Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Protes, Mengundurkan Diri Dan ...

Turnamen balap sepeda piala wali kota jak-ut ke-7 diwarnai protes. tim manager sul-sel, basri, menganggap keberhasilan ja-teng tak absah, karena melanggar ketentuan jarak 25 m antar masing-masing tim.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TURNAMEN balap sepeda memperebutkan piala Walikota Jakarta Utara ke-7 tak ayal digenjot protes keras. Ini terjadi selepas nomor lomba 100 km Team Time Trial yang mengambil rute Cilincing - Bekasi - Gunung Puteri Bekasi - Cilincing Kamis pekan lalu. Keberhasilan tim Jawa Tengah menguntit regu pelatnas dengan perbedaan tempo 2 menit 12,9 detik dianggap tidak sah oleh tim manager Sulawesi Seiatan, Basri. Alasannya: ketentuan memelihara jarak minimal 25 m antar masing-masing tim dan 2 m untuk sisi kiri dan kanan, sering dilanggar oleh tim Jawa Tengah yang mencatat waktu tempuh 2 jam 29 menit 33,1 detik. "Banyak yang melihat kejadian itu", ujar Basri kesal. "Bahkan di tikungan Citeureup mereka melakukannya dengan cara yang lebih menyolok lagi". Ketidak-sportifan tim Jawa Tengah, seperti yang dituduhkan Basri, adalah bahwa begitu mereka berhasil menempel regu pelatnas, mereka tak mau memperlebar jarak lagi. "Dengan cara demikian, mereka 'kan jadi ikut tertarik oleh regu pelatnas", lanjut Basri. Benarkah tim Jawa Tengah berbuat seperti yang dicurigai tim manager Sulawesi Selatan? Pembalap pelatnas, Sutiyono membenarkan kejadian itu. "Tim Jawa Tengah memang menempel kita terus", kata Sutiyono. Artinya: mereka mengambil jarak kurang dari 25 m. "Itu sering mereka lakukan, tapi kami mau berbuat apa? Yang teledor dalam hal ini adalah pimpinan perlombaan". Menarik nafas sebentar, Sutiyono pun sampai pada kesimpulan: "Seharusnya mereka didiskwalifikasi". Nara Utama Mengakui Jalan ke luar dari kemelut saling menempel ini bukan tak ada. Formasi mereka harus dipecah. Satu ditempatkan pada jalur kiri jalan, sedang yang lainnya menempati sisi kanan. "Kami bukannya tak tahu peraturan itu", tangkis pimpinan perlombaan, Nara Utama. Tapi, "kan sulit menutup jalan ekonomi Jakarta-Cibinong dari kendaraan umum". Nara Utama tidak menolak tuduhan yang dilontarkan pimpinan regu Sulawesi Selatan. Ia bahkan mengakui penempelan tersebut terjadi sampai beberapa kali. Tapi, "itu adalah ekses dari jalanan umum", dalih Nara Utama. Untuk memperkuat alasannya- itu, Nara Utama tak kurang mempersoalkan kepentingan masyarakat ibukota. "Kalau jalahan itu mau ditutup, sayur yang mau dikirim ke Jakarta bisa busuk, dong. Ini 'kan lebih berabe lagi". Yang tak kurang repot dengan tuduhan Basri dan penjelasan Sutiyono adalah regu Jawa Tengah. "Siapa bilang kami menempel terus", bantah pembalap Jawa Tengah, Seno Sudono panas. "Namanya berlomba di jalanan umum dan kendaraan banyak pula lagi, ya mungkin saja terjadi dua tim yang berurutan saling menempel. Tapi, itu 'kan tidak sering". Pembalap Jawa Tengah yang lain, Slamet Riyanto tiba-tiha menyela. "Bagaimana kita bisa dibilang menempel. Bukankah Hardley Davidson (sepeda motor ukuran besar yang biasanya dipakai oleh Polantas) panitia cukup leluasa untuk menari-nari guna memelihara jarak minimal 25 m itu?". Ia kemudian menambahkan alasan tempo untuk memperkuat dalilnya: "Lihat saja, waktu tiba kami di finish 'kan berselisih cukup lama toh?". Kian Meruncing Silat lidah antara dua fihak yang bertentangan tersebut ternyata tidak membuahkan suatu kesepakatan Kian meruncing, malah. Tim Sulawesi Selatan tak ayal menyatakan pengunduran diri untuk kegiatan selanjutnya. Penarikan diri tim Sulawesi Selatan itu segera diikuti oleh tim DKI Jakarta, klab Tovo, Garuda, dan Sunan Giri. Menurut seorang pembalap DKI Jakarta, pengunduran diri keempat tim yang disebut belakangan ini adalah sebagai sikap solidaritas terhadap protes Sulawesi Selatan. Mendengar tim DKI Jakarta ikut mengundurkan diri, Erwin Baharuddin selaku Keta KONI dan pucuk pimpinan Pengurus Daerah ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia) Jaya tak urung uring-uringan juga dibuatnya. Sebab hasil tim DKI Jakarta dalam turnamen ini akan dipergunakannya sebagai penilaian untuk PON IX nanti. "Apa-apaan anak-anak ini?", gerutu Erwin Baharuddin ke alamat tim DKI Jakarta. "Kampungan semua". Maksud Erwin Baharuddin, kenapa soal protes tersebut tidak diselesaikan secara baik-baik saja. Tidak perlu sampai terjadi pengunduran diri segala. Dan Erwin Baharuddin tampak lebih terpukul lagi oleh tingkah penarikan diri tim DKI Jakarta yang berdasarkan solidaritas itu. Ketika dalam pertandingan terakhir, Sabtu 23 April pagi, ia melihat tim Sulawesi Selatan turun ke arena pertandingan kembali. "Kami 'kan hanya menarik diri sementara", alasan Basri ketika ditanya oleh wartawan tentang ikut sertanya mereka kembali. Bagaimana dengan tim DKI Jakarta? "Sebetulnya saya sudah perintahkan mereka untuk masuk kembali", ucap Erwin Baharuddin Tapi perintah itu tidak ditaati oleh anak asuhannya Entah apa alasan mereka. Karena tak seorang pun di antara mereka yang mau buka mulut. "Pokoknya, kejadiaul ini betul-betul memalukan nama Jakarta", gerutu Erwin Baharuddin. Memalukan atau bukan, di antara keempat manager tim yang ikut menyatakan solidaritas terhadap protes regu Sulawesi Selatan (notabene adalah anggota ISSI Jaya) ada yang sama sekali tidak melihat pelanggaran seperti yang dituduhkan Basri. Wah, cilaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus