TURNAMEN tinju Piala Presiden yang ke-10, tahun ini, cukup semarak. Waktu 7 hari yang disediakan panitia, sampai Sabtu pekan ini, terasa tak mencukupi. Untuk pertama kalinya, pertandingan pada Senin lalu terpaksa dilangsungkan siang-malam. "Habis, jumlah perserta yang ikut kali ini merupakan yang terbesar," kata Bob Nasution, Wakil Ketua PB Pertina. Yang datang untuk bertanding di Istora Senayan,Jakarta, tercatat 109 petinju dari 15 negara. Muangthai dan Amerika Serikat, juara umum pada 1985, tahun ini absen. Ini menyebabkan Uni Soviet - 5 kali juara umum turnamen ini - yang datang dengan 11 petinju merajalela. Tapi ada Kanada, pendatang baru yang cukup tangguh. Indonesia? Sulit diharap, meski memegang rekor dalam jumlah peserta, 28 petinju dalam 3 tim. Adrianus Taroreh dan Nico Thomas, keduanya pemegang medali emas turnamen tahun lalu, ternyata absen. Taroreh cedera, sedang Nico pindah ke tinju pro. Lihatlah, betapa mudahnya petinju nasional, seperti Matheus Lewaherilla, Erwin Tobing, dan Hengky Yerisitou, dikanvaskan petinju Uni Soviet dan Kanada. Ditilik dari persiapan mereka menghadapi kejuaraan ini, hasil yang dicapai tak usah dicaci. Mereka memasuki pemusatan latihan di Senayan sejak awal bulan lalu, tapi seperti dikatakan pelatih Tim A, Carol Renwarin, "PB Pertina tak menyiapkan program latihan." Artinya, ketiga tim - A dan C di Senayan, B di Tretes, Ja-Tim - masing-masing jalan sendiri, tergantung sang pelatih. Peralatan latihan di Senayan sungguh tak layak disebut bertaraf nasional. Di situ hanya ada 3 sansak dan 6 sansak dinding, dan 3 tali untuk skiping. Maka, 18 petinju yang berlatih bergiliran memukul sansak, atau main skiping (loncat tali). Karena tuanya salah satu sansak dinding (wallbag) itu robek ketika seorang petinju memukulinya. Debu mengepul keluar dari tempat yang bocor dan beterbangan di ruangan tertutup itu. Tanpa instruksi pelatih, para petinju sibuk menutupkan tangan ke mulut. "Lama-lama begini, petinju bukan tambah kuat, tapi TBC," kata Rosiman, Pelatih Tim C. Menurut Carol, Pertina memang "melarat" sejak Bob Nasution tahun lalu pindah tugas menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu, padahal selama ini dia dikenal sebagai pencari dana yang tangguh untuk organisasi itu. Ketua Umum PB Pertina Saleh Basarah mengakui terus-terang bahwa organisasi yang dipimpinnya sedang kesulitan dana. "Lha, dana Porkas hanya untuk sepak bola dan bulu tangkis," katanya gemas. Setiap tahun, mereka perlu Rp 500 juta. Untuk Piala Presiden Rp 200 juta, dan selebihnya untuk sarung tinju emas dan kejuaraan nasional -- yang terpaksa mereka kumpulkan dari kantung sesama pengurus dan sumbangan pencinta tinju. Merasa capek, karena sudah 13 tahun memimpin Pertina, bekas KSAU ini mengatakan akan mundur dalam kongres tahun depan. Tapi komentator tinju Syamsul Anwar melihat kelemahan Pertina disebabkan kurang aktifnya pimpinan teras. "Pak Bob di Bengkulu, Richard Pangkey di Surabaya, dan Pak Saleh terkadang di London. Bagaimana organisasi bisa jalan?" katanya. Richard adalah pengusaha dari Surabaya, dan Sekjen Pertina. Maka, berbagai lembaga di situ pun mandek. Misalnya Litbang yang tak jelas hasilnya karena, kata Syamsul, data prestasi dan kelemahan petinju pun Pertina tak punya. Evaluasi terhadap berbagai turnamen tak pernah ada. "Sehabis Piala Presiden ini, ya, sudah. Selesai begitu saja," kata bekas juara Asia itu gemas. Riuh-rendahnya arena tinju prof. belakangan ini juga tak berarti apa-apa bagi petinju amatir, karena sudah rahasia umum bahwa Pertina selalu berusaha menghalangi petinjunya pindah ke pro. Mengapa semua ini terjadi, Pertina?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini