Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albertus Susanto Nyoto menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Lelaki 29 tahun ini kemudian mendekati Li Wing Mui, pasangan main sekaligus istrinya. Mereka tampak berbisik-bisik, melakukan koordinasi taktik. Tak lama berselang, permainan pun dilanjutkan.
Bola dari hasil servis lawan mengarah ke Susanto. Ia berhasil mengembalikannya. Tapi lawannya, pasangan Nova Widianto-Lilyana Natsir, amat tangguh. Dengan jeli Lilyana melakukan sebuah lob ke arah Wing Mui. Bola masih bisa dikembalikan, tapi tanggung. Dengan cepat Nova mencocornya. Masuk! Permainan berakhir dengan kemenangan pasangan Nova-Lilyana, 15-3, 15-3.
Jangan salah, pertandingan itu bukan simulasi di pusat pelatihan nasional, melainkan sebuah pertandingan resmi di ajang Piala Sudirman yang digelar di Beijing. Selasa pekan lalu itu, Nova-Lilyana mewakili tim Indonesia, sedangkan pasangan Susanto-Wing Mui membela Hong Kong.
Usai pertandingan, Susanto masih bisa tersenyum. "Saya sudah menduga hasil ini sejak awal," katanya dalam bahasa Indonesia yang lancar. Lelaki asal Mojokerto, Jawa Timur, ini masih berstatus sebagai warga negara Indonesia. Dia diperbolehkan membela tim Hong Kong karena sudah lebih dari dua tahun tinggal di sana.
Selain turun dalam partai ganda campuran, Susanto juga bermain di nomor ganda putra berpasangan dengan pemain Hong Kong, Liu Kwok Wa. Kekalahan juga yang didapat. Mereka menyerah kepada pasangan Indonesia Candra Wijaya-Sigit Budiarto dengan angka 15-6, 17-16. Indonesia akhirnya unggul 4-1 atas Hong Kong.
Susanto mengadu untung di Hong Kong sejak 1998. Pemain klub Djarum, Jawa Timur, ini merasa kariernya tak meningkat di Indonesia. Apalagi ia belum juga mendapat kesempatan masuk pemusatan latihan nasional. Maka, begitu ada tawaran untuk jadi sparring partner di Hong Kong, ia langsung menyambarnya. Dia pergi ke sana bersama istrinya yang juga seorang pemain bulu tangkis.
Di Hong Kong, nasib baik berpaling pada mereka. Tak sekadar jadi lawan sparring, mereka justru direkrut masuk tim nasional dan dikirim ke berbagai kejuaraan. Berpasangan dengan Liu Kwok Wa, Susanto pernah menjuarai turnamen Mauritius International pada April 2004, tampil pada semifinal di Taipei Open 2004, serta masuk ke perempat final Indonesia Open 2004 dan Korea Open 2005.
Susanto mengaku gajinya di Hong Kong tidak terlalu besar. "Kalau dirupiahkan sekitar Rp 5 juta-6 juta per bulan," katanya. Tapi mereka tinggal di asrama dan makan ditanggung. Untuk menambah penghasilan, dia kadang-kadang memberi latihan privat.
Karena sudah tujuh tahun tinggal di Hong Kong, Susanto sering kangen dengan tanah kelahiran dan keluarganya di Jawa Timur. Tahun kemarin dia sempat pulang sekali, tapi tahun ini belum sempat. Kini dia sedang mengajukan diri jadi warga negara Hong Kong. "Masih dalam proses," ujarnya.
Susanto dan Wing Mui bukan satu-satunya pemain asal Indonesia yang mewakili negara lain di Piala Sudirman. Di tim Hong Kong itu masih ada dua pemain asal Indonesia lainnya, Agus Hariyanto dan Johan Hadikusuma, yang tak sempat diturunkan.
Tim-tim negara lain juga diperkuat oleh pemain asal Indonesia. Tim Wales, yang berlaga di grup III, misalnya, menyertakan Irwansyah dalam skuadnya. Tim Belanda, yang menghuni grup II, juga memiliki Mia Audina Tjiptawan yang kini sudah menjadi warga negara itu. Sedangkan Singapura, yang berlaga di grup II, memiliki Ronald Susilo. Begitu juga Amerika Serikat yang bertanding di grup III, mereka memasukkan nama mantan pemain ganda terbaik Indonesia, Tony Gunawan, dalam timnya.
Berbeda dengan Susanto, saat pindah ke Amerika, Tony Gunawan sudah memiliki prestasi yang mencorong. Berpasangan dengan Candra Wijaya, lelaki 30 tahun ini pernah meraih emas pada Olimpiade 2000. Bersama Halim Heryanto, ia juga pernah memenangi Kejuaraan Dunia 2001 dan All England 2001. "Tujuan saya sebagai atlet sudah tercapai. Saatnya saya berpikir untuk masa depan," katanya.
Dengan alasan itulah akhirnya pada 2001 Tony memutuskan melanjutkan studi ke Amerika, sambil mencari peluang menjadi pelatih. Dia pergi bersama istrinya, Etty Tantri, yang juga seorang pemain bulu tangkis. Di sana Tony menghubungi Ignatius Rusli, pelatih asal Indonesia yang menangani tim Amerika. Dia disuruh datang ke California dan dikenalkan dengan pengurus klub Orient County Badminton. "Saya langsung dikontrak sebagai pelatih sampai 2009," katanya. Belakangan, dia pun dipanggil masuk tim nasional sebagai pemain merangkap pelatih dengan kontrak tiga tahun.
Di Amerika, Tony mendapat penghasilan pas-pasan. "Jauh sekali dibanding saat di Indonesia dulu, yang untuk tiga bulan bisa mendapat Rp 80 juta," katanya. Apalagi segala ongkos kuliah dan biaya hidup keluarganya harus ditanggung sendiri. Tony saat ini kuliah di jurusan teknik komputer di Devry University, California. Adapun istrinya mempelajari bidang bisnis dan marketing. "Jadi pemain dan pelatih bulu tangkis sambil belajar, capai sekali. Liburnya hanya hari Minggu. Tapi, saya pikir, ya inilah hidup yang sebenarnya," ujarnya.
Sebagai pemain, kejayaan Tony tampaknya sudah lewat. Saat tim Amerika menghadapi India di grup III B pada Rabu pekan lalu, ia turun di nomor ganda campuran berpasangan dengan M. Mesinee. Mereka kalah dari pasangan India, V. Diju dan Jwala Gutta, dengan skor 15-4, 12-15, 15-7.
Kendati cukup lama terikat kontrak dengan klub badminton di California, Tony tak pernah berpikir untuk menjadi warga negara Amerika. "Keluarga saya di Indonesia. Lagi pula, di Amerika, kita tak bisa hidup dari badminton," tuturnya.
Nurdin, Harry Prasetyo (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo