SEMANGAT perestroika di Uni Soviet merasuk juga ke dunia olahraga. Dan semangat ini mengubah sikap atlet-atlet Negeri Beruang itu di percaturan dunia. Pertengahan April lalu, Natalia Zvereva, petenis nomor satu Soviet yang menempati peringkat delapan dunia, membuat kejutan karena menandatangani kontrak dengan Proserv -- sebuah perusahaan jasa Amerika Serikat di bidang pemasaran olahraga. Proserv mengelola hadiah uang yang diperoleh Zvereva dari setiap pertandingan yang diikutinya. Langkah ini merupakan terobosan baru sekaligus menentang kebijaksanaan yang digariskan oleh Federasi Tenis Uni Soviet. Menurut ketentuan, semua hadiah uang yang diterima atlet Soviet dari semua cabang olahraga yang terjun di arena profesional harus diserahkan ke federasi masing-masing. Para atlet hanya memperoleh uang saku US$ 1.000 (sekitar Rp 1,75 juta) setiap minggu, ditambah biaya hidup. Itu pun besarnya tidak sama, tergantung prestasi atlet yang bersangkutan. "Saya tidak berniat mengambil semua hadiah yang saya peroleh, tapi ingin memperoleh persentase yang layak dari hasil keringat sendiri," ujar Natalia Zvereva. Dalam karirnya selama tiga setengah tahun berkecimpung di tenis pro, Zvereva mampu mengumpulkan hadiah uang US$ 512 ribu. "Pendapatan dari federasi yang tidak tetap itu membuat prestasi saya naik turun karena konsentrasi saya terpecah," kata Zvereva. Tapi Zvereva, yang baru saja mengantungi hadiah US$ 9.000 di turnamen Amelia Island, Florida, AS, masih harus berjuang keras menghadapi federasi tenis negaranya. Kemungkinan, sebelum ia kembali ke rumahnya -- sebuah apartemen berkamar empat di Minsk -- ia akan ditahan dulu di Moskow untuk sekadar interogasi perihal niatnya yang sempat membuat gusar pejabat di Soviet. "Saya akan datang ke Moskow dan berbicara dengan mereka, toh saya tak merasa berbuat salah. Jika keinginan saya tidak terkabul, saya akan berhenti main tenis dan kembali ke bangku sekolah," ujar Zvereva, sedikit ketus. Menurut Zvereva, "Saya ingin terus bekerja sama dengan federasi dalam banyak hal serta membantu negara saya dalam masalah dana dan pertandingan internasional." Sedangkan pihak Proserv berusaha keras untuk berunding dengan pihak Soviet. "Pemerintah Soviet harus tahu bahwa Zvereva sangat memikirkan penghasilannya, dan ini sangat berpengaruh terhadap penampilannya di lapangan," kata Sara Fornaciari, juru bicara Proserv. Tak cuma Zvereva. Langkah serupa dilakukan petenis berbakat Soviet lainnya, Andrei Chesnokov, yang baru saja meraih hadiah US$ 200.000 di kejuaraan Swatch Open. Seperti halnya Zvereva, Chesnokov, yang sudah mengumpulkan hadiah sekitar US$ 500 ribu, menginginkan bagian lebih besar. "Dari jumlah itu, saya paling-paling hanya mendapat sekitar US$ 12 ribu," ucap Chesnokov. Dari lapangan hijau belum terdengar adanya keluhan tentang duit-duit ini. Padahal, bintang-bintang sepak bola negara Beruang Merah ini -- finalis Piala Eropa dan juara Olimpiade 1988 -- sudah banyak memperkuat klub-klub besar di Italia, Inggris, dan Spanyol. Misalnya penjaga gawang kondang asal klub Spartak, Rinat Dasayev, seusai Piala Eropa langsung dikontrak oleh klub divisi I Spanyol, Seville. Teman satu klubnya, Vagiz Khidiatulin, hijrah ke klub Toulouse, Prancis. "Uang bagi saya bukan segalanya. Tapi bermain sepak bola merupakan kenikmatan tersendiri, selain merupakan mata pencaharian, kebahagian, dan juga kesedihan. Semuanya campur aduk dalam setiap pertandingan," kata Dasayev. Konon, dia ditransfer senilai US$ 300 ribu untuk satu musim kompetisi. Klub juara divisi I Soviet dua tahun lalu, Dynamo Kiev, merupakan klub terbanyak mengekspor pemain. Alexander Zavarov, gelandang penyerang klub itu, kini bergabung dengan klub elite Italia, Juventus. Igor Belanov, pemain penyerang, diincar oleh klub Italia lainnya, Genoa atau Atlanta. Vasily Rats, pasangan Zavarov di lapangan tengah, bersiap-siap untuk terbang ke klub Glasgow Rangers, Inggris. Sergei Baltacha, pemain belakang, sudah bergabung dengan klub anggota divisi II Inggris, Ipswich. Baltacha dikontrak sekitar US$ 250.000. untuk selama 18 bulan. Namun, uang sebesar itu masuk ke kas federasi sepak bola Soviet. Sedangkan dia, seperti halnya Zvereva, hanya menerima uang saku dari Kementerian Olahraga Soviet. Walau begitu, fasilitas yang didapat Sergei Baltacha dari klub barunya cukup membuat dia betah tinggal di Inggris bersama istrinya, Ola. Jaminan yang diberikan oleh Ipswich antara lain akomodasi, biaya makan, mobil, kursus bahasa Inggris, dan biaya pengobatan. Kebebasan untuk bisa bermain di negara kapitalis sudah merupakan suatu penghargaan bagi pemain bola Soviet. Tidak ada risiko apa-apa, dan malah -- asal mau uang transfernya disunat -- hal itu dianjurkan. Soalnya, Komite Olahraga Internasional Soviet (SISC) membutuhkan devisa untuk pembinaan olahraga di Uni Soviet. Di samping itu, pemain-pemain bola ini dibolehkan menyimpan penghasilannya dalam bentuk uang asing, misalnya dolar. Mungkin kebebasan ini membuat mereka tidak ambil pusing dengan kecilnya uang saku yang diberikan oleh pemerintah. Selain devisa, pemerintah Soviet juga mengharapkan tansfer of technology bila pemain kembali ke klubnya. Tentunya mereka akan berbagi pengalaman dengan pemain-pemain muda, bukan hanya mengenai cara bermain bola di negara kapitalis, tapi bagaimana pengelolaan suatu klub. Dan cara-cara itu sudah dipraktekkan klub Dnepr, juara divisi I Soviet tahun lalu. Dnepr akhir tahun lalu mampu memperoleh 1 juta rubel (sekitar US$ 1,6 juta) 350 ribu rubel diperoleh dari hasil penjualan karcis, dan sisanya dari iuran anggota dan sponsor. Itulah sisi lain dari "alih teknologi" yang dibawa pemain Soviet, sepulangnya dari negara-negara kapitalis. Tampaknya, perestroika bakal menjadi bagian dari keuletan atlet-atlet Soviet di masa datang. Ulet berlatih dan berprestasi serta ulet mengumpulkan uang.RN dan Yusril Djalinus (AS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini