Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Ada Ketentuan Tuhan Mengenai ...

Dalam usia belasan tahun Husni sudah memiliki semangat yang keras dalam bidang pers. Ia, aktif membantu redaksi harian tinjauan dan kurir. Kemudian menjadi wartawan senior pedoman rakyat.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARIS pantai di kota Toli-Toli sering menyaksikan seorang anak dengan celana pendek lari-lari kecil di sore hari. Garis pantai itu membujur di belakang rumah ayah Husni, Abdurrahman Ahmad Alatas. Pulang sekolah biasanya Alatas kecil ini akan duduk-duduk di sini. Tidak seperti anak-anak lain, ia akan membaca koran-koran sisa yang dibaca ayah pagi harinya. Itu dilakukannya di sekitar tahu 1950. Husni sendiri lahir 8 Maret 1940, anak tertua Alatas dari tujuh bersaudara. Dari ayahnya yang keturunan Arab ia memang terbukti di belakang hari mewarisi semangat seorang pengusaha, dan kecerdasan yang dekat hubungannya dengan politik. Ayahnya sendiri menjabat sebagai Ketua Masyumi Cabang Toli-toli di saat-saat awal berdirinya partai tersebut. Dan sebagai orang pergerakan yang antara lain memimpin PKM (Persatuan Kaum Muslimin), organisasi lokal yang diam-diam membantu PSI tahun-tahun 46-47 Abdurrahman pernah ditahan di tangsi militer Toli-toli, Manado, Tomohon. Ia pun juga, sambil menceritakan masa kecil Husni, masih bisa mengenang saat-saat ketika ia mendirikan tugu proklamasi di Manado. Waktu itu Husni memang masih sangat muda. Meski begitu, pada tahun 1954 - dalam usia 14 tahun, atau 23 tahun sebelum ia gugur di salah satu sudut negeri yang dicintainya -- anak belia yang pendiam itu mulai berusaha menerbitkan koran mingguan. Ia sering datang diam-diam ke kantor abah (ayah)-nya yang punya NV - dan di sana mengetik-ngetik apa saja. Demikianlah ia menerbitkan koran kecil, Waspada namanya - stensilan. Tentu saja ia pemimpin redaksinya, reporternya, dan lopernya sekalian. Apa Yang Di Dinding? Semangat seperti itulah yang kemudian membawanya ke "profesi" yang serupa di Ujungpandang, tiga tahun kemudian. Ketika ia meninggalkan rumah ayahnya di Kampung Malosong untuk melanjutkan sekolah, ia tiba-tiba saja didapati sebagai pembantu redaksi harian-harian Tinjauan dan Kurit di kota ini. Kedua suratkabar yang diketahui berafiliasi dengan PSI ini, rupanya turut membentuk pandangan hidupnya yang muda. Tetapi bahkan sebelum itu, seperti bisa diceritakan ayahnya, pada waktu ramai-ramainya kampanye pemilu 1955, sang ayah yang tokoh Masjumi ini masuk kamar puteranya yang sulung. Apa yang dilihatnya di dinding? Gambar PSI... Tahun 1959 Husni bisa didapati sebagai wartawan senior Pedoman Rakyat. Di harian pagi itu namanya tercantum sebagai Redaktur I. Bekerja di sini cukup lama -- sampai 1967 -- tahun 1968 ia bersama rekan-rekannya H.Z. Abidin (alm), Husin Dochmi, Hasan Assegaf dan Andi Mansoer Nurdin menerbitkan Sulteng Post di Palu. Dan empat tahun kemudian melewati masa-masa kegiatannya sebagai pembantu beberapa koran Jakarta, namanya tercatat sebagai Pembantu Tetap majalah TEMPO, dan kemudian Koresponden. Sipil Gerbang perkawinan dimasukinya pada usia cukup muda, 22 tahun -1962. Ia menikahi seorang saudara misannya sendiri dari fam Alatas di Toli-toli. Setelah tiga tahun tanpa seorang putera, tahun 1965 ia meresmikan perkenalannya dengan Rosa dari keluarga Marunduh di Palu, lewat perkawinan sipil. Dan kemudian, di Ujungpandang, ia ulangi perkawinan itu dengan nikah secara Islam. Tapi di kota ini juga, di mana dahulu Husni menyelesaikan SMP maupun SMA-nya (kedua-duanya sekolah Katolik), Husni yang juga sibuk berdagang untuk nafkah keluarganya - dan waktu itu sedang mengurus semen berkenalan dengan wanita lain, juga seorang Protestan yang kemudian diajaknya masuk Islam dan dikawininya secara Islam. Dari Ujungpandang ini dia mendapat seorang anak laki-laki, Farhan namanya, yang merupakan adik dari dua anak terdahulu dari Mama Rosa: Putriani Fransisca dan Arif Budiman. Ia kemudian bercerai dengan isterinya pertama maupun yang ketiga, dan melalui beberapa ketegangan, hidup rukun dengan mama dari keluarga Marunduh saja. Maka terfikirlah pada suami yang romantis ini, bahwa sekaranglah masanya membawa isterinya ke rumah keluarga ayahnya di Toli-toli. Tetapi kabut di gugusan gunung-gunung itu yang menurut banyak orang belum semuanya tercatat dengan akurat dalam peta - memaksa pesawatnya menghantam lereng. Pesawat itu menyeruak pohon-pohon yang lebat, putus sayapnya dan patah tiga. Husni berteriak meminta tolong. Isterinya terlempar ke luar, sementara ia sendiri terbentur di kepala dan terjepit di kaki - dan tinggal dalam keadaan begitu persis di patahan tubuh pesawat, sampai ia menutup matanya. Masih Berpesan Baik dr. Dwiwahyono, maupun Ny. Husni yang kini terbaring di rumah sakit Palu - seorang wanita yang manis, bersuara lembut namun tegas dan kelihatan punya wibawa, yang selama setengah bulan dengan teguh mendampingi jenazah sang suami siang-malam di bukit yang lebat itu - menceritakan bahwa hanya tiga atau empat kali Almarhum mengaduh. Dengan kaki yang terjepit dan terputar, dan kepala yang terbentur dahsyat, ia hanya masih sempat berpesan, antara lain tentang hartanya yang sepertiga agar diberikan kepada anak-anak yatim. Ia memanggil nama anak-anaknya, tapi yang terutama adalah anaknya yang kedua: "Budi, Budi . . .". Sang isteri sendiri berusaha menggapai tangannya pada saat ajal, menyambut tangan Husni yang terulur, tapi rupanya mereka memang harus dipisahkan: tangan itu tidak bersambung. Berbeda dengan seorang korban lain, yang juga meninggal, yang mengaduh dan menjerit-jerit, menurut mereka berdua dalam keadaan tersiksa itu Husni bersikap tenang sekali: membaca takbir beberapa kali, melafazkan syahadat dengan lengkap. Dan pergi. "Dan hari-hari sesudahnya, dengan jenazah Husni di samping saya", kata Rosa, "saya mendengar bunyi lonceng . . . bunyi lonceng di mana-mana. Pak Dwi tidak mendengarnya, tapi dia menganjurkan supaya saya tetap tawakal". Sahut tantenya yang menjenguknya di rumah sakit itu: "Waktu itu kami di Palu semuanya terus-menerus sembahyang" . . . Seorang guru di kota propinsi itu, berkata: "Ada ketentuan Tuhan tentang mati syahid dan husnul-khatimah (happy ending Red). Dan salah satu contohnya adalah Husni itu".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus