Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Teka-teki maersk pinto

Pelaksanaan keppres no.18/1982 di bidang pelayaran masih kabur. sementara banyak protes dari negara-negara lain, sekalipun peraturan pelaksanaan belum turun.(eb)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Teka-teki maersk pinto
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL full container (peti kemas komplit) Maersk Pinto beberapa waktu lalu telah ditolak membongkar muatan di Tanjungpriok, Jakarta. Membawa 100 peti kemas dari AS yang di dalamnya (sekitar 1% atau 64 m3) berisi barang milik berbagai instansi pemerintah Indonesia, kapal berbendera Panama itu dianggap telah melanggar Keppres No. 18 tahun 1982. Keputusan presiden yang ditelurkan 12 April itu memang mengharuskan "pengangkutan muatan barang ekspor dan impor milik pemerintah Indonesia dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia." Sri Mulyono Herlambang, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Muatan Kapal Indonesia (INFFA), yang mengungkapkan kenyataan itu kepada Warta Ekonomi Maritim, menyesalkan penolakan yang terjadi pada Juni lalu. Sedang J.E. Habibie, Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut ternyata tak mengetahui peristiwa tersebut. "Tak ada laporan mengenai persoalan itu di meja saya," jawabnya. Erwin Saropie, manajer customer service Maersk Line (pemilik kapal), menduga persoalan sesungguhnya bukan karena melanggar Keppres No. 18. Alasan yang masuk akal, katanya, "pemerintah mungkin ingin mengurangi peran kapal asing melayari jalur feeder line " Jadi tampaknya kapal asing hanya akan diberi peran di regular line. Pendapat serupa juga dikemukakan Dirut PT Djakarta Lloyd Norman Razak. Menurut dia, mungkin saja pemerintah menganggap sejumlah perusahaan pelayaran nasional -- seperti PT Pelni, PT Angkutan Pertambangan, dan PT Perintis Line -- sudah mampu melayani kegiatan pelayaran antara Singapura dengan sejumlah pelabuhan di Indonesia, disebut feeder services. Singapura dianggap masuk wilayah angkutan nusantara, sesuai dengan perjanjian antara Asosiasi Perkapalan Singapura (SSA) dengan Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA). "Dus Maersk Pinto (yang diageni Djakarta Lloyd) tak boleh melakukan kegiatan feedering ke Indonesia lagi, kalau tak salah mulai awal kuartal kedua tahun ini," ujar Norman Razak kepada TEMPO. Maersk Pinto akhirnya diperintahkan berlayar kembali ke Hongkong, dan melakukan pengalihan muatan (transhipment) dari sana. Tapi jika benar alasan penolakan membongkar muatan karena dianggap melanggar Keppres No. 18, peristiwa itu, tentu saja, menarik. Sebab sampai kini, sejumlah perusahaan pelayaran asing masih tetap dibiarkan mengangkut barang milik pemerintah Indonesia. American President Line (APL) yang mendapat Surat Keagenan Umum (SKU) pada 1 Agustus, misalnya, masih mengoperasikan keempat kapal peti kemasnya melayari rute Oakland (Pantai Barat AS), Taiwan, Hongkong, Singapura dan Jakarta. Dua pekan sekali kapai APL tiba di Jakarta mengangkut buah segar (apel, jeruk, dan anggur California), kapas, mesin, dan minyak pelumas. Serta kembali ke AS mengangkut kayu olahan, teh, pakaian jadi, dan hasil laut beku. "Kami masih menunggu peraturan pelaksanaan keputusan presiden itu," ujar Aryanto Tjokronegoro, Manajer Lalulintas APL. Aryanto khawatir jika barang yang sifatnya dibeli langsung, milik perusahaan umum (seperti PLN dan Telekomunikasi), dan hasil dari persero perkebunan juga turut digolongkan milik pemerintah. Sebab APL setiap bulannya mengangkut hasil persero perkebunan (pemerintah) sekitar 60% dari volume ekspor yang 2.500 ton. Sedang volume barang yang dikategorikan milik pemerintah yang diangkut dari AS, berjumlah 30% dari total 4.500 ton setiap bulan. Sekalipun peraturan pelaksanaan itu belum turun, 10 negara industri yang tergabung dalam OECD dikabarkan telah melayangkan surat protes sehubungan dengan Keppres No. 18 itu. Tapi pihak Ditjen Perhubungan Laut menyatakan belum menerima surat protes. Kabarnya, kelompok 10 negara itu kemudian telah menunda surat protesnya. Hanya Raymond Waldmann, Asisten Menteri Perdagangan AS, yang secara resmi mewakili Washington, pernah melayangkan kecamannya. Di awal Juni itu, Waldmann datang ke Jakarta menemui Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro dan Menteri Perindustrian A.R. Soehoed. PROTES keras Washington itu akhirnya toh dilayani Jakarta. Menurut Sekretaris Ditjen Perla Habibie, pemerintah kini sedang menyiapkan perjanjian bilateral dengan AS sehubungan dengan Keppres No. 18. "Pokoknya kita ingin mencapai suatu persetujuan yang adil," katanya. Berdasarkan suatu perhitungan kasar, barang ekspor dan impor milik pemerintah Indonesia itu hanya sekitar 30% dari seluruh volume total ekspor dan impor. Barang milik pemerintah terbesar datang dari Jepang yang tahun ini diperkirakan berjumlah 4,3 juta metrik ton, tahun lalu 4,1 juta metrik ton. Sekitar 43% dari volume barang impor itu, demikian Ketua INSA Boedihardjo Sastrohadiwirjo, diangkut oleh perusahaan pelayaran Indonesia. Tapi minyak mentah dan LNG dari Indonesia ke Jepang, kata Boedihardjo yang juga Presdir PT Trikora Lloyd, semuanya diangkut armada asing. Sanggupkah pelayaran nasional mengangkut kedua komoditi itu? Kendati belum punya kapal pengangkut "kami bisa mencarter kapal tanker asing," jawab Boedihardjo. Itu memang dibolehkan Keppres No. 18. Sukses tidaknya pelaksanaan Keppres No. 18, menurut Boedihardjo, juga banyak ditentukan perjanjian perdagangan antara pemerintah dengan negara pembeli atau penjual. Soal ekspor minyak misalnya, sebaiknya disebut jelas bagaimana pengangkutannya. Dalam hubungan itulah, dia menyatakan keinginan agar armada INSA juga dilibatkan dalam kebijaksanaan ekspor yang dikaitkan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus