PESTA Sukan Merdeka dilepas masyarakat Bandar Seri Begawan, ibu kota Brunei, dengan wajah murung. Ini gara-gara satu pingat (medali emas), yang sangat diharapkan tim tuan rumah dari cabang sepak bola, gagal direbut. Anak-anak asuhan pelatih Brail, Oscar da Silva, ini dikalahkan kesebelasan Singapura, di final, dalam adu penalti (2-4) Minggu petang pekan lalu, menjelang upacara penutupan. Kekalahan ini tampaknya sulit diterima oleh sekitar 30.000 penonton Brunei, yang sudah sejak awal pertandingan - lewat poster, bendera, terompet, dan sirene yang mereka persiapkan - memberikan dukungan kuat agar tim mereka bisa menang. Sebab, dengan kemenangan itu, berarti kontingen mereka akan terhindar dari posisi juru kunci dalam perolehan medali. Namun, yang mestinya sedih dalam pesta olah raga yang memperebutkan 61 medali (emas, perak, dan perunggu) untuk 11 cabang olah raga yang dipertandingkan itu tentu saja Indonesia. Datang dengan jumlah atlet terbesar, setelah tuan rumah, 218 orang, juara umum SEA Games empat kali berturut-turut sejak pesta olah raga itu diadakan tahun 1977 - dua tahun sekali hanya bisa menempati urutan ke-2, setelah Filipina. "Saya menduga, tim Indonesia tak betul-betul dipersiapkan," ujar Irwin Ver ketua rombongan Filipina kepada Marah Sakti dari TEMPO. Ucapan pimpinan tim Filipina itu ternyata memang benar. "Salah satu penyebab kekalahan kita, karena hampir semua atlet tidak dalam kondisi siap tempur," kata Subagio, pimpinan kontingen Indonesia ke Pesta Sukan Brunei. Ketua harian KONI Yogyakarta ini pula yang terus terang mengakui, salah satu sebab kegagalan kontingen yang dipimpinnya adalah karena "melesetnya hasil emas di atletik". Dari 34 medali yang diperlombakan, katanya, tim atletik Indonesia direncanakan akan menyumbangkan sampai 12 medali emas. "Tapi, atlet putra, terutama kalah hingga kita hanya memperoleh tujuh medali emas," kata Subagio. Enam di antaranya direbut oleh atlet putri dan hanya satu, lempar lembing, dihasilkan oleh atlet putra, atas nama Frans Mahuse. Atlet putra lainnya, Purnomo, misalnya, yang turun dalam nomor estafet 4 x 100 meter putra, hanya berhasil merebut medali perak, dikalahkan tim estafet Muangthai. Dengan kata lain, seperti diakui oleh manajer tim atletik Nyonya S. Maryam, 56, "sekurang-kurangnya lima medali emas, yang diharapkan dari tim putra, tak dapat direbut". Kenapa? "Putra kalah, saya kira, karena tak cukup latihan. Bayangkan saja, kami semua baru tahu mau dikirim bertanding empat atau lima hari sebelum kemari," tambah Henny Maspaitella, peraih medali emas lari 200 meter putri. Faktor tak siap inilah yang acap dilontarkan oleh pimpinan cabang olah raga yang gagal di Pesta Sukan Brunei yang diikuti enam negara ASEAN itu. Selain atletik putra, Indonesia tercatat gagal di cabang olah raga yang cukup diharapkan meraih emas. Misalnya, tenis, voli, dan sepak bola. "Waktu dua puluh hari memang belum cukup untuk membentuk satu kesebelasan yang kompak dan tangguh," kata Wahab Abdi, ketua PSSI Bidang Perserikatan memberi alasan. Adjat Sudradjat dkk dari Tim Perserikatan, yang belum lama ini dipuji lebih baik dari Tim Galatama, tak berhasil meraih perunggu sekalipun. "Tak ada target yang ditugaskan kepada saya kemari," ucap Wahab Abdi. Target utama kontingen Indonesia, pada prinsipnya, menurut Subagio, hanyalah untuk ikut "menyemarakkan ulang tahun negeri tetangga sesama anggota ASEAN itu". Barangkali itu sebabnya tim Indonesia kali ini, yang datang dengan biaya separuh tiket dibayar negara pengundang, tak serius benar mempersiapkan diri, datang untuk sekadar basa-basi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini