Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Wartawan Berkuda Di Bukit-Bukit

Husni Alatas ternyata bukan hanya seorang wartawan. Ia juga tokoh masyarakat terpandang di daerahnya. TEMPO menulis kisah, khususnya tentang kehidupannya sebagai jurnalis.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kota sebesar Palu, seribu orang yang mengantar jenazah pada upacara pemakaman merupakan jumiah yang besar. Tapi tentu bukan karena itu bila Husni-Alatas, yang jenazahnya dimakamkan di hari Sabtu 16 April yang lalu, merupakan seorang tokoh. Di masa-masa ini barangkali tidak begitu banyak wartawan khususnya di daerah, yang selain berhasil membuktikan dirinya sebagai jurnalis yang berkwalitas juga ternyata merupakan "tokoh" yang banyak dipandang orang. Mungkin karena Palu hanya sebuah kota kecil, sehingga hubungan antara orang-orang yang menonjol di berbagai bidang, misalnya dengan kalangan pejabat, diperkirakan lebih mudah terjadi. Tapi juga lebih mungkin karena kegiatan kewartaanan laki-laki yang mencapai usia 37 ahun ini, didukung oleh kepribadian tertentu -- yang menyebabkan perhitungan yang dibuat terhadapnya lebih dari terhadap seorang "tukang lapor". Ia pernah agak lama "berdiaman" dengan Gubernur -- akibat salah satu berita manipulasi yang disiarkannya. Di segi lain, seperti yang dinyatakan Gubernur Tambunan sendiri pada upacara pemakaman, pada malam menjelang kepergiannya ke Toli-toli bersama isteri - yang terbukti untuk terakhir kalinya Husni masih sempat bertemu dengan kepala daerah itu seakan-akan untuk perpisahan. Seorang kawannya menceritakan bahwa pertemuan itu memakan waktu lima jam lamanya. Sehubungan dengan itu beberapa hari sebelumnya ia juga telah mengirim kawat -- juga yang terakhir -- kepada saudara kandungnya di Toli-toli: ATAS PERMINTAAN PAK GUBERNUR SAYA BERSAMA SEKPRINYA HARI SELASA KETOLIS UNTUK CEK SITUASI CENGKEH DAN KEMBALI BESOKNYA RABU TTK HARAP TOLONG SEDIAKAN MAKANAN SIANG SEMUANYA DARI IKAN LAUT TTK... TURUT ROS DAN KEMUNGKINAN AKAN TINGGAL SEMINGGU TTKHBS Ia memang tidak sampai ke Toli-toli dan makan ikan laut di tengah keluarga. Juga isterinya, Rosa Marunduh, yang berniat bertemu dengan mertuanya untuk pertama kali sesudah 12 tahun menikah. Tapi sebagai layaknya wartawan daerah yang baik, keterlibatannya dengan tanah tempat ia dilahirkan bukan semata-mata hanya dalam masalah cengkeh, atau kopra, misalnya. Husni sendiri memang juga dikenal punya bakat pengusaha. Tapi ia tampaknya tidak bisa menimbun kekayaan dari usahanya. Rumah yang dia tempati bersama isterinya adalah hadiah seorang teman dari kecil yang menyatakan kagum kepadanya. Seorang Ibu Lebih dari hanya berita-berita yang 'aktuil', Husni adalah salah-satu dari hanya sedikit wartawan daerah yang gemar sekali berjalan ke pelosok. Sulawesi Tengah, dengan gunung-gunung, flora dan faunanya serta peninggalan kesejarahan yang belum banyak digali, adalah seorang ibu yang baru sedikit diperhatikan. Dan ia, laki-laki yang tetap saja berambut ikal, dengan mata cerdas namun sejuk dan muka sedikit bulat seperti kanak-kanak yang dahulu bisa dijumpai di pantai Toli-toli (lihat box), memang banyak memberikan gambaran dirinya sebagai 'wartawan berkuda di bukit-bukit'. Dengan kamera lengkap dengan lensa tele tergantung di lehernya (salah satu kamera tersebut berikut lensa telenya hilang dalam kecelakaan kemarin), ia merekam banyak sekali panorama yang masih prima dan sudut-sudut kecil kehidupan penduduk pedalaman yang bersahaja. Ia terhitung berbakat dalam bidang ini. Sebagian dari hasilnya yang dikumpulkan di rumah dalam koporkopor, dikirirn ke majalah ini. Salahsatu yang terbagus selain dibesarkan dan dipasang di kantor di Jakarta juga dikirim ke Tokyo untuk mengikuti lomba yang diadakan satu badan PBB yang mengambil tema 'Vehicle and People in Asia' Sebagian lagi dikumpulkan sebagai dokumentasi di 'Balai Wartawan Husni Alatas' di Palu. Selain tulisan-tulisannya yang sudah disiarkan, juga di majalah ini, hasratnya yang besar - dan yang tidak terkabul - adalah menerbitkan hasil-hasil rekamannya secara lebih serius, mungkin juga berbentuk sebuah buku, mengenai beberapa aspek kesejarahan yang diangkut dari pedalaman. Zainuddin Abdul Rauf, Ketua PWI Palu, menyebut judul yang pernah dikatakan Almarhum kepadanya sebagai: 'Menyusuri Jejak Sarjana-Sarjana Barat'. Mungkin agak bombastis. Tapi seperti juga cukup banyak anak muda lain dewasa ini di tanah air, yang merasa sangat berakar di daerah, ada semangat yang sehat untuk mencek apa saja yang pernah dikatakan orang Barat tentang 'ibu' mereka dahulu. Setidak-tidaknya sebagai bahan-bahan pendahuluan untuk penyelidikan lebih akurat. Husni misalnya memegang beberapa kopi dari tulisan sarjana Kruyt. Dengan berkuda dan berjalan kaki berminggu-minggu lamanya, ia mengunjungi daerah-daerah seperti Lore, Pendolo atau Kulawi. Ia juga mencari sumber-sumber lokal yang tua yang bisa menceritakan sebagian dari sejarah hidup Dr. N.A. Adriani. Hasratnya yang besar untuk mengunjungi Kantefu, pusat misi Kristen di Sulawesi Tengah sejak 1906, sayang sekali tidak terkabul. Dan sebagai layaknya orang muda yang menangkap semangat sarjana asing, Husni -- seperti juga banyak yang lain agaknya tak terlalu bisa dipersalahkan bila ia menyukai tradisi dan mengharapnya "tetap menurut aslinya". Satu hari, ketika di satu tempat di Kulawi dilihatnya ada listrik, ia mengeluh: "Seharusnya barang itu tak ada di sini. Sebentar lagi ada kapal terbang pula, dan kehidupan budaya yang asli dan tenteram seperti ini akan musnah" . . . Gereja Katolik Dan begitu turun dari gunung, teman-temannya akan melihatnya di Balai Wartawan Palu. Di sini laki-laki yang pada dasarnya pendiam ini (ia misalnya tidak pernah menceritakan sesuatu tentang kehidupan pribadinya) akan membuat beberapa seloroh. Kawan-kawannya akan bisa menceritakan sebagian dari selorohnya yang khas. Ketika Gubernur satu hari bertanya kepada para wartawan misalnya, apa yang akan mereka pilih pada pemilu mendatang, Husni menjawab dengan menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang pendeta di sebuah gereja kecil di pedalaman. Mereka bicara panjang lebar, lalu sang wartawan bertanya apa yang akan dipilih bapa pendeta. "Jadi karena saya kagum pada orang itu saya fikir saya akan mengikuti jejaknya. Dia itu . . . " Seorang Kawan dekat yang banyak memegang rahasianya juga bisa menceritakan kejadian di Ujungpandang, waktu sang wartawan berada dalam kebimbangan untuk menikahi seorang wanita (sebagai isterinya yang ketiga!). Sahabatnya yang lulusan IAIN Surabaya menolak waktu dimintainya nasihat. "Percurna. Ente tidak pernah pakai nasihat orang", katanya. Husni dengan segera mencari mobil, dan membawa teman ini keliling kota - dan berhenti di depan sebuah gereja Katolik. "Sekarang kau katakan kepadaku", katanya. "Kau kasih nasehat aku sebagai saudara seagama, atau aku pergi ke gereja itu menemui pastor" . . . Balai Wartawan itu, yang sekarang ini diresmikan dengan nama Husni Alatas, dibangun tahun 1974 di tanah seluas 30 x 30 m dari Bupati Donggala H. Larnadjido. Menarik bahwa di sebuah kota kecil seperti Palu, terdapat sebuah tempat yang biasa diramaikan oleh 30 orang pers (sebelum dikurangi H.Z. Abidin yang meninggal tiga bulan lalu dan Husni sendiri). Sebagian besar merupakan koresponden dan pembantu penerbitan luar daerah, sebab di Palu, hanya ada "surat kabar harian" yang terbit seminggu sekali, stensilan. Ini tidak urung merupakan pusat kehidupan potensi-potensi intelektuil daerah dan untuk segi-segi pemikiran, atau hal-hal yang 'lebih dari sekedar pemberitaan' itu, rekan-rekan di sini mengakui bahwa Husni-lah yang merupakan "pimpinan". Tapi ke balai itu juga anak tertua keluarga Alatas ini akan datang, bila pendaman-pendaman yang dikandungnya selama ini, yang tidak mungkin dia siarkan secara tertulis, dirasa harus diledakkan. Ia akan bicara dengan tangkas dan meminta pendapat kawan-kawan, memaki dan menggigit-gigit filter rokoknya sampai hancur, dan bertanya: "Ada spion-spion Melayu di sini?" Kemudian pergi setelah berkata: "Aku belum ingin menjadi gila". "Mari Pulang" Dan kalimat yang seperti itu juga diucapkannya waktu ia menghadiri sebuah latihan sandiwara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang menurut penilaiannya "keras sekali". "Saya kira selama ini kami di daerah sudah keras", katanya. "Mari pulang. Kalau aku nanti ketularan keberanian seperti ini, di sana nanti aku jadi gila". Tetapi Husni tidak gila. Laki-laki yang mengaku sendiri mengagumi Mochtar Lubis ini, pada dasarnya seorang religius juga. Ia sendiri mengaku bahwa dalam hal agama, di mana fikirannya lebih dekat kepada praktek-praktek kalangan Muhammadiyah, ia mungkin bahkan lebih fanatik. Di samping itu orang ini tetap bisa menulis dengan baik. Tahun lalu bahkan mendapat piagam penghargaan dari pemerintah daerah untuk karya jurnalistik terbaik (dinilai dari berbagai tulisannya, terutama di majalah ini, selama setahun), bersama tiga orang rekannya. Tahun ini ia juga ditetapkan mendapat trophy Gubernur untuk 'penulis artikel dari majalah TEMPO', di samping piagam yang didapatnya bersama 6 rekannya Trophy itu memang tidak sempat diterimanya. Tapi Gubernur Tambunan, yang pada upacara pemakaman itu mengungkapkan rasa penghargaan atas "jasajasa Almarhum dalam pembangunan daerah Sulawesi Tengah", memutuskan bersama-sama PWI Palu untuk menamakan hadiah tersebut 'Trophy Husni Alatas'. Dan diberikan setiap 13 April hari ulang tahun Propinsi. Seperti kata Gubernur di hari yang penuh isak-tangis itu: "Saudara Husni Alatas sudah tidak bersama kita lagi, dan saya sendiri merasa sangat kehilangan. Tetapi kehendak Tuhan selamanya adalah yang paling baik, juga untuk Saudara Alatas dan keluarganya. Dengan kesadaran seperti inilah, mari kita memberangkatkan saudara kita ini ke sisi Tuhan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus