter kapal tanker asing," jawab Boedihardjo. Itu
memang dibolehkan Keppres No. 18.
Sukses tidaknya pelaksanaan Keppres No. 18, menurut Boedihardjo,
juga banyak ditentukan perjanjian perdagangan antara pemerintah
dengan negara pembeli atau penjual. Soal ekspor minyak misalnya,
sebaiknya disebut jelas bagaimana pengangkutannya. Dalam
hubungan itulah, dia menyatakan keinginan agar armada INSA juga
dilibatkan dalam kebijaksanaan ekspor yang dikaitkan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini