UNTUK kota sebesar Palu, seribu orang yang mengantar jenazah
pada upacara pemakaman merupakan jumiah yang besar. Tapi tentu
bukan karena itu bila Husni-Alatas, yang jenazahnya dimakamkan
di hari Sabtu 16 April yang lalu, merupakan seorang tokoh.
Di masa-masa ini barangkali tidak begitu banyak wartawan
khususnya di daerah, yang selain berhasil membuktikan dirinya
sebagai jurnalis yang berkwalitas juga ternyata merupakan
"tokoh" yang banyak dipandang orang. Mungkin karena Palu hanya
sebuah kota kecil, sehingga hubungan antara orang-orang yang
menonjol di berbagai bidang, misalnya dengan kalangan pejabat,
diperkirakan lebih mudah terjadi. Tapi juga lebih mungkin karena
kegiatan kewartaanan laki-laki yang mencapai usia 37 ahun ini,
didukung oleh kepribadian tertentu -- yang menyebabkan
perhitungan yang dibuat terhadapnya lebih dari terhadap seorang
"tukang lapor".
Ia pernah agak lama "berdiaman" dengan Gubernur -- akibat salah
satu berita manipulasi yang disiarkannya. Di segi lain, seperti
yang dinyatakan Gubernur Tambunan sendiri pada upacara
pemakaman, pada malam menjelang kepergiannya ke Toli-toli
bersama isteri - yang terbukti untuk terakhir kalinya Husni
masih sempat bertemu dengan kepala daerah itu seakan-akan untuk
perpisahan. Seorang kawannya menceritakan bahwa pertemuan itu
memakan waktu lima jam lamanya. Sehubungan dengan itu beberapa
hari sebelumnya ia juga telah mengirim kawat -- juga yang
terakhir -- kepada saudara kandungnya di Toli-toli:
ATAS PERMINTAAN PAK GUBERNUR SAYA BERSAMA SEKPRINYA HARI SELASA
KETOLIS UNTUK CEK SITUASI CENGKEH DAN KEMBALI BESOKNYA RABU TTK
HARAP TOLONG SEDIAKAN MAKANAN SIANG SEMUANYA DARI IKAN LAUT
TTK... TURUT ROS DAN KEMUNGKINAN AKAN TINGGAL SEMINGGU TTKHBS
Ia memang tidak sampai ke Toli-toli dan makan ikan laut di
tengah keluarga. Juga isterinya, Rosa Marunduh, yang berniat
bertemu dengan mertuanya untuk pertama kali sesudah 12 tahun
menikah. Tapi sebagai layaknya wartawan daerah yang baik,
keterlibatannya dengan tanah tempat ia dilahirkan bukan
semata-mata hanya dalam masalah cengkeh, atau kopra, misalnya.
Husni sendiri memang juga dikenal punya bakat pengusaha. Tapi ia
tampaknya tidak bisa menimbun kekayaan dari usahanya. Rumah yang
dia tempati bersama isterinya adalah hadiah seorang teman dari
kecil yang menyatakan kagum kepadanya.
Seorang Ibu
Lebih dari hanya berita-berita yang 'aktuil', Husni adalah
salah-satu dari hanya sedikit wartawan daerah yang gemar sekali
berjalan ke pelosok. Sulawesi Tengah, dengan gunung-gunung,
flora dan faunanya serta peninggalan kesejarahan yang belum
banyak digali, adalah seorang ibu yang baru sedikit
diperhatikan. Dan ia, laki-laki yang tetap saja berambut ikal,
dengan mata cerdas namun sejuk dan muka sedikit bulat seperti
kanak-kanak yang dahulu bisa dijumpai di pantai Toli-toli (lihat
box), memang banyak memberikan gambaran dirinya sebagai
'wartawan berkuda di bukit-bukit'.
Dengan kamera lengkap dengan lensa tele tergantung di lehernya
(salah satu kamera tersebut berikut lensa telenya hilang dalam
kecelakaan kemarin), ia merekam banyak sekali panorama yang
masih prima dan sudut-sudut kecil kehidupan penduduk pedalaman
yang bersahaja. Ia terhitung berbakat dalam bidang ini. Sebagian
dari hasilnya yang dikumpulkan di rumah dalam koporkopor,
dikirirn ke majalah ini. Salahsatu yang terbagus selain
dibesarkan dan dipasang di kantor di Jakarta juga dikirim ke
Tokyo untuk mengikuti lomba yang diadakan satu badan PBB yang
mengambil tema 'Vehicle and People in Asia' Sebagian lagi
dikumpulkan sebagai dokumentasi di 'Balai Wartawan Husni Alatas'
di Palu.
Selain tulisan-tulisannya yang sudah disiarkan, juga di majalah
ini, hasratnya yang besar - dan yang tidak terkabul - adalah
menerbitkan hasil-hasil rekamannya secara lebih serius, mungkin
juga berbentuk sebuah buku, mengenai beberapa aspek kesejarahan
yang diangkut dari pedalaman. Zainuddin Abdul Rauf, Ketua PWI
Palu, menyebut judul yang pernah dikatakan Almarhum kepadanya
sebagai: 'Menyusuri Jejak Sarjana-Sarjana Barat'.
Mungkin agak bombastis. Tapi seperti juga cukup banyak anak muda
lain dewasa ini di tanah air, yang merasa sangat berakar di
daerah, ada semangat yang sehat untuk mencek apa saja yang
pernah dikatakan orang Barat tentang 'ibu' mereka dahulu.
Setidak-tidaknya sebagai bahan-bahan pendahuluan untuk
penyelidikan lebih akurat. Husni misalnya memegang beberapa kopi
dari tulisan sarjana Kruyt. Dengan berkuda dan berjalan kaki
berminggu-minggu lamanya, ia mengunjungi daerah-daerah seperti
Lore, Pendolo atau Kulawi. Ia juga mencari sumber-sumber lokal
yang tua yang bisa menceritakan sebagian dari sejarah hidup Dr.
N.A. Adriani. Hasratnya yang besar untuk mengunjungi Kantefu,
pusat misi Kristen di Sulawesi Tengah sejak 1906, sayang sekali
tidak terkabul.
Dan sebagai layaknya orang muda yang menangkap semangat sarjana
asing, Husni -- seperti juga banyak yang lain agaknya tak
terlalu bisa dipersalahkan bila ia menyukai tradisi dan
mengharapnya "tetap menurut aslinya". Satu hari, ketika di satu
tempat di Kulawi dilihatnya ada listrik, ia mengeluh:
"Seharusnya barang itu tak ada di sini. Sebentar lagi ada kapal
terbang pula, dan kehidupan budaya yang asli dan tenteram
seperti ini akan musnah" . . .
Gereja Katolik
Dan begitu turun dari gunung, teman-temannya akan melihatnya di
Balai Wartawan Palu. Di sini laki-laki yang pada dasarnya
pendiam ini (ia misalnya tidak pernah menceritakan sesuatu
tentang kehidupan pribadinya) akan membuat beberapa seloroh.
Kawan-kawannya akan bisa menceritakan sebagian dari selorohnya
yang khas. Ketika Gubernur satu hari bertanya kepada para
wartawan misalnya, apa yang akan mereka pilih pada pemilu
mendatang, Husni menjawab dengan menceritakan pengalamannya
bertemu dengan seorang pendeta di sebuah gereja kecil di
pedalaman. Mereka bicara panjang lebar, lalu sang wartawan
bertanya apa yang akan dipilih bapa pendeta. "Jadi karena saya
kagum pada orang itu saya fikir saya akan mengikuti jejaknya.
Dia itu . . . "
Seorang Kawan dekat yang banyak memegang rahasianya juga bisa
menceritakan kejadian di Ujungpandang, waktu sang wartawan
berada dalam kebimbangan untuk menikahi seorang wanita (sebagai
isterinya yang ketiga!). Sahabatnya yang lulusan IAIN Surabaya
menolak waktu dimintainya nasihat. "Percurna. Ente tidak pernah
pakai nasihat orang", katanya. Husni dengan segera mencari
mobil, dan membawa teman ini keliling kota - dan berhenti di
depan sebuah gereja Katolik. "Sekarang kau katakan kepadaku",
katanya. "Kau kasih nasehat aku sebagai saudara seagama, atau
aku pergi ke gereja itu menemui pastor" . . .
Balai Wartawan itu, yang sekarang ini diresmikan dengan nama
Husni Alatas, dibangun tahun 1974 di tanah seluas 30 x 30 m dari
Bupati Donggala H. Larnadjido. Menarik bahwa di sebuah kota
kecil seperti Palu, terdapat sebuah tempat yang biasa diramaikan
oleh 30 orang pers (sebelum dikurangi H.Z. Abidin yang meninggal
tiga bulan lalu dan Husni sendiri). Sebagian besar merupakan
koresponden dan pembantu penerbitan luar daerah, sebab di Palu,
hanya ada "surat kabar harian" yang terbit seminggu sekali,
stensilan. Ini tidak urung merupakan pusat kehidupan
potensi-potensi intelektuil daerah dan untuk segi-segi
pemikiran, atau hal-hal yang 'lebih dari sekedar pemberitaan'
itu, rekan-rekan di sini mengakui bahwa Husni-lah yang merupakan
"pimpinan".
Tapi ke balai itu juga anak tertua keluarga Alatas ini akan
datang, bila pendaman-pendaman yang dikandungnya selama ini,
yang tidak mungkin dia siarkan secara tertulis, dirasa harus
diledakkan. Ia akan bicara dengan tangkas dan meminta pendapat
kawan-kawan, memaki dan menggigit-gigit filter rokoknya sampai
hancur, dan bertanya: "Ada spion-spion Melayu di sini?" Kemudian
pergi setelah berkata: "Aku belum ingin menjadi gila".
"Mari Pulang"
Dan kalimat yang seperti itu juga diucapkannya waktu ia
menghadiri sebuah latihan sandiwara di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, yang menurut penilaiannya "keras sekali". "Saya kira
selama ini kami di daerah sudah keras", katanya. "Mari pulang.
Kalau aku nanti ketularan keberanian seperti ini, di sana nanti
aku jadi gila".
Tetapi Husni tidak gila. Laki-laki yang mengaku sendiri
mengagumi Mochtar Lubis ini, pada dasarnya seorang religius
juga. Ia sendiri mengaku bahwa dalam hal agama, di mana
fikirannya lebih dekat kepada praktek-praktek kalangan
Muhammadiyah, ia mungkin bahkan lebih fanatik. Di samping itu
orang ini tetap bisa menulis dengan baik. Tahun lalu bahkan
mendapat piagam penghargaan dari pemerintah daerah untuk karya
jurnalistik terbaik (dinilai dari berbagai tulisannya, terutama
di majalah ini, selama setahun), bersama tiga orang rekannya.
Tahun ini ia juga ditetapkan mendapat trophy Gubernur untuk
'penulis artikel dari majalah TEMPO', di samping piagam yang
didapatnya bersama 6 rekannya Trophy itu memang tidak sempat
diterimanya. Tapi Gubernur Tambunan, yang pada upacara pemakaman
itu mengungkapkan rasa penghargaan atas "jasajasa Almarhum dalam
pembangunan daerah Sulawesi Tengah", memutuskan bersama-sama PWI
Palu untuk menamakan hadiah tersebut 'Trophy Husni Alatas'. Dan
diberikan setiap 13 April hari ulang tahun Propinsi.
Seperti kata Gubernur di hari yang penuh isak-tangis itu:
"Saudara Husni Alatas sudah tidak bersama kita lagi, dan saya
sendiri merasa sangat kehilangan. Tetapi kehendak Tuhan
selamanya adalah yang paling baik, juga untuk Saudara Alatas dan
keluarganya. Dengan kesadaran seperti inilah, mari kita
memberangkatkan saudara kita ini ke sisi Tuhan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini