Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulut Daniela Beltrani tak berhenti mengunyah benang. Performer kelahiran Italia itu mengulum-ngulum benang yang ditarik mulutnya dari sebuah pohon. Sedangkan Jason Lim, seniman Singapura yang berdiri tak jauh darinya, justru dengan gigitan mulutnya mengulur benang tersebut. Di antara pepohonan jati di halaman terbuka Studio Art Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, dua seniman asal Singapura, Jason Lim dan Daniela Beltrani, menciptakan sebuah ketegangan yang unik.
Pada mulanya mereka mengikatkan benang nilon panjang di sejumlah pohon jati. Bentangan benang itu centang-perenang. Sebuah lonceng kecil digantungkan di tengah bentangan benang. Dengan mulutnya, dua seniman tersebut memainkan bentangan benang dari sisi yang berlawanan hingga lonceng berbunyi. Dentangan lonceng menjadi cara bagi mereka berdua untuk berkomunikasi. Mereka melakukan permainan mengulum, menarik benang dengan badan menjauh dan mendekat sembari menjaga agar lonceng tetap tergelantung dan terus berbunyi.
Puncaknya sampai benang itu melilit ketat pipi Jason. Wajah Jason seperti tercabik-cabik. Daniela "memakan" benang itu sampai badannya mendekat Jason. Mereka terus mempertahankan agar lonceng kecil tersebut tetap berbunyi di antara mereka. Klimaksnya Daniela membunyikan lonceng yang menempel erat di leher Jason dengan lidah. Beberapa kali gerakan tersebut terlihat seperti dua insan yang sedang berciuman. Jason-Daniela memberi judul pertunjukannya itu Placebo1.
Itulah sebuah performance yang digelar di Undisclosed Territory #7 di Studio Art Plesungan, kompleks studio alam di Desa Plesungan, Karanganyar, milik performer Melati Suryodarmo, pada Jumat-Sabtu pekan lalu. Selama dua hari, belasan seniman dari dalam dan luar negeri, antara lain Singapura, Myanmar, Australia, serta Polandia, tampil menyajikan performance yang bertolak dari hal-hal sederhana yang kadang tidak kita pikirkan.
Performance adalah disiplin yang bergerak luwes menyelinap di antara batas-batas seni rupa, teater, tari, dan kehidupan sehari-hari. Sebagaimana nama festival—Undisclosed Territory—pada umumnya performer berusaha merambah kemungkinan ruang yang sering tidak terlihat disiplin seni baku. Mereka juga berusaha mengekspresikan tubuh yang berbeda dengan tubuh seorang aktor teater atau penari. Tubuh yang mereka presentasikan umumnya bukanlah suatu jenis tubuh yang berpura-pura menjadi sesuatu, melainkan tubuh mereka sendiri—tubuh sehari-hari—yang terlibat dalam berbagai potensi situasi.
Meski kadang pertunjukan sebuah performance mirip adegan peristiwa sehari-hari yang ganjil, sebuah performance yang berhasil akan mampu memicu renungan. Tengoklah gulungan besar benang yang dieksplorasi oleh Retno Sayekti dan Fitri Setyaningsih, dua seniman asal Indonesia. Mereka melilitkan gulungan besar benang ke dua pohon yang sejajar serta tubuh pasangannya. Semakin lama benang yang melilit semakin banyak, hingga menciptakan ruang berbentuk segitiga sama kaki.
Lebih dari dua jam mereka terus bergerak melilitkan benang secara bergantian. Ratusan benang yang melilit itu sampai bisa menopang tubuh mereka hingga tidak rebah. Betapapun demikian, tubuh mereka itu tetap dengan mudah mampu membebaskan diri dari lilitan. Pertunjukan ini mampu memberi kita asosiasi terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan keterkungkungan dan kemerdekaan.
Penampilan yang agak berbau "ritual" disajikan Ana Wojak. Dalam karya bertajuk Sincerely Yours, seniman asal Australia itu berjalan ke sana-kemari—ke sudut-sudut area Studio Art Plesungan—membawa lembar-lembar surat cinta. Berbaju putih, Ana membawa payung dan keranjang kecil berisi tusuk satai, parfum, serta berlembar-lembar kertas dengan bercak noda merah mirip darah.
Di beberapa titik Ana Wojak berhenti, berjongkok sembari mengambil selembar kertas di keranjangnya. Dia kemudian menyemprotkan parfum ke kertas itu, menciumnya lalu menancapkannya ke tanah dengan tusukan satai. Dalam pertunjukan terpisah, Ana berjalan menggunakan gaun putih seperti layaknya pakaian pengantin. Puluhan lembar surat cinta menempel di bagian belakang pakaiannya. Bagi Ana, surat cinta menumpahkan perasaan bahagia sekaligus perih.
Terlihat konsentrasi para seniman tak terpecah meski harus membawakan performance pada saat bersamaan. Saat Daniela dan Jason melakukan tarik-menarik benang, pada saat itu pula Waldemar Tatarczuk, dari Polandia, menempel foto buram ke setiap pohon jati. Ia melakukan aksinya tanpa sepatah kata pun. Penonton yang datang bebas memilih mengikuti performance yang mana.
Juga tatkala aksi Ilham Baday dari Surabaya—putra almarhum pelukis Amang Rahman—terkena hujan. Ilham membawa sebuah rumah bola, seperti banyak yang kita lihat pada stan mainan anak di mal. Rumah-rumahan berbentuk boks itu berisi ratusan balon merah yang diletakkannya di rerumputan terbuka. Ilham, yang berpenampilan seperti punker, mengenakan rok berdiri di antara balon-balon itu, dan satu per satu diletuskannya dengan cara menempelkan mulutnya ke balon dan menekannya. Tatkala turun hujan, penonton beralih. Tapi Ilham tak peduli, ia terus meletupkan balon-balonnya.
Pada hari terakhir pementasan, sastrawan Afrizal Malna justru menghancurkan tata panggungnya dalam pertunjukan yang diberi judul Di Dalam Tajam. Selama sehari penuh ia menghabiskan waktu menancapkan tonggak bambu. Mengikatkan tali antarbambu dan kemudian memungut berbagai sampah dan ranting di sekitar Plesungan, yang lalu dicantolkannya di tali-tali. Sampah daun kering yang ditemukan di tempat tersebut juga disebar di panggungnya.
Sebagai seorang sastrawan, performance art membuatnya "terengah-engah". Dia tidak mampu menemukan sebuah ruang tempat dia harus meletakkan kata-kata. Akhirnya, Afrizal memilih menghancurkan instalasinya lantaran tidak ingin menjadikan karya itu sebuah monumen.
Penampilan Ma Ei, seniman perempuan asal Myanmar, berjudul I am a Worthless so You Are yang paling mengesankan. Berbaju merah menyala, Ma Ei duduk di bangku kayu. Tangannya mendekap erat sebuah boneka besar yang didudukkan di sebelahnya. Paras boneka itu sangat cocok dengan parasnya. Mereka tampak seperti sahabat. Boneka itu bertopi merah, sementara Ma Ei berikat kepala dan memakai tank top merah. "Jika Anda bosan dengan pertunjukan saya, silakan pergi," ujar Ma Ei, sesaat sebelum pertunjukan dimulai.
Dalam performance-nya itu, Ma Ei tidak melakukan apa pun. Dia hanya duduk di bangkunya, nyaris tanpa bergerak. Ma Ei duduk menyerupai boneka yang diam di sampingnya. Ia sama sekali tak menampilkan ekspresi. Matanya pun tak berkedip. Sepanjang 40 menit dia mempertahankan posisi diam itu. Sekonyong-konyong air matanya mengalir dengan cukup deras. Membasahi pipinya. Meskipun begitu, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi sama sekali. Ini sebuah kejutan. Air mata Ma Ei serta-merta mampu membuat kita membayangkan betapa pedih dan pahitnya kekerasan yang terjadi di Myanmar. Air mata itu tragedi Myanmar.
Festival dilengkapi presentasi perupa F.X. Harsono dan Moelyono. Keduanya menyajikan slide kegiatan terakhir mereka. Moelyono menceritakan pengalamannya menjadi fasilitator di Wamena, Papua. Di sana ia mengajar anak-anak balita. Seperti pernah ia kerjakan di Desa Brunbun, Tulungagung, Jawa Timur, ia meminta bocah-bocah itu menggambar. Yang mengagetkannya, anak-anak itu antara lain mencoret-coret gambar bendera OPM. Pengalaman sama juga terjadi saat ia mengajar di perbatasan Papua Nugini dengan Papua. "Karya mereka sampai diminta Universitas Flinders, Australia, untuk dipamerkan," katanya.
Ahmad Rafiq, Seno Joko Suyono
Festival Internasional Bermodal Cekak
Melati Suryodarmo melihat hujan dengan waswas. "Tujuh kali Undisclosed saya selenggarakan, baru kali ini hujan," ujarnya. Tapi ia tampak yakin hujan segera reda. Juga Agnes Yit, seniman Singapura. Dan benar, malam itu hujan hanya sebentar. Agnes dapat menyajikan pertunjukannya. Dalam kegelapan, ia memainkan sebuah gelang hula hoop penuh lampu warna-warni.
Sejak 2007, Undisclosed Territory terselenggara secara rutin tiap tahun. Biasanya acara ini diselenggarakan di Padepokan Lemah Putih Mojosongo, milik Suprapto Suryodarmo, tokoh meditasi gerak yang juga ayah Melati. Kini Melati, 43 tahun, memiliki area sendiri di Plesungan, tapi tetap tak jauh dari Lemah Putih. Melati Suryodarmo menyiapkan festival seni bertaraf internasional itu di sela-sela aktivitasnya berkeliling dunia berpameran dan menggelar pertunjukan.
Selama tujuh kali digelar, Undisclosed Territory selalu berhasil mendatangkan seniman performance art dari dalam dan luar negeri. Padahal Melati tidak memiliki modal besar untuk mengadakan pertunjukan prodeo tersebut. "Modalnya hanya sekitar Rp 50 juta," katanya.
Meski modal Melati cekak, seniman yang didatangkan tak main-main. Sebagian besar seniman termasuk papan atas di dunia performance art. Misalnya kelompok Black Market International, yang beberapa kali mengisi acara tersebut. Black Market, yang berbasis di Jerman, adalah kelompok independent performance art andal beranggotakan 12 seniman dari berbagai negara dan sudah terbentuk sejak 25 tahun lalu.
Lantas apa kiat Melati bisa mendatangkan mereka? Menurut perempuan yang pernah menjadi murid performer besar dunia Marina Abramovic ini, dia selalu mempersiapkan festival itu sejak setahun sebelum digelar. Dia memulainya dengan menjalin komunikasi lewat jaringan seniman yang dibangun ketika ia mengikuti pameran dan pertunjukan di pelbagai negara. Salah satunya dengan pendiri Black Market, Boris Niesloni.
"Itu supaya seniman dari mancanegara bisa mencari sponsor di negaranya masing-masing," ujarnya. "Saya hanya mampu membiayai akomodasi penginapan selama mereka berada di lokasi pertunjukan."
Dengan model penyelenggaraan seperti itu, bukan berarti Undisclosed Territory tanpa risiko. Dalam pergelaran tahun lalu, misalnya, banyak seniman dari Eropa tak bisa datang. Dampak krisis global di Eropa membuat para seniman kesulitan mendapat sponsor. Akibatnya, Undisclosed Territory #6 banyak diisi seniman dari Indonesia serta beberapa seniman Asia.
Toh, Melati tak surut langkah. Dia berobsesi terus menggelar festival tahunan itu. "Saya ingin berbagi dari apa yang bisa saya bagikan," katanya. "Performance art membutuhkan apresiasi publik dalam kancah perkembangan wacana seni rupa."
Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo