GARIS pantai di kota Toli-Toli sering menyaksikan seorang anak
dengan celana pendek lari-lari kecil di sore hari. Garis pantai
itu membujur di belakang rumah ayah Husni, Abdurrahman Ahmad
Alatas. Pulang sekolah biasanya Alatas kecil ini akan
duduk-duduk di sini. Tidak seperti anak-anak lain, ia akan
membaca koran-koran sisa yang dibaca ayah pagi harinya.
Itu dilakukannya di sekitar tahu 1950. Husni sendiri lahir 8
Maret 1940, anak tertua Alatas dari tujuh bersaudara. Dari
ayahnya yang keturunan Arab ia memang terbukti di belakang hari
mewarisi semangat seorang pengusaha, dan kecerdasan yang dekat
hubungannya dengan politik. Ayahnya sendiri menjabat sebagai
Ketua Masyumi Cabang Toli-toli di saat-saat awal berdirinya
partai tersebut. Dan sebagai orang pergerakan yang antara lain
memimpin PKM (Persatuan Kaum Muslimin), organisasi lokal yang
diam-diam membantu PSI tahun-tahun 46-47 Abdurrahman pernah
ditahan di tangsi militer Toli-toli, Manado, Tomohon. Ia pun
juga, sambil menceritakan masa kecil Husni, masih bisa mengenang
saat-saat ketika ia mendirikan tugu proklamasi di Manado.
Waktu itu Husni memang masih sangat muda. Meski begitu, pada
tahun 1954 - dalam usia 14 tahun, atau 23 tahun sebelum ia gugur
di salah satu sudut negeri yang dicintainya -- anak belia yang
pendiam itu mulai berusaha menerbitkan koran mingguan. Ia sering
datang diam-diam ke kantor abah (ayah)-nya yang punya NV - dan
di sana mengetik-ngetik apa saja. Demikianlah ia menerbitkan
koran kecil, Waspada namanya - stensilan. Tentu saja ia pemimpin
redaksinya, reporternya, dan lopernya sekalian.
Apa Yang Di Dinding?
Semangat seperti itulah yang kemudian membawanya ke "profesi"
yang serupa di Ujungpandang, tiga tahun kemudian. Ketika ia
meninggalkan rumah ayahnya di Kampung Malosong untuk melanjutkan
sekolah, ia tiba-tiba saja didapati sebagai pembantu redaksi
harian-harian Tinjauan dan Kurit di kota ini. Kedua suratkabar
yang diketahui berafiliasi dengan PSI ini, rupanya turut
membentuk pandangan hidupnya yang muda. Tetapi bahkan sebelum
itu, seperti bisa diceritakan ayahnya, pada waktu ramai-ramainya
kampanye pemilu 1955, sang ayah yang tokoh Masjumi ini masuk
kamar puteranya yang sulung. Apa yang dilihatnya di dinding?
Gambar PSI...
Tahun 1959 Husni bisa didapati sebagai wartawan senior Pedoman
Rakyat. Di harian pagi itu namanya tercantum sebagai Redaktur I.
Bekerja di sini cukup lama -- sampai 1967 -- tahun 1968 ia
bersama rekan-rekannya H.Z. Abidin (alm), Husin Dochmi, Hasan
Assegaf dan Andi Mansoer Nurdin menerbitkan Sulteng Post di
Palu. Dan empat tahun kemudian melewati masa-masa kegiatannya
sebagai pembantu beberapa koran Jakarta, namanya tercatat
sebagai Pembantu Tetap majalah TEMPO, dan kemudian Koresponden.
Sipil
Gerbang perkawinan dimasukinya pada usia cukup muda, 22 tahun
-1962. Ia menikahi seorang saudara misannya sendiri dari fam
Alatas di Toli-toli. Setelah tiga tahun tanpa seorang putera,
tahun 1965 ia meresmikan perkenalannya dengan Rosa dari keluarga
Marunduh di Palu, lewat perkawinan sipil. Dan kemudian, di
Ujungpandang, ia ulangi perkawinan itu dengan nikah secara
Islam.
Tapi di kota ini juga, di mana dahulu Husni menyelesaikan SMP
maupun SMA-nya (kedua-duanya sekolah Katolik), Husni yang juga
sibuk berdagang untuk nafkah keluarganya - dan waktu itu sedang
mengurus semen berkenalan dengan wanita lain, juga seorang
Protestan yang kemudian diajaknya masuk Islam dan dikawininya
secara Islam. Dari Ujungpandang ini dia mendapat seorang anak
laki-laki, Farhan namanya, yang merupakan adik dari dua anak
terdahulu dari Mama Rosa: Putriani Fransisca dan Arif Budiman.
Ia kemudian bercerai dengan isterinya pertama maupun yang
ketiga, dan melalui beberapa ketegangan, hidup rukun dengan mama
dari keluarga Marunduh saja.
Maka terfikirlah pada suami yang romantis ini, bahwa sekaranglah
masanya membawa isterinya ke rumah keluarga ayahnya di
Toli-toli. Tetapi kabut di gugusan gunung-gunung itu yang
menurut banyak orang belum semuanya tercatat dengan akurat dalam
peta - memaksa pesawatnya menghantam lereng. Pesawat itu
menyeruak pohon-pohon yang lebat, putus sayapnya dan patah tiga.
Husni berteriak meminta tolong. Isterinya terlempar ke luar,
sementara ia sendiri terbentur di kepala dan terjepit di kaki -
dan tinggal dalam keadaan begitu persis di patahan tubuh
pesawat, sampai ia menutup matanya.
Masih Berpesan
Baik dr. Dwiwahyono, maupun Ny. Husni yang kini terbaring di
rumah sakit Palu - seorang wanita yang manis, bersuara lembut
namun tegas dan kelihatan punya wibawa, yang selama setengah
bulan dengan teguh mendampingi jenazah sang suami siang-malam di
bukit yang lebat itu - menceritakan bahwa hanya tiga atau empat
kali Almarhum mengaduh. Dengan kaki yang terjepit dan terputar,
dan kepala yang terbentur dahsyat, ia hanya masih sempat
berpesan, antara lain tentang hartanya yang sepertiga agar
diberikan kepada anak-anak yatim. Ia memanggil nama
anak-anaknya, tapi yang terutama adalah anaknya yang kedua:
"Budi, Budi . . .".
Sang isteri sendiri berusaha menggapai tangannya pada saat ajal,
menyambut tangan Husni yang terulur, tapi rupanya mereka memang
harus dipisahkan: tangan itu tidak bersambung. Berbeda dengan
seorang korban lain, yang juga meninggal, yang mengaduh dan
menjerit-jerit, menurut mereka berdua dalam keadaan tersiksa itu
Husni bersikap tenang sekali: membaca takbir beberapa kali,
melafazkan syahadat dengan lengkap. Dan pergi.
"Dan hari-hari sesudahnya, dengan jenazah Husni di samping
saya", kata Rosa, "saya mendengar bunyi lonceng . . . bunyi
lonceng di mana-mana. Pak Dwi tidak mendengarnya, tapi dia
menganjurkan supaya saya tetap tawakal". Sahut tantenya yang
menjenguknya di rumah sakit itu: "Waktu itu kami di Palu
semuanya terus-menerus sembahyang" . . .
Seorang guru di kota propinsi itu, berkata: "Ada ketentuan Tuhan
tentang mati syahid dan husnul-khatimah (happy ending Red). Dan
salah satu contohnya adalah Husni itu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini