KRISIS Teluk sudah sampai di Sura~baya. Tepatnya di mes pemain klub ~~sepak bola Niac Mitra di kawasan Sidoresmi Indah. Di pintu masuk mes itu ada tulisan besar: "Krisis Teluk. Orang asing dilarang masuk. Wartawan dilarang meliput. Suasana berkabung." Apa yang terjadi? Tenang, mungkin penghuni mes lagi bingung menyalurkan kegelisahannya. Pemain-pemain Niac Mitra itu sedang dirundung malang. Senin pekan lalu, Alexander Wenas, pemilik klub sepak bola itu, mengirim faksimile ke Liga Sepak Bola Utama (Galatama) di Jakarta, menyatakan Niac mengundurkan diri dari keanggotaan Liga. Pada pertemuan pemilik klub Galatama, 22 September lalu, Wenas sudah menyampaikan niat itu secara lisan. Lampu merah untuk Galatama? Jelas karena sebelum Niac, Pusri Palembang dan Makassar Utama juga mundur. Namun, di mata administratur Liga, Acub Zainal, itu bukan kemerosotan. "Ketika berdiri jumlah klub 8, sekarang 26. Banyak klub masih bertahan, apa ini bukan prestasi?" kata Acub. Tapi banyak yang sedih mendengar Niac bubar. Klub yang berdiri di awal Galatama 1979 ini sudah banyak menyumbang pemain nasional. Sebutlah Joko Malis, Rudy Kelces, Dullah Rahim, sampai generasi baru sepeti Hanafing. Dan kini, Wenas membubarkan Niac. Semua pemain Niac mendadak muram. Rabu pekan lalu, misalnya, Joko Slamet cuma melilitkan handuk di tubuhnya dan bersandar di tembok. Padahal, hari itu ia mesti berlatih untuk persiapan menghadapi kesebelasan Johor FC di Stadion Tambaksari Surabaya. Kapten Niac, Hanafing, juga menyendiri. Beberapa pemain lainnya berajojing dengan musik disko. "Mereka sekadar mengendurkan kesedihan," ujar Hanafing, menunjuk teman-temannya. Adapun Syamsul Arifin juga bingung memikirkan masa depannya. "Saya sudah tua. Apa masih ada klub yang mau menampung?" ujar pemain berusia 34 tahun ini. Sejarah Niac Mitra adalah sejarah Galatama. Bersama klub Pardedetex, Jayakarta, Indonesia Muda, dan Warna Agung Niac menjadi pelopor Galatama untuk kompetisi pertama, 1979. Setelah Niac mundur, praktis kini hanya tinggal Warna Agung, milik pengusaha cat Benny Mulyono. Itu pun kondisinya buruk, berada di papan bawah pada kompetisi yang lalu, dan terus merugi -- semua klub Galatama sekarang ini merugi. Namun, bukan lantaran rugi itu kalau Wenas membubarkan klubnya. Ia protes soal pembagian wilayah dalam kompetisi mendatang. Seperti diputuskan Liga, tidak ada lagi pembagian divisi. Artinya, semua klub dilebur jadi satu, termasuk klub baru yang belum pernah mengikuti kompetisi Galatama seperti Summa FC dari Dili dan Makassar Perkasa dari Ujungpandang. Lalu dibagi tiga wilayah: timur, tengah, dan barat. Hanya juara dan runner-up tiap wilayah bertanding di Jakarta untuk menentukan juara Galatama. Semua klub di Jawa kecuali Niac masuk wilayah tengah. Juara Galatama Pelita Jaya, misalnya, bisa mengunjungi lawan-lawannya dengan jalan darat, kereta api atau bis, jika mau berhemat. Sungguh tak adil menempatkan Niac di wilayah timur. Ia harus main di Bontang, kandangnya klub Pupuk Kal-Tim, terbang ke Ujungpandang menemui Makassar Perkasa, ke Banjarmasin melawan Barito Putra, ke Samarinda menghadapi Putra Mahakam, ke Denpasar menantang Gelora Dewata, dan ke Di~li menjajal Summa FC. Bayangkan, berapa besar biaya terbang itu. Dan ketika Niac menjamu tamu-tamunya, bayangkanlah sepinya stadion karena lawan Niac kesebelasan bau kencur. Padahal, pemasukan untuk klub adalah bertanding di kandang sendiri. Sekali lagi, yang dikesalkan Wenas bukan bayangan rugi itu. Toh Niac, katanya, selalu merugi, kecuali ketika Fandi Ahmad dan David Lee (keduanya dari Singapura) memperkuat Niac pada musim kompetisi 1981 -- saat Galatama membolehkan pemain asing. Pada kompetisi lalu, kendati sudah mendapat suntikan Rp 75 juta dari Jawa Pos, Niac tetap rugi Rp 39 juta. "Saya kira untuk kerugian yang sekian jumlahnya, saya masih sanggup menanggung," kata Wenas. Kekesalan Wenas adalah tidak adanya pembagian divisi yang mencerminkan adanya prestasi. Itu artinya, ujar Wenas."membuyarkan apa yang sudah dicapai Galatama. Mundur sekian langkah." Liga membagi 26 klub berdasarkan wilayah itu karena mau menolong klub-klub. Kompetisi nanti tanpa sponsor, klub membiayai sendiri lawatannya. Dalam kompetisi yang lalu, rokok Bentoel menjadi sponsornya. Karena belakangan stadion lebih sering sepi, Bentoel mengundurkan diri. Liga kemudian menempatkan Niac di wilayah timur untuk membantu klub-kluh yang bertebaran di berbagai pulau itu. Dengan nama besar Niac, tentulah masyarakat Bontang, Dili, Denpasar, dan lainnya berbondong-bondong ke stadion. Cuma, bagaimana dengan Niac? Apakah publik Surabaya mau menonton kalau Niac bertanding lawan Summa FC, misalnya? Beberapa waktu lalu, kesebelasan Perusahaan Daerah Air Minum Surabaya saja bisa mengalahkan Summa FC. Rupanya, Wenas tak ingin ribut-ribut. Protesnya pada Liga dilancarkan dalam bentuk membubarkan Niac tadi. Namun, menurut sebuah sumber, Wenas sedang negosiasi dengan Dahlan Iskan, pemimpin redaksi Jawa Pos, soal kemungkinan Jawa Pos mengambil alih Niac. Wenas prinsipnya setuju, asal tidak menggunakan nama Niac Mitra. Ia mengusulkan nama Mitra Surabaya FC dan ia tak mau menjadi pengurus klub baru ini. Rupanya, Wenas kembali ke amatir. Ia masih punya klub amatir anggota Persebaya, Mitra Colombo. Pria 59 tahun ini yang hampir 11 tahun membesarkan Niac Mitra, mengaku cukup puas karena Niac mampu tiga kali menjuarai Galatama. Di ruang kantornya yang sederhana di Surabaya Business Centre, Wenas punya kenang-kenangan menarik: potret pemain Niac Mitra bersama Presiden Soeharto setelah Niac menjuarai Piala Aga Khan di Dakka, Bangladesh, 1979. Toriq Hadad da~n Jalil H~akim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini