Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rahasia keperkasaan sang naga

Cina mengungguli berbagai cabang atlet dalam asean games di beijing. setiap hari rata-rata meraih 20 medali. di cina olah raga sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah. banyak universitas olah raga.

6 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Rahasia keperkasaan sang naga
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
HUJAN emas berjatuhan di Beijing, tapi atlet-atlet Indonesia hanya bisa menangkap perunggu dan perak. Emas itu agaknya ditujukan untuk atlet tuan rumah, dan beberapa saja dibagikan ke atlet negara lain. Coba bayangkan, setiap hari rata-rata 20 medali emas diterima atlet Cina di Asian Games (AG) Beijing ini. Betapa perkasanya atlet Cina, contohnya bisa dilihat Rabu pekan lalu pada kejuaraan dayung. Dari 14 nomor dayung yang digelar, semua medali emasnya diborong pendayung Cina. Negeri ini sudah tak bisa dikejar lagi sebagai juara AG 1990. Targetnya, 140 medali emas, agaknya, tak bakal sulit dicapai. Bahkan sangat mungkin dilampaui. Dengan perolehan medali emas sampai akhir pekan lalu, Cina meninggalkan Jepang dan Korea Selatan dengan selisih lebih dari 80 medali. Di AG Seoul 1986, Cina keluar sebagai juara umum setelah memanen 94 emas, ditempel ketat oleh Korea Selatan dengan 93 emas. Tapi kini Cina terlalu perkasa. Di banyak cabang atlet Cina unggul. Pesenam Li Jing dan Chen Cuiting masingmasing sudah menggondol tiga medali emas. Di cabang angkat besi, ada Ha Ying Qiang yang menumbangkan rekor AG. Dan di cabang atletik, atlet Cina juga mendominasi. Di nomor lari 10.000 m putri, contohnya, medali emas direbut Zhon~ Huan Di dan perak ju~ga disikat atlet Cina lainnya, Wang Xiu Ting. Namun, ada saja cabang bergengsi yang lolos dari sergapan sang Naga Merah. Gelar manusia tercepat Asia, sebagai misal, akhirnya direbut Talal Mansoor dari Qatar setelah menaklukkan andalan Cina, Zheng Chen, pelari Sri Lanka Sriyantha Dissanayake, dan Mardi Lestari dari Indonesia. Talal Mansoor padahal "cuma" berlari 10,30 detik di nomor 100 meter itu, masih jauh dari rekor tercepat Asia yang diciptakan Talal di Kejuaraan Militer di Helsinki, dua bulan lalu. Akan halnya Mardi, melengkapi kesialan Indonesia, mencatat waktu yang sangat mengecewakan, 10,64 detik, jauh dari waktu terbaiknya yang 10,20 detik. Talal kemudian merayakan kemenangannya dengan mengitari stadion seraya melambaikan bendera Kuwait -- suatu bentuk solidaritas Teluk. Toh, masih banyak cabang tempat Cina menebus kekalahan itu. Dari bulu tangkis, bola voli, bola basket, wushu, dan tenis meja, medali emas masih terus mengalir laksana aliran Sungai Kuning. Bagaimana Cina bisa seperkasa itu? Negeri berpenduduk 1,2 milyar ini sudah lama memasukkan olahraga sebagai kelompok wajib mata pelaj#an sejak di sekolah dasar. "Kalau tidak lulus olahraga, tak bisa tamat sekolah," ujar Chen Xin, mahasiswa sebuah universitas di Beijing pada TEMPO. Kalau di Indonesia kira-kira sama pentingnya dengan pelajaran agama atau Pendidikan Moral Pancasila. Di tingkat sekolah lanjutan, seoran~g anak yang sudah ketahuan bakat olahraganya bisa terus mendaftar ke universitas olahraga. Bisa di daerah atau langsung k~e Beijing. Dari 30 provinsi di Cina, 16 provinsi sudah punya perguruan tinggi olahraga. Di Beijing saja ada dua. Dan yang paling top adalah Beijing Institute of Pkysical Education yang terletak di pinggir kota Beijing di daerah Yuanminyuan. Kampus yang berdiri pada 1953 itu luasnya 140.000 m2, dibangun di atas tanah seluas 70 ha. Di halaman depan, ada sebuah patung Ketua Mao yang besarnya lebih dari ukuran badan manusia. Ketika wartawan TEMPO berkunjung ke sana, pekan lalu, kampus ini sedang sepi. Hanya di kolam renang indoor kelihatan ada 50 mahasiswa yang berenang bolak-balik berganti gaya. Menurut Liu Xiao Hong, Koordinator Program Internasional, ada lima departemen di Institut Beijing itu: departemen pengajaran fisik, departemen olahraga, departemen wushu (kungfu Cina), departemen manajemen olahraga, dan departemen teori dasar. Departemen ini masih dibagi-bagi menjadi semacam jurusan. Di departemen teori dasar, misalnya, ada jurusan biokimia, fisioterapi, psikologi, dan juga jurusan sport-medicine. Mengapa ada departemen khusus untuk wushu? "Wushu itu olahraga tradisional Cina, kami harus mengembangkannya," jawab Xiao Hong. Institut Beijing mempunyai 700 tenaga pengajar untuk program sarjana muda, sarjana, master, dan bahkan doktor untuk bidang olahraga. Para mahasiswa semua jurusan itu harus berlatih olahraga lima kali seminggu. Setiap hari mereka berlatih lima jam, selebihnya waktu belajar dan istirahat. Dan sekitar 2.500 mahasiswa dan mahasiswi yang berada di institut itu ditempatkan dalam empat blok bangunan asrama, masing-masing bertingkat empat. Satu kamar diisi empat mahasiswa. Para mahasiswa itu tak dikenai uang kuliah. Paling mereka hanya menyediakan keperluan makan sekitar 100 yuan (Rp 40 ribu) untuk sebulan dan makanan itu bisa dibeli di kantin kampus. Di kampus itu tak ada tenaga pembantu, jadi mahasiswa harus mencuci pakaiannya sendiri. Di lokasi departemen olahraga, sarana berbagai cabang olahraga lengkap tersedia. Bayangkan saja, ada sepuluh lapangan sepak bola. Lapangan basket jumlahnya 23 buah, lalu tiga track atletik outdoor dan satu track di dalam gedung yang dipakai ketika musim dingin tiba. Kemudian ada lapangan menembak, baseball, kolam renang di luar dan di dalam gedung, juga lintasan khusus untuk olahraga berkuda. Untuk wushu, ada satu ruangan khusus. Begitu pula satu gymnasium untuk tinju, tempat yang dipakai untuk AG kali ini. "Ini memang universitas yang terkenal di Cina," ujar Xiao Hong lagi. Institut ini sudah punya sekitar 20.000 alumnus, termasuk atlet-atlet pemecah rekor atletik Asia, misalnya Cao Huiying, Yang Xi, Cheng Zhaodi, dan Zhang Li. Sedang yang sampai sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa Institut Beijing ini adalah peraih tiga medali emas senam AG Beijing, Li Jing itu tadi. Dan banyak nama lain lagi di kontingen Cina. Li Jing lahir di Provinsi Hunan. Sejak usia enam tahun, anak ini sudah masuk sekolah olahraga. Pada usia 10 tahun, Li Jing dikirim ke Beijing dan meneruskan sekolah lanjutan dan telus ke Institut Beijing. Ia berlatih keras, misalnya, lari 15 kilometer sehari dengan beban di kedua kaki. Hasilnya luar biasa. Di kejuaraan Pan-Pasifik 1988, Li Jing meraih lima medali emas. "Saya ingin merebut emas Olimpiade 1992, setelah itu berhenti dari senam," katanya pada TEMPO lewat seorang penerjemah. Ia ingin jadi pengusaha. Modalnya dengan cara mengumpulkan bonus hadiah dari pemerintah Cina selama AG ini. Itulah resep Cina berprestasi di bidang olahraga. Selain tekad dan disiplin seperti yang dimiliki Li Jing, perguruan tinggi olahraganya sangat menunjang. Di daerah-daerah, walau tak sehebat Institut Beijing, perguruan tinggi olahraganya itu jauh lebih lengkap dari yang ada di Indonesia. Dan itu tadi, pembinaan olahraga dilakukan sejak dini, masuk dalam kurikulum sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus