Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Pesta untuk pemain dan publik

Yang yang menjadi pemikat setelah mengalahkan icuk. panda cina dan anak kudus menjadi partai puncak di semifinal. dia melawan hastomo dan sepuluh ribu penonton, katanya.

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Piala Alba yang berakhir 21 Agustus di Kuala Lumpur pemain Indonesia pulang dengan tangan hampa. Tetapi dalam KeJuaraan Bulu tangkis Indonesia Terbuka (23-27 Agustus) mereka ibarat lebah yang tak bisa dipukul di sarangnya sendiri. Lima partai yang dipertandingkan semuanya direbut melalui tangan Liem Swie King (tunggal putra), Ivana Lie (tunggal putri), Kartono/ Heryanto (ganda putra), Ruth Damayanti/ Maria Francisca (ganda putri), dan Christian Hadinata/Ivana Lie (ganda campuran). Membuat anak-anak Indonesia yang sebagian besar lahir dari keluarga sedang itu padat kantungnya dengan hadiah US$ 4.000 sampai US$ 5.000 untuk masing-masing partai. Kecuali King yang unggul mutlak atas teman sekampungnya Hastomo Arbi, banjir kemenangan dan "mabuk" rezeki itu boleh dikatakan adalah juga milik penonton. Dukungan mereka barangkali bisa membikin orang geleng-geleng kepala, apalagi kalau standar yang dipakai misalnya publik Albert Hall London yang bersikap bagaikan kaum pangeran. "Sorak-sorai mereka membuat saya nerves, terutama kalau set menjelang akhir. Saya rasanya bukan hanya berhadapan dengan Hastomo tapi berkelahi dengan sepuluh ribu penonton," ucap pemain RRC berusia 19 tahun, Yang Yang. Pemuda jangkung, agak bungkuk, kelahiran Nanking itu merasakan seluruh sarafnya bagaikan kena listrik gara-gara ribuan penonton yang bersorak tiap raketnya mau menyambar bola. Ini terjadi pada dua set pertama yang berakhir dengan deuce 5. Membuat dia lunglai pada set terakhir dan menyerahkan harga keringatnya dengan kekalahan telak 7-15 di set yang menentukan itu. Di Istana Olah Raga Senayan, tempat pertandingan berlangsung, bukan hanya penonton yang memihak mutlak kepada pemain tuan rumah, tetapi udara lembab yang membikin shuttle-cock lamban, juga ikut menyiksa pemain tamu yang berjumlah 74 orang dari 11 negara. Membuat juara ganda putra All England 1983 Martin Dew/Gillian Gilks dari Inggris menyerah pada Christian/Ivana. Dan kampiun ganda putri All England 1983 dari RRC, Xu Rong/Wu Jiang Qiu tunduk pada Ruth Damayanti/Maria Francisca. Yang Yang sendiri kelihatannya merasa lepas dari setengah neraka, begitu dia keluar dari gelanggang dan berjalan-jalan di luar stadion beberapa saat setelah disisihkan Hastomo Arbi. Di sini dia masih berkipas dan menyedot-nyedot minuman. Partai puncak dalam Kejuaraan Indonesia Terbuka yang kedua itu tidak pada hari terakhir. Tetapi pada semifinal ketika anak Cina yang bernama mirip-mirip panda Tiongkok itu berhadapan dengan anak Kudus Hastomo. Ada yang memperhitungkan penonton mencapai 12.000. Jumlah yang masuk akal, kalau dilihat bagaimana kursi-kursi yang disediakan untuk manajer tim dan wartawan habis diduduki penonton. Yang Yang menjadi pemikat publik setelah dia mengalahkan juara dunia dan juara bertahan Indonesia Terbuka, Icuk Sugiarto yang mula-mula disanjung penonton. Tapi begitu keteter beberapa angka penonton malah berbalik mengejek pemuda hitam legam dari Solo itu. Di malam final publik menyusut. Mcmbuat tukang catut kehilangan akal untuk menjual karcis yang masih sisa. Sampai-sampai ada yang coba memperdaya orang dengan menyebutkan grup lawak Prambors akan tampil memeriahkan acara di malam Minggu itu. Mungkin ada yang kena, sebab di malam pembukaan Sol Soleh dan Sup Yusuf dengan pakaian tukang sate sempat menggelitik penonton ketika mereka main dengan Minarni dan Retno Kustiah. Kejuaraan yang memakan biaya Rp 140 juta ini, selain berhasil membikin publik berteriak kesetanan dan menari-nari, kelihatannya juga bakal untung. Karcis terusan yang berharga Rp 20.000 sampai Rp 50.000 cukup laris. Dari sponsor saia uang yang masuk sudah jelas Rp 100 juta. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah sponsor lebih banyak. Karena seperti dikatakan Ketua Bidang Dana PBSI, raja air Aqua. Tirto Utomo, "Prinsipnya kalau tidak bisa mendapatkan gajah, kambing-kambing ataupun kuda bolehlah." Dan boleh dicatat untuk pertama kali racun nyamuk Baygon ikut menjadi sponsor. Sementara Lius Pongoh runner-up kejuaraan tahun lalu yang pernah bikin geeer dengan obat itu, tidak tampil. "Kurang siap," kata ayahnya, Darius Pongoh. Kejuaraan yang dibuka dengan pemukulan shuttle-cock oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga Abdul Gafur itu mendapat keuntungan bersih pula dari perusahaan alat-alat olah raga Pro-Kennex. Karena sirkuit bulu tangkis atas nama perusahaan itu ditumpangkan di kejuaraan ini. Perusahaan ini hampir saja memenangan perebutan merk bola yang dipakai. "Kita harus memakai produksi dalam negeri," ucap Tirto. Sehingga Gajah Mada-lah yang melayang-layang ke sana ke mari. Sementara tempat penampungan bola bekasnya bertuliskan Pro-Kennex. Namun kejuaraan terpaksa pula ditebus dengan peristiwa yang barangkali bisa mencoret muka panitia. Dengan dipelopori bintang Denmark, Morten Frost Hansen, pemain-pemain Eropa meninggalkan Interhouse yang disediakan panitia dan pindah ke Sahid Jaya. "Kami pindah supaya bisa menampilkan permainan terbaik," kata juara All England 1982 itu. Tapi di hotel baru itu ternyata dia sakit perut dan menyerah WO kepada Sigit Pamungkas pada babak awal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus