Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pemuda ceking berjalan hilir-mudik di tengah hujan lebat di satu desa dekat Kalkuta, India. Aneh, dia tak berusaha untuk berteduh atau mengambil selembar daun pisang untuk melindungi tubuhnya dari guyuran hujan. Sebaliknya, pemuda itu tampak menikmati deraan butir hujan yang bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Kali itu adalah hari kelima ketika ia melakukan hal yang sama.
"Saya baru bisa merasakan suasana hujan," kata pemuda itu, kira-kira 70 tahun silam. Sekarang pemuda itu berusia 93 tahun, dan Rabu pekan lalu, di Jakarta, ia pergi meninggalkan kita.
Ya, itulah Rusli, dan pengalamannya merasakan hujan semasa kuliah di India membentuk Rusli yang dikenal sebagai pelukis bergaya semi abstrak. Kala itu Rusli kuliah di jurusan seni lukis Bhavana Shantiniketan, Universitas Rabindranath Tagore, In-dia. Seorang dosen menyuruh Rusli menerobos hujan lebat gara-gara Rusli dinilai gagal melukis anak perempuan yang kehujanan.
"Sekarang kan musim hujan. Kamu berjalan di tengah hujan tiap hari sampai saya suruh berhenti," begitulah Rusli mengingat dan mengenang kata-kata sang dosen. Rusli kembali melukis anak perempuan itu dan sang dosen menangkap perkembangan baru: suasana hujan dalam lukisan muridnya.
"Dalam seni lukis, yang penting bukan fisiknya, tapi jiwanya," kata Rusli. Lihatlah karya lukisnya. Orang tak menemukan representasi bentuk yang jelas, melainkan cenderung merupakan abstraksi bentuk obyek tertentu yang dibangun dari berbagai susunan garis dalam warna primer. Ada garis lurus yang ditarik tegas, tapi ada yang meliuk plastis, atau sekadar coretan pendek. Dengan garis ia melukis gejolak ombak, susunan garis membentuk perahu, dan garis pula yang membentuk lanskap. Rusli mengaku tidak pernah melukis dengan teknik realis. "Apa gunanya? Realisme hanya pas di zaman sebelum ada fotografi," katanya.
Tapi, pernah suatu ketika, masih di Shantiniketan, ia nekat menjiplak gambar tubuh manusia dari buku yang ia pinjam dari museum. Maklum, di sekolah itu tidak ada pelajaran anatomi sebagaimana di sekolah seni rupa pada umumnya. Celakanya, saat asyik menjiplak, direktur sekolah lewat. Teguran pun berhamburan. "Kalau mau jadi seniman, tutup buku itu dan bakar," sergah sang Direktur. Menurut dia, kalau ingin menjadi seniman, Rusli harus merasakan badan manusia, merasakan obyek yang merangsang rasa estetisnya. "Semuanya harus dirasakan," ujar Rusli.
Maka, sebelum menorehkan kuas, Rusli betah berlama-lama mengamati daun, kapal, atau barong untuk menemukan hakikat bentuk obyek lukisannya. Apalagi, sebagaimana pelukis pada zamannya, Rusli harus melihat langsung obyek yang akan ia lukis. Ia melukis di alam terbuka. Rusli bukan jenis pelukis yang asyik di studio. Ia paling sering melukis di Bali, meski menetap di Yogyakarta.
Proses kreatif ini pula yang membuat ia tak berdaya menghadapi keterbatasan tubuhnya pada usia senja. Ia terpaksa menekan keinginannya melukis karena tak mampu lagi berjalan secara normal sejak awal 1990-an. Rusli tua berbeda dengan Rusli muda. Dulu ia ikut bergerilya, bahkan menjadi lurah pada masa revolusi, atau menendang bola yang merupakan olahraga kegemarannya. Rusli diundang berpameran pada Biennale II di Sao Paulo pada 1953 di Pallazzo Bracaccio, Roma, pada 1955, atau di Museum Stadelyk, Amsterdam.
Dari perjalanannya itu ia membawa pulang berlembar-lembar karya lukis, di atas kanvas atau kertas. Rusli memperlakukan karya lukisnya sebagai barang yang sangat berharga yang tak boleh disentuh orang lain. Ia menggulungnya dan dimasukkan ke dalam pipa paralon, atau dia simpan dalam lemari terkunci di dalam kamar yang juga terkunci. Karyanya hanya keluar dari kamar itu saat ia pameran atau ada sahabat yang datang ingin melihat. Kalaupun ada kolektor yang menginginkan karyanya, kebanyakan langsung datang ke rumahnya, karena ia mengaku tak menjual lukisan.
Sebagai kawan, bekas presiden Soeharto pernah menghadiahinya rumah yang lengkap dengan ruang pamer di Yogyakartasebelumnya ia hanya mengontrak kamar di kawasan Nagan. Tapi ruangan itu kosong-melompong, padahal di tembok depan bangunan itu terpampang tulisan "Museum Rusli". "Saya takut lukisan saya dicuri," katanya.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo