MINGGU, 23 April, pukul 11 di Belgia, Pak Yap Thiam Hien meninggal di antara teman-teman yang mengabdikan diri kepada hak asasi manusia? dan dalam sebuah latar di mana hak asasi itu akan didiskusikan, satu lingkungan tempat Pak Yap merasa betah. Kabar itu beredar cepat ke seluruh dunia, begitu juga dukacitanya. Tak ada rasanya orang yang mengenalnya yang tak merasakan kehilangan yang sangat, tak cuma di Indonesia, tapi di mana pun masih ada rasa kagum dan hormat kepada keberanian, etika, moralitas, komitmen, dan pekerti baik manusia. Pak Yap bukan orang biasa. Sangat sukar menjelaskan dia, bukan karena dia musykil, tapi justru karena dia tidak. Pak Yap sederhana dalam keberaniannya, sifat yang jarang meninggalkannya, sederhana dalam pilihan etisnya, dan sederhana dalam keyakinannya akan harkat manusia, akan sikap tak berat-sebelah, kesederajatan, dan keadilan. Bagi banyak orang, ia terasa keras kepala dalam hal tak mau berkompromi, pemimpi, dan tegar -- dan semua itu benar. Tapi pengabdiannya kepada keadilan dan kesediaannya untuk mengorbankan dirinya sendiri berpengaruh kepada siapa pun yang di dekatnya. Dalam semua itu ia memang tidak rumit. Ia mungkin sukar dimengerti hanya karena kita telah melupakan kebajikan dari sifat yang tak berliku-liku. Ia lahir 25 Mei 1913 di Banda Aceh. Moyangnya adalah Luitenant der Chinezen, tapi kehilangan seluruh harta keluarganya dan juga posisinya ketika Thiam Hien masih seorang anak kecil. Ibunya meninggal ketika ia masih berusia 9 tahun, dan ia dan adik-adiknya dibesarkan oleh gundik kakeknya, seorang wanita Jepang. Wanita ini, Sato Nakashima, luar biasa? penuh sayang, kukuh dan berprinsip, dan pengaruhnya mungkin bisa menjelaskan banyak hal tentang Pak Yap. Ayahnya pergi ke Jakarta mencari kerja, dan Thiam Hien, berumur 13, ikut. Di sini ia bersekolah di MULO dan merampungkan sekolah menengah atasnya di AMS-A di Yogya, di mana ia paling tertarik akan sejarah dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa pertama Pak Yap adalah bahasa Indonesia, tapi ia jadi sangat fasih dalam bahasa Belanda, Prancis, Jerman, dan Latin. Setelah lulus ia tak mendapatkan kerja, dan menerima beasiswa dari HCK, yang melatih guru untuk sekolah Cina. Maka, ia pun jadi guru selama 4 tahun, selamanya mengajar di sekolah swasta untuk anak-anak Cina miskin, sebelum akhirnya belajar hukum di Rechthogeschool. Waktu itu, di akhir 1930-an, setelah ia merenungkannya bertahun-tahun, ia masuk agama Protestan. Ia menyelesaikan pendidikan hukumnya di Leiden setelah pendudukan Jepang. Angka-angkanya tak menonjol, namun selama tinggalnya di Holland ia memperdalam agamanya yang baru dan menjadi seorang nasionalis, menentang Belanda yang mencoba mengambil kembali koloninya. Sekembalinya ke Jakarta ia bekerja sebagai penasihat kaum muda bagi gerejanya. Februari 1949 ia menikah dengan Tan Gien Khing, yang dijumpainya selama pendudukan, istri yang memberinya dua anak. Di tahun yang sama ia memutuskan untuk memulai berpraktek sebagai advokat profesional. Seperti banyak orang Cina peranakan, Pak Yap melihat dirinya sebagai warga Indonesia, namun warisan zaman kolonialnya, struktur hubungan etnis, memaksanya kembali ke dalam identitas Cina. Di tahun 1954 ia salah satu pendiri Baperki, yang mewakil masyarakat keturunan Cina. Tapi sejak mula ia sudah menentang Siauw Giok Tjhan, ketua Baperki, yang menggeser organisasi itu ke arah PKI dan Presiden Soekarno. Sementara penentang lain meninggalkan Baperki, Pak Yap tinggal dan bergulat -- dan kalah, tapi dengan gagah berani. Di tahun 1959 ia berpisah dari semua anggota Baperki di Konstituante untuk menentang, seorang diri, kembalinya Undang-Undang Dasar 1945. Ia lakukan itu karena prinsip dan pembelaan hak asasi manusia, dan dengan alasan yang sama ia menentang Demokrasi Terpimpin. Pak Yap menemukan rumahnya yang benar dan paguyubannya yang paling memberinya arti dalam Peradin, yang ikut didirikannya di tahun 1963. Di sini ia menjumpai kolega yang sama-sama mengabdi kepada negara hukum dan yang menerimanya sebagai rekan advokat profesional tanpa memandang asal-usul etnisnya. Di sini ia bertemu dengan kawan-kawan yang paling ia hargai, dalam diri Lukman Wiriadinata, Jamaluddin Dtk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Hasjim Mahdan, dan lain-lain. Hanya sekali sejak itu ia mengemukakan masalah yang khusus menyangkut keturunan Cina, ketika ia dengan berapi-api menentang desakan agar keturunan Cina memakai nama Indonesia, sebab ia menganggap hal itu tak adil dan naif dan bukan penyelesaian. Namun, sejak itu ia memutuskan bahwa hak asasi manusia harus dimenangkan untuk tiap orang Indonesia, tanpa pembedaan, dan dalam soal ini para sesepuh Peradin sepenuhnya setuju. Reputasi Pak Yap tumbuh di awal Orde Baru, sebagian karena pembelaannya yang ahli dalam kasus Soebandrio dalam Mahmilub, dan juga karena Peristiwa Yap, ketika ia ditahan oleh sejumlah pejabat yang ia tuduh memeras. Dalam kedua kasus itu, baik keahliannya dan keberaniannya mendapatkan penghormatan dari masyarakat. Ia ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum dan erat bekerja dengan lembaga ini hingga akhir hidupnya. Ia pernah berada di penjara sepekan di tahun 1968, ketika ia sendiri secara tak adil ditahan oleh sejumlah pejabat, dan kemudian hampir setahun disekap setelah kerusuhan Malari 1974. Tindakan itu tak melunakkan semangatnya dan komitmennya. Sebaliknya, penghargaan apa pun yang diberikan padanya tak membuat ia terlalu congkak dan menepuk dada. Ia bekerja untuk International Commission of Jurists dan Dewan Gereja se-Dunia, dan mencurahkan usahanya bagi soal hak asasi di luar Indonesia, tapi bagi Pak Yap itu bukan soal prestise, melainkan satu kesempatan untuk bekerja bagi sesuatu yang lebih penting dari dirinya sendiri. Pak Yap bukan orang yang mudah diajak bersama -- banyak orang yang menghadapinya akan cepat-cepat mengemukakan itu. Tapi ia berjuang dengan dirinya sendiri juga. Ia punya ukuran baku, yang sangat mengagumkan, yang juga ia terapkan bagi dirinya sendiri. Seperti banyak tokoh segenerasinya, ia seorang pinggiran, terjebak dalam dua budaya, tapi ia mencintai tanah airnya seperti ia mencintai prinsipnya. Ia menghabiskan hidupnya, bukan dengan memperkaya diri, melainkan dalam satu ikhtiar untuk menyatukan masyarakatnya dengan prinsip-pripsipnya.Prof. Daniel S. Lev, dari University of Washington, Seattle, Washington AS. Ia sedang menyelesaikan bukunya yang baru, biografi Yap Thiam Hien, ketika ahli hukum itu meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini