Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARAS pria itu terkesan tampak lebih muda dibanding usianya. Apalagi, jika tersenyum, roman muka Leo Krishna, 26 tahun, lelaki yang kita bicarakan ini, terlihat kekanak-kanakan. Tapi jangan terkelabui. Di balik wajahnya yang awet muda ini, Leo adalah pegiat olahraga sangar: seni pertarungan bebas alias mixed martial arts (MMA). Tak sekadar menjalaninya sebagai hobi, ia bahkan telah turun ke arena pertarungan sesungguhnya di tingkat internasional.
Hasilnya memang belum memuaskan. Di gelanggang pertarungan yang digelar One Fighting Championship (One FC) di Kuala Lumpur, Februari lalu, Leo ditundukkan Peter Davis (Malaysia). Saat itu, tendangan Davis mendarat telak di wajahnya dan menyebabkan sobekan vertikal di bibir bagian atas hampir menyentuh hidung. Bekas jahitan luka sepanjang 3 sentimeter itu masih terlihat hingga kini.
Saat itu, Leo memprotes keputusan wasit yang menyetop laga, karena pertarungan baru berlangsung lebih dari 2 menit. "Saya baru sadar lukanya parah sewaktu melihat big screen. Saat itu langsung lemas," ujarnya kepada Tempo seusai latihan di Pusat Pelatihan Bela Diri Syena, Blok M, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Untuk sementara, Leo harus mengubur impiannya berlaga lagi di arena One FC. Pada seri berikutnya, yang digelar di Istora Gelora Bung Karno, 13 September mendatang, ia harus puas hanya menjadi penonton. Parut di wajahnya mesti dipulihkan dulu sebelum ia siap berbaku-hajar dengan lawan lain.
Tampil di gelanggang One FC kini memang menjadi salah satu impian para petarung di negara-negara Asia. One FC adalah organisasi seni pertarungan bebas terbesar di kawasan ini dan berbasis di Singapura. Didirikan pada 2011, lembaga yang dikomandani Victor Cui ini telah mementaskan juara-juara kondang, antara lain Shinya Aoki, Bibiano Fernandes, dan Melvin Manhoef.
Di Istora nanti, puncak acara akan dipanaskan dengan laga perebutan gelar juara dunia yang mempertemukan Shinichi Kojima dengan Andrew Leone dan Kotetsu Boku melawan Vuyisile Colossa. Bagi penonton lokal, jangan khawatir, ada jagoan dalam negeri yang akan tampil di partai-partai pendahuluan. Mereka adalah Max Metino, yang menghadapi Long Sophy (Kamboja), di kelas bulu dan Vincent Majid bertemu dengan Eugenio Tan (Malaysia) di kelas berat ringan.
Kabarnya laga di Indonesia ini akan disiarkan ke 70 negara. Victor Cui kembali memilih Indonesia karena negeri ini dianggap sebagai lahan subur untuk perkembangan seni tarung bebas. "Dari dulu mereka (orang Indonesia) menggemari silat," kata Victor.
Tentu saja dia juga mengendus pasar yang potensial di kawasan ini. Buktinya, kini Victor memilih Istora yang berkapasitas 15 ribu orang untuk arenanya, karena animo pengunjung bakal lebih besar. Pada Februari 2012, saat digelar di Kelapa Gading Sports Mall, Jakarta Utara, pergelaran mampu menyedot 4.300 penonton.
Penilaian Victor soal meningkatnya minat orang Indonesia terhadap seni bela diri ini tak keliru. Tahun lalu hanya ada delapan sasana di Indonesia yang memberikan latihan tarung bebas. Tahun ini sudah berkembang menjadi 46 sasana. "Saya cukup kaget (terhadap perkembangan itu)," ucapnya dalam sebuah jumpa pers yang dihadiri Gadi Makitan dari Tempo, Juli lalu.
Salah satu sosok yang menonjol dalam mengembangkan seni tarung bebas di Tanah Air selama 10 tahun terakhir adalah Niko Han. Saat itu, pada 1993, di sela-sela rehat kuliahnya di Loyola Marymount University, Los Angeles, dia kerap menonton acara seni pertarungan bebas di televisi, yang dipelopori Ultimate Fighting Championship (UFC).
Dia begitu terkesima oleh aksi kampiun UFC, Royce Gracie, yang mempecundangi lawan-lawan dengan jurus Brazilian jiu-jitsu. Dengan gaya bertarung yang mengandalkan kuncian dan cekikan itu, Gracie bahkan mampu menundukkan lawan dengan bobot lebih berat.
Karena penasaran, Niko mendatangi sasana milik Rickson, abang Royce Gracie, di Los Angeles. Di sana Niko, yang menguasai judo, diminta berlatih tanding dengan seorang murid Rickson. Niko, yang berbobot 90 kilogram, ternyata tak berkutik menghadapi lawan yang cuma 60 kilogram. "Sepanjang perjalanan pulang, saya mengumpat-umpat sendiri," kata Niko, kini berusia 40 tahun. Sejak itu, dia menekuni Brazilian jiu-jitsu.
Niko kembali ke Tanah Air pada 2003 dan bertekad menyebarkan seni bela diri tersebut. Dalam kurun 10 tahun, muridnya berkembang dari cuma 10 orang menjadi lebih dari 1.000, yang tersebar di 30 cabang Synergy MMA Academy. Itu hanya di sasana milik Niko. Di beberapa sasana lain pun jumlah peminat meningkat. Arena MMA di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya, kini memiliki 140 peserta atau meningkat hampir tiga kali lipat dibanding saat buka pada Februari lalu.
Menurut Niko, sebagian besar murid memang bertujuan "hanya" mencari keringat. Tapi di antara mereka ada sekitar 10 persen penggiat MMA yang ingin menjadi atlet profesional. Leo Krishna adalah salah satu yang berusaha mewujudkan mimpinya terjun ke arena profesional itu. Dulu lulusan Universitas Bina Nusantara pada 2009 ini hanya berlatih dua kali sepekan. Begitu memancangkan tekad untuk terjun ke pro, ia menggembleng diri selama lima kali dalam satu minggu.
Bukan hanya itu, Leo juga pantang melewatkan turnamen. Ia gemar menjajal kemampuannya dalam kejuaraan-kejuaraan. Meski terluka parah di pertandingan terakhirnya, Leo yang sehari-hari bekerja sebagai agen di perusahaan asing ini tidak kapok. "Selalu merasa senang setiap sparing. Ada perasaan yang tidak bisa kita dapatkan di olahraga lain," kata lajang yang menguasai aikido, tinju, dan muay Thai itu.
Kegilaan yang sama diidap Patrick Winata, 27 tahun. Pria yang berprofesi sebagai arsitek lepas ini jatuh cinta pada seni tarung bebas setelah melihat Royce Gracie menaklukkan lawan-lawannya. Sejak 2004, Patrick menghabiskan sedikitnya dua kali sepekan berlatih di sasana. Dia sering pulang ke rumahnya di Apartemen Mediterania, Tanjung Duren, Jakarta Barat, dengan lebam di beberapa bagian tubuh. Tempo menemuinya dua pekan lalu saat ia selesai dirawat di klinik fisioterapi di Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta Barat, untuk mengobati lututnya yang cedera. "Kado" itu ia peroleh saat mendapat take-down atau ditomprok rekan latihannya.
Sejauh ini Patrick sudah menjalani enam pertandingan, termasuk Indonesia Submission Championship tahun lalu. Dan ia belum melepaskan mimpinya untuk bertarung di One FC.
Apakah uang yang dicari para lelaki ini sehingga mereka rela berlebam-lebam di arena tarung bebas profesional? Terjun di One FC tampaknya memang menjanjikan fulus lumayan. Seorang pekerja One FC mengatakan kontrak petarung bernilai minimum US$ 5.000 (setara dengan Rp 57 juta) untuk sekali bertanding. Honor bisa bertambah kalau sang petarung menang. Bonus lain mengalir jika pelaga mampu menampilkan kuncian terbaik. Toh, angka ini diralat Leo. Dia mengatakan hanya menerima kurang dari separuh yang disebutkan itu.
Bagi Patrick, uang bukan tujuan utama. Dia yakin duit yang lebih banyak bisa ia raup dari restoran waralaba yang tengah dirintisnya. Lalu apa? "Seperti di komunitas lebah, (selalu) ada orang-orang yang memiliki DNA petarung," ujarnya. Alias mereka turun ke arena untuk menyalurkan naluri berkelahi—tentu saja dengan batas-batas aturan yang ada. "Mimpi terbesar saya adalah bermain di kompetisi sekelas One FC," ucapnya mengulang tekadnya.
Mimpi memang patut dicanangkan. Apalagi hingga kini belum ada petarung Indonesia yang mampu berlaga di partai puncak. Namun ikhtiar menjadi kampiun di One FC harus ditempuh dengan kerja keras.
Menurut Niko, atlet seperti Patrick dan Leo masih termasuk di kelas C. Saat ini, kata dia, di Indonesia hanya ada dua orang yang masuk level A. Mereka adalah Fransino Tirta dan Yohan Mulia. Namun, "Saya yakin (kelak) bakal lebih banyak yang mampu masuk level A."
Sebenarnya peluang untuk "naik kelas" kini terbuka lebar bagi Patrick. Ia termasuk di antara delapan petarung Indonesia yang lolos seleksi menuju arena UFC. Hanya, dari delapan orang itu masih akan diperas menjadi empat orang untuk berlatih di Las Vegas selama dua setengah bulan. Nanti, "Ada kesempatan bertanding di UFC," ujar Domas Bathoro, manajer proyek UFC di Indovision. Pada Maret lalu, UFC memang menggandeng Indovision untuk menjaring bakat-bakat dari Indonesia. Saat itu, 148 peserta unjuk keterampilan.
Terpilih di antara delapan orang itu tentu bikin Patrick girang, meski diakuinya juga ada rasa galau. Sebab, sang istri tercinta, Fivi, 26 tahun, kerap nyap-nyap saban dia pulang berlatih membawa cedera. "Jangan terlalu serius latihan, nanti terluka seperti Leo," katanya menirukan pesan Fivi. Di arena, Patrick boleh garang dan agresif. Tapi nasihat sang istri tampaknya akan selalu ia ingat.
Reza Maulana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo