DARI Piala Alba yang berakhir 21 Agustus di Kuala Lumpur pemain
Indonesia pulang dengan tangan hampa. Tetapi dalam KeJuaraan
Bulu tangkis Indonesia Terbuka (23-27 Agustus) mereka ibarat
lebah yang tak bisa dipukul di sarangnya sendiri. Lima partai
yang dipertandingkan semuanya direbut melalui tangan Liem Swie
King (tunggal putra), Ivana Lie (tunggal putri), Kartono/
Heryanto (ganda putra), Ruth Damayanti/ Maria Francisca (ganda
putri), dan Christian Hadinata/Ivana Lie (ganda campuran).
Membuat anak-anak Indonesia yang sebagian besar lahir dari
keluarga sedang itu padat kantungnya dengan hadiah US$ 4.000
sampai US$ 5.000 untuk masing-masing partai.
Kecuali King yang unggul mutlak atas teman sekampungnya
Hastomo Arbi, banjir kemenangan dan "mabuk" rezeki itu boleh
dikatakan adalah juga milik penonton. Dukungan mereka barangkali
bisa membikin orang geleng-geleng kepala, apalagi kalau standar
yang dipakai misalnya publik Albert Hall London yang bersikap
bagaikan kaum pangeran. "Sorak-sorai mereka membuat saya nerves,
terutama kalau set menjelang akhir. Saya rasanya bukan hanya
berhadapan dengan Hastomo tapi berkelahi dengan sepuluh ribu
penonton," ucap pemain RRC berusia 19 tahun, Yang Yang.
Pemuda jangkung, agak bungkuk, kelahiran Nanking itu merasakan
seluruh sarafnya bagaikan kena listrik gara-gara ribuan penonton
yang bersorak tiap raketnya mau menyambar bola. Ini terjadi pada
dua set pertama yang berakhir dengan deuce 5. Membuat dia
lunglai pada set terakhir dan menyerahkan harga keringatnya
dengan kekalahan telak 7-15 di set yang menentukan itu.
Di Istana Olah Raga Senayan, tempat pertandingan berlangsung,
bukan hanya penonton yang memihak mutlak kepada pemain tuan
rumah, tetapi udara lembab yang membikin shuttle-cock lamban,
juga ikut menyiksa pemain tamu yang berjumlah 74 orang dari 11
negara. Membuat juara ganda putra All England 1983 Martin
Dew/Gillian Gilks dari Inggris menyerah pada Christian/Ivana.
Dan kampiun ganda putri All England 1983 dari RRC, Xu Rong/Wu
Jiang Qiu tunduk pada Ruth Damayanti/Maria Francisca. Yang Yang
sendiri kelihatannya merasa lepas dari setengah neraka, begitu
dia keluar dari gelanggang dan berjalan-jalan di luar stadion
beberapa saat setelah disisihkan Hastomo Arbi. Di sini dia masih
berkipas dan menyedot-nyedot minuman.
Partai puncak dalam Kejuaraan Indonesia Terbuka yang kedua itu
tidak pada hari terakhir. Tetapi pada semifinal ketika anak Cina
yang bernama mirip-mirip panda Tiongkok itu berhadapan dengan
anak Kudus Hastomo. Ada yang memperhitungkan penonton mencapai
12.000. Jumlah yang masuk akal, kalau dilihat bagaimana
kursi-kursi yang disediakan untuk manajer tim dan wartawan habis
diduduki penonton.
Yang Yang menjadi pemikat publik setelah dia mengalahkan juara
dunia dan juara bertahan Indonesia Terbuka, Icuk Sugiarto yang
mula-mula disanjung penonton. Tapi begitu keteter beberapa angka
penonton malah berbalik mengejek pemuda hitam legam dari Solo
itu.
Di malam final publik menyusut. Mcmbuat tukang catut kehilangan
akal untuk menjual karcis yang masih sisa. Sampai-sampai ada
yang coba memperdaya orang dengan menyebutkan grup lawak
Prambors akan tampil memeriahkan acara di malam Minggu itu.
Mungkin ada yang kena, sebab di malam pembukaan Sol Soleh dan
Sup Yusuf dengan pakaian tukang sate sempat menggelitik penonton
ketika mereka main dengan Minarni dan Retno Kustiah.
Kejuaraan yang memakan biaya Rp 140 juta ini, selain berhasil
membikin publik berteriak kesetanan dan menari-nari,
kelihatannya juga bakal untung. Karcis terusan yang berharga Rp
20.000 sampai Rp 50.000 cukup laris. Dari sponsor saia uang yang
masuk sudah jelas Rp 100 juta. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya jumlah sponsor lebih banyak. Karena seperti dikatakan
Ketua Bidang Dana PBSI, raja air Aqua. Tirto Utomo, "Prinsipnya
kalau tidak bisa mendapatkan gajah, kambing-kambing ataupun kuda
bolehlah." Dan boleh dicatat untuk pertama kali racun nyamuk
Baygon ikut menjadi sponsor. Sementara Lius Pongoh runner-up
kejuaraan tahun lalu yang pernah bikin geeer dengan obat itu,
tidak tampil. "Kurang siap," kata ayahnya, Darius Pongoh.
Kejuaraan yang dibuka dengan pemukulan shuttle-cock oleh Menteri
Pemuda dan Olah Raga Abdul Gafur itu mendapat keuntungan bersih
pula dari perusahaan alat-alat olah raga Pro-Kennex. Karena
sirkuit bulu tangkis atas nama perusahaan itu ditumpangkan di
kejuaraan ini. Perusahaan ini hampir saja memenangan perebutan
merk bola yang dipakai. "Kita harus memakai produksi dalam
negeri," ucap Tirto. Sehingga Gajah Mada-lah yang
melayang-layang ke sana ke mari. Sementara tempat penampungan
bola bekasnya bertuliskan Pro-Kennex.
Namun kejuaraan terpaksa pula ditebus dengan peristiwa yang
barangkali bisa mencoret muka panitia. Dengan dipelopori bintang
Denmark, Morten Frost Hansen, pemain-pemain Eropa meninggalkan
Interhouse yang disediakan panitia dan pindah ke Sahid Jaya.
"Kami pindah supaya bisa menampilkan permainan terbaik," kata
juara All England 1982 itu. Tapi di hotel baru itu ternyata dia
sakit perut dan menyerah WO kepada Sigit Pamungkas pada babak
awal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini