SAYA tidak puasa. Bukan karena sibuk, tapi dilarang dokter," ujar Prof.dr. Padmosantjojo, ahli bedah saraf kenamaan, yang pernah mengoperasi kembar siam dempet kepala, Yuliana-Yuliani, 21 Oktober 1987 lalu. Larangan puasa itu harus dipatuhi karena fungsi liver Padmo yang kurang baik. Oleh sebab itu, kondisi fisiknya harus dipelihara. Lagi pula, ia harus melakukan operasi, baik di RSCM maupun RS lain. Di RSCM, misalnya, ahli bedah saraf yang telah diangkat guru besar belum lama ini mengoperasi Pak Kasur, Jumat dua pekan lalu. Seperti banyak diberitakan, Pak Kasur menderita normotensif hidrosefalus, sejenis gangguan pembuluh darah yang terjadi akibat proses ketuaan (degenerasi), yang menimpa jarinan penyerap cairan otak (liquor serebrospinalis). Karena penyerapan kembali cairan otak terganggu -- misalnya karena kekakuan pembuluh darah (aterosklerosis) di situ -- cairan itu menumpuk dan mendesak isi kepala penderita. Itulah hidrosefalus yang jika terjadi pada anak-anak selalu disertai dengan pembesaran kepala. Sekali-sekali cairan yang menumpuk ini menyebabkan tekanan di otak naik tinggi dan ini bisa membahayakan. Maka, terapi yang dikerjakan ahli bedah saraf biasanya adalah membuatkan ventriculo peritoneal shunt, yakni pipa yang menghubungkan cairan yang menumpuk di otak tadi dengan lapisan peritoneum usus. Gangguan pembuluh jenis itu sebetulnya tak begitu sering terjadi. Yang lebih kerap terjadi adalah strok, penyakit pembuluh darah otak yang muncul mendadak (akut) dan mengancam nyawa penderita. Tak heran, setiap kali strok muncul, maka ahli saraf mendadak repot. Itulah yang dialami ahli bedah saraf seperti Prof. Padmo dan rekan-rekannya di Jakarta ataupun Prof. Iskarno, dr. Kahdar, dan dr. Benny A.W. di Bandung, serta dr. Umarkasan dan kawan-kawan di Surabaya. Para ahli bedah saraf itu biasanya kebagian menangani operasi sebagian kasus strok, secara cepat, sigap, dan tepat. Masalahnya, belakangan ini kasus strok terkesan semakin sering terjadi --terutama di kalangan "orang gede". Lebih-lebih di kota besar macam Jakarta, risiko ke arah terjadinya strok semakin besar. Penyebabnya antara lain adalah tekanan darah tinggi dan kencing manis, sebagaimana yang diderita Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, bekas komandan pasukan Komando Baret Merah yang terkenal di masa penumpasan PKI tahun 1965-1966. Kini jenderal (pensiunan) ini masih terbaring di RS Metropolitan Medical Centre (MMC), Kuningan, Jakarta. Selain Pak Sarwo, seorang pejabat tinggi Bappenas juga sempat menderita akibat strok, yang "memukul"-nya tak lama setelah pejabat itu pensiun. Strok sendiri, sejauh ini, masih jadi pembunuh yang sangat ditakuti. Ia merupakan penyebab kematian nomor tiga, setelah kanker dan penyakit jantung. Di AS, misalnya, setiap tahun rata-rata 200 ribu kematian terjadi akibat strok. Selain itu, ia juga penyebab utama kelumpuhan, bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun. Repotnya lagi, sejauh ini para ahli masih belum berhasil mendeteksi secara persis, apa yang sebetulnya menyebabkan strok. Pengetahuan mereka lagi-lagi masih sebatas faktor risiko yang berkaitan dengan strok seperti hipertensi, kencing manis, merokok, dan hiperkolesterol. Maka, para ahli menasihatkan, dalam upaya mencegah strok, terutama ditekankan pada penghindaran faktor risiko itu sedini mungkin. Jika tidak dicegah, mungkin serangan strok sudah terlambat untuk diobati, berhubung yang dihajarnya adalah organ otak yang sangat vital dan sensitif. Kalau strok terjadi juga, biasanya ada dua metode yang mungkin diterapkan untuk menangani penyembuhannya. Pertama adalah dengan pengobatan medis konvensional, lewat zat kimia berbentuk pil atau suntikan. Sisanya dioperasi ahli bedah saraf. Pembedahan kadang memberikan hasil dramatis, terutama jika strok itu akibat pecahnya pembuluh darah, di bagian permukaan otak. "Pada operasi ini biasanya bekuan darah (clot) dikeluarkan, lewat pembukaan batok kepala," kata Padmo. Yang repot adalah, jika pembuluh darah yang pecah itu tidak berada di permukaan, melainkan di bagian dalam otak seperti yang terjadi pada Sarwo Edhi. Kini jenderal yang bekas dubes di Korea Selatan itu masih terbaring di RS MMC. Kendati sudah bernapas spontan (tanpa bantuan alat), ia belum juga sadarkan diri. Tekanan darahnya berada sekitar 140/80. Denyut jantungnya -- rata-rata 70-80 kali per menit -- terus dipantau lewat alat otomatis, yang ada di kiri kepalanya. Alat itu berbunyi, tut, tut,tut. Di ruang critical care unit lantai 11 RS MMC itu, Pak Sarwo ditunggui 3-4 perawat dan dokter yang memantaunya saat demi saat. Pada pekan-pekan ini, diharapkan Pak Sarwo akan menjalani operasi yang dilakukan tujuh dokter anggota tim, termasuk Prof. Padmo dan Prof. Mahar Mardjono. Tapi sulit dipastikan apakah operasi akan membawa hasil yang memuaskan. Persoalannya tak lain karena pembekuan darah terjadi di bagian dalam otak, yang disebut capsula interna. Pada kasus-kasus begini, ahli bedah saraf biasanya baru melakukan operasi jika bekuan darah itu sudah mencair (lisis), biasanya pada minggu ketiga sesudah terjadinya perdarahan. "Kepastian apakah bekuan darah sudah mencair bisa dilihat dengan Computer Tomography Scan," kata Padmo. Bila gambaran pada CT Scan menunjukkan kepadatan yang lebih rendah daripada gambaran kepadatan otak (hipodens), artinya darah di situ lebih cair daripada otak. Lalu dengan alat yang disebut stereotaksi, ahli bedah saraf bisa mengisap darah yang mencair itu. Tapi operasi bukanlah segalanya. Andaikan berhasil sekalipun, belum bisa dipastikan pasien akan sembuh sempurna. Soalnya, strok terjadi bukan hanya karena pembekuan darah, tapi juga disebabkan efek desakan bekuan itu pada daerah sekitarnya.SB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini