UJI coba Jaksa Agung Ismail Saleh menonjok korupsi di sektor
perpajakan kandas di Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengadilan
banding itu, bulan lalu melepaskan presiden dan wakil presiden
direktur PT Kalisco (PT Kalimantan Steel Co), Thomas Wibowo dan
Hirosutgu Murai, dari tuntutan hukum. Kedua pengusaha PMA itu
sebelumnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dijatuhi hukuman
dua dan tiga tahun penjara karena dianggap terbukti
memanipulasikan pajak perusahaannya sehingga merugikan negara Rp
887 juta.
Kekandasan tersebut mengagetkan kalangan kejaksaan yang semula
yakin bahwa operasi mereka akan sukses. "Putusan itu tidak
wajar, karena itu kami tidak bisa menerimanya," teriak Ketua
Asistensi Kasus Pajak, Bob Nasution, yang pekan lalu menyatakan
kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa Agung Ismail Saleh pun
menyatakan kekecewaannya dan bertekad akan berupaya semaksimal
mungkin "menebus" kebobolan tersebut.
Sejak menduduki jabatan barunya, Ismail Saleh yang semula Ketua
Badar Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu, mengeluarkan
ancaman akan mengobrak-abrik perusahaan-perusahaan yang
menyelewengkan pajaknya. Ancamannya itu tahun lalu dibuktikan
dengan dihadapkannya Wibowo dan Murai ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Selain mereka, direktur akunting PT Tobusco (PT
Tobu Indonesia Steel), Jojiro Kitayama, juga diseret ke
pengadilan yang sama. Semua pengusaha PMA patungan
Jepang-Indonesia itu dituduh telah membuat buku ganda di
perusahaan mereka. Satu buku yang sebenarnya untuk intern
perusahaan dan satu buku palsu untuk dilaporkan ke Inspeksi
Pajak (TEMPO, 10 Juli 1982).
Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Pitoyo
sependapat dengan jaksa. Wibowo dan Murai dianggap terbukti
menandatangani Surat Pemberitahuan Pajak Perseroan (SPT-PPS)
palsu. Perbuatan yang sama, menurut hakim, dilakukan pula oleh
tiga orang direktur akunting PT Kalisco, Koji Okano, H. Fujioka,
dan Takeo Satake. Ketiga warga negara Jepang itu -- ketika itu
sudah kembali ke Jepang -- dijatuhi hukuman masing-masing tiga
tahun penjara dalam persidangan in absentia.
Thomas Wibowo, 40 tahun, dan Hirosutgu Murai, 46 tahun, ditahan
sejak 8 September sampai 14 September 1982, oleh hakim juga
diharuskan melunasi kembali tunggakan pajaknya berikut denda
sekitar Rp 3,5 milyar, dan membayar denda Rp 30 juta. Melalui
pengacara mereka, Albert Hasibuan, kedua pengusaha itu naik
banding.
Pengadilan banding, ternyata berpendapat lain. Diketuai Bambang
Soemedhy dengan anggota L.M. Silalahi dan Nyonya Aslamiah
Suraiman, majelis hakim tinggi berpendapat, manipulasi itu bukan
tanggung jawab presiden dan wakil presiden direktur PT Kalisco.
Sesuai dengan anggaran dasar perusahaan itu dan pasal 45 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), tanggung jawab pembukuan,
menurut para hakim tinggi, terletak di tangan direktur akunting.
Adapun terbuktinya Wibowo dan Murai menandatangani SPT-PPS
palsu, menurut hakim di luar tanggung jawab mereka.
Kesimpulan hakim itulah, menurut Bob Nasution, mencampuradukkan
antara definisi pertanggungjawaban hukum pidana dengan hukum
dagang. Dibenarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
itu bahwa menurut hukum dagang, pertanggungjawaban menurut
jabatan masing-masing pejabat. Tapi menurut hukum pidana,
tanggung iaWab terletak pada siapa yang berbuat. Baik Wibowo
maupun Murai, menurut Bob, terbukti berbuat. Jaksa yang pengurus
Pertina organisasi tinju itu, belum mengaku kalah atas putusan
pengadilan banding itu. "Siapa bilang KO, pertandingan belum
selesai," katanya.
Jaksa Agung Ismail Saleh juga belum beranggapan bahwa anak
buahnya gagal membuktikan kasus manipulasi pajak itu. "Seorang
jaksa dikatakan gagal, bila ia tidak berhasil mengajukan suatu
perkara ke pengadilan," katanya. Dalam kasus PT Kalisco, Jaksa
Agung menganggap, justru Pengadilan Tinggi Jakarta yang gagal.
Oleh karena itu usaha kejaksaan mengobrak-abrik penyelewengan
pajak, katanya, tidak akan dihentikan. "Bendera hukum harus
berkibar walau ada hambatan dan tantangan. Mudah-mudahan bendera
itu tidak hanya berkibar di kejaksaan tapi juga di pengadilan,"
tambah Ismail Saleh. Jaksa Agung mengharapkan Mahkamah Agung
yang telah memeriksa kasus itu akan bertindak lebih adil.
Sementara itu majelis hakim tinggi rupanya tidak begitu
berselera mengeluarkan pendapat setelah keputusannya itu.
"Karena kasusnya telah kasasi, masalahnya kan sudah mentah
lagi," ujar hakim anggota, Nyonya Aslamiah. Hakim anggota
lainnya, L.M. Silalahi, meminta agar menunggu saJa putusan
Mahkamah Agung. "Karni tidak enak berkomentar atas putusan yang
lagi diperiksa atasan," ujar Silalahi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini