Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Geger Pacinan (1740-1743)
Penulis: Daradjadi
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Februari, 2013
Tebal: 292 halaman
Namanya Khe. Rambutnya masih berkucir. Itu pertanda ia belum lama tiba dari Tiongkok. Akhir September 1740, ia memimpin sekitar 1.000 pejuang berani mati Tionghoa. Mereka berkumpul di pinggir Batavia—di kawasan sekitar pabrik gula Gandaria—area yang kini penuh mal dan apartemen.
Pernahkah Anda mendengar nama tersebut? Julukannya Khe Panjang. Para prajurit Jawa memanggilnya Kapitan Sepanjang. Berani taruhan, buku-buku pelajaran sejarah kita sama sekali tak pernah menyebut pria berkucir itu. Buku Geger Pacinan karangan Daradjadi, sejarawan otodidak dan pembina Yayasan Suryosumirat Mangkunegaran, menyebut Khe sebagai tokoh penting. Ia tokoh yang menyulut sebuah pemberontakan besar setelah warga Cina di Batavia dibunuh massal.
Kita tahu Batavia 1740 berdarah. Lebih dari 8.000 laki-perempuan, tua-muda, dibantai. Awalnya adalah kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap meningkatnya jumlah imigran gelap Cina. Pada 1739, populasi warga Tionghoa Batavia sudah mencapai lebih dari 10 ribu orang. Gubernur Jenderal Adriaan Vicker lantas menetapkan kebijakan pajak yang tinggi terhadap mereka, juga pemberlakuan izin menetap. Bila warga Tionghoa Batavia tak memiliki izin itu, ia akan dideportasi. Pada hari Imlek, Februari, Belanda melakukan razia besar-besaran.
Oktober, tensi di wilayah ini naik. Isu bahwa mereka yang ditangkap bukan dipulangkan ke Cina, melainkan dicemplungkan ke laut membuat beberapa perusuh Cina menyerang pos-pos Belanda. Membalas tindakan ini, kompeni melakukan penjagalan. Di Stadthuys—kini museum sejarah Jakarta— ratusan warga Tionghoa dipenggal kepalanya satu per satu. Mayat-mayat orang Tionghoa mengapung di kanal-kanal dan sungai Batavia. Begitu banyaknya sehingga toponimi nama-nama daerah Batavia berkaitan dengan jenazah-jenazah ini. Rawa Angke, misalnya, berasal dari Rawa Bangke.
Yang minim dibicarakan dalam sejarah, Khe dan gerombolannya—setelah berkonsolidasi di Bekasi—kemudian berjalan long march sampai Jawa Tengah. Mereka menyusuri kota demi kota, mencari dukungan, menggelorakan perlawanan. Menurut Daradjadi, simpati kepada Khe bangkit di mana-mana. Secara sporadis terbentuk satuan-satuan Tionghoa di seluruh wilayah Jawa. Dari Cirebon, Tegal, Semarang, Grobogan, Jepara, Kedu, Kediri, Surabaya, sampai Pasuruan muncul tokoh-tokoh pendekar Tionghoa.
Di Jepara muncul pendekar bernama Tan Sin Kho alias Singseh. Di Tegal muncul pemimpin bernama Kwee Lak Kwa. Di Blora ada Encik So. Di Grobogan ada Encik Macan. Mereka menjadi panglima laskar-laskar Tionghoa. Mereka didukung ribuan prajurit pribumi Jawa, gabungan dari para desertir opsir kolonial sampai rakyat biasa. Surat ajakan melawan VOC disebarkan di mana-mana, bahkan ada yang diapungkan melalui rakit-rakit batang pisang.
Pada titik inilah buku ini memberi kita perspektif dan imajinasi sejarah yang luar biasa. Biasanya ulasan tragedi Batavia berhenti pada Batavia saja. Buku karya sejarawan Belanda, B. Hoetink, mengenai Nie Hoe Kong, Kapitan Tionghoa era itu, yang sudah diterjemahkan, misalnya, hanya bercerita seputar materi proses peradilan Nie Ho Kong. Dia saat itu dituduh tak bisa meredam pemberontakan. Nie Ho Kong dicurigai terlibat. Ia akhirnya mati di pengasingan Ambon.
Buku Daradjadi layak dibaca karena menyambungkan dua peristiwa dalam jarak tiga tahun yang biasanya dibaca terpisah. Dua peristiwa itu adalah tragedi Batavia dan runtuhnya keraton Kartasura. Dari Batavia, Khe dan para pejuang menyeret suatu perang besar dalam sejarah Jawa. Klimaks perang ini: Belanda secara leluasa mengintervensi administrasi pemerintahan Mataram.
Buku ini juga mengungkap kebimbangan penguasa Jawa merespons pemberontakan Khe. Kita tercenung betapa banyak pemimpin Jawa yang oportunis. Pakubuwono II, misalnya. Pada mulanya ia mendukung laskar Tionghoa. Ia yakin laskar Tionghoa mampu menumbangkan VOC. Disokong oleh perwira-perwira tangguh, seperti Patih Notokusumo, cucu Sunan Pakubuwono I, aliansi Pakubuwono II dan laskar Tionghoa berhasil menghancurkan benteng VOC di Kartasura.
Siasat perang Khe di sini amat berperan. Ia memerintahkan membuat tangga-tangga yang dilengkapi roda. Tangga-tangga itu diputar-putarkan sekeliling benteng. Pasukan Tionghoa dan Jawa naik tangga, kemudian berlompatan masuk ke benteng. Kita membayangkan taktik ini seperti adegan film-film silat kolosal Cina masa kini karya Zhang Yimou atau Ang Lee. Mungkin itu dipelajari Khe dari peperangan di Cina. Yang jelas, kemudian duel antarprajurit tak terelakkan. Pesilat-pesilat Cina unggul dalam pertarungan satu lawan satu. Mereka menggunakan tombak, pedang, atau toya.
Tapi, setelah kompeni mendatangkan pasukan tambahan dari Sulawesi Selatan (terdiri atas prajurit Belanda, Bugis, Makassar, Ambon, dan Sumbawa), Pakubuwono II berbalik arah. Apalagi setelah laskar Tionghoa melakukan "kudeta", mengangkat Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III—berjulukan Sunan Kuning yang masih berusia 16 tahun—menjadi Sunan Mataram menggantikan dirinya. Dari pelariannya di Ponorogo, Pakubuwono II berbalik memihak Belanda. Ia meminta Belanda menggempur Sunan Kuning, membuat sunan remaja itu hanya sempat bertakhta selama 6 bulan di Kartasura. Dalam pertempuran di Surabaya, Sunan Kuning akhirnya menyerah, dan kemudian dibuang ke Sri Lanka.
Kisah bagaimana kembalinya Pakubuwono II ke Kartasura dan memindahkan istananya ke Surakarta pernah diuraikan dalam buku John Pemberton, On the Subject of Java. Iring-iringan prosesi dari Kartasura ke Surakarta membawa berbagai harta benda dan jimat-jimat keraton yang tersisa. Sejak itu, sesungguhnya, seperti pernah dikatakan mendiang penyair Rendra, kerajaan Jawa menjadi kerajaan boneka. Pakubuwono II menyerahkan seluruh gerbang cukai dan penguasaan daerah pesisir kepada Belanda. Ia tak berhak lagi mengangkat bupati di pesisir.
Tapi lupakan para pembesar Jawa yang hipokrit. Walau kalah, menurut Daradjadi, laskar Tionghoa tak mau menyerah. Kisah-kisah bagaimana keheroikan ini bisa kita tambah. Bertolak dari informasi Daradjadi, misalnya, kita bisa menapaktilasi kelenteng-kelenteng sepanjang Jawa Tengah. Banyak kelenteng ternyata memiliki kaitan dengan laskar Tionghoa ini. Kelenteng Cu Hwie Kiong di Rembang, Kelenteng Hian Siong Tee di Welahan-perbatasan Demak dan Jepara, Kelenteng Tay Kak Sie di Semarang, serta Kelenteng Tek Hay Kiong di Tegal, misalnya. Di situ tentu masih banyak kisah lisan mengenai pemberontakan tersebut.
Sayang, Daradjadi belum mengungkap kisah para pesilat di kawasan long march Khe. Tiap daerah tentu memiliki hero sendiri berkaitan dengan peristiwa ini. Bila ke Kelenteng Sam Poo Kong, Anda bisa mendengar kisah mengenai pendekar bernama Souw Pan Djiang. Pada masa itu dia adalah guru silat di Simongan. Ia ikut menceburkan diri ke laskar Tionghoa. Konon dia mampu mengobrak-abrik kompeni. Saat dikejar, ia melompat ke Sungai Simongan dan kemudian lenyap. Sosok ini entah fiksi entah bukan.
Pun tokoh-tokoh pribumi lain. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa (pendiri Mangkunegaraan) dan Pangeran Mangkubumi (pendiri Keraton Yogyakarta) adalah tokoh terkenal yang membantu Khe. Bupati Grobogan Martopuro, yang disayang para pemberontak Tionghoa, juga belum banyak diungkap sejarah. Begitu pula pasukan keturunan cucu Suropati, yang mendukung Khe sepanjang Bangil, Pasuruan, Malang, Mojokerto, Jombang, dan Kediri.
Khe sendiri adalah sosok misterius. Sementara Singseh ditengarai gugur di Pantai Lasem, catatan-catatan Belanda menyatakan Khe tak pernah tertangkap atau menyerah. Dia lari dari desa ke desa. Desa Sepanjang di Karanganyar, misalnya, diduga pernah disinggahi Khe. Konon ia terakhir kali terlihat di depan umum pada 1758. Saat itu, Khe muncul di Istana Gusti Agung, Bali. Setelah itu, ia lenyap, tak berbekas.
Apakah ia dibunuh? Di manakah ia dimakamkan? Di Bali? Ataukah ia balik ke Cina? Siapakah dia sebenarnya? Betulkah nama aslinya Tay Wan Soey? Betulkah ia sesungguhnya saudara Kaisar Kin Lung, kaisar besar Manchuria yang dibuang karena memberontak di Tiongkok?
Tentu untuk menguak ini diperlukan penelitian akademik serius. Dan ini tak cukup dengan hanya bertumpu pada literatur Belanda atau Jawa. Harus dicari bahan-bahan dari Cina. Yang dilakukan Daradjadi sebagai sejarawan otodidak—mengkompilasi buku-buku seputar tema itu dan babad Cina—sudah lebih dari cukup. Buku ini adalah awal bagus perkenalan kita dengan Khe. Tugas sejarawan profesionallah selanjutnya yang melacak nasib Khe.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo