Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Siupp di simpang debat

Toto pandoyo dalam seminar "memperingati 45 tahun indonesia merdeka" di ugm mempertanyakan tentang pembatalan siupp. kontradiktik dengan uukpp 1982. pembatalan sebaiknya sementara. menjadi polemik.

6 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN ini Peraturan Menteri tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bakal genap berusia enam tahun. Dalam usia yang masih sangat muda itu, peraturan itu bagaikan tak hentinya dirundung debat antara praktisi hukum, pemerintah, dan insan pers. Kendati masih diperdebatkan, sekurangnya peraturan itu sudah dua kali "mewafatkan" perusahaan penerbitan pers, harian Sinar Harapan dan Prioritas. Perdebatan mengenai peraturan Menteri (Permen) Penerangan, 31 Oktober 1984 itu, Sabtu dua pekan lalu, kembali mencuat dalam seminar hukum "Memperingati 45 tahun Indonesia Merdeka" di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Salah seorang pembawa mak~alah, Ke~tua ~Jurusan ~Hukum Tata Negara F~H UGM, S. Toto Pandoyo, menilai permen itu kontradiktif dengan induknya, Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, 1982. Pertentangan itu, kata Toto, tak lain dari soal pembredelan. Pasal 4 UUKPP menyebutkan terhadap pers nasional tidak dikenai sensor dan pembredelan. Tapi dalam peraturan pelaksanaannya, ya, dalam pasal 33 h permen itu dicantumkan bahwa SIUPP dapat dibatalkan Menteri Penerangan, setelah mendengar Dewan Pers. Jelas, itu "Suatu ganjalan perlindungan hukum terhadap pers," ujar Toto. Dulu, kata Toto, sewaktu permen tentang SIUPP keluar -- menggantikan lembaga SIT (Surat Izin Terbit), banyak orang gembira. Sebab, orang menganggap tak akan ada lagi pencabutan SIT alias pemberangusan pers. Ternyata, pada 9 Oktober 1986, justru dengan permen itu Pemerintah membatalkan SIUPP koran sore Sinar Harapan. Waktu itu, orang masih menduga itulah pembatalan -- menurut Toto itu tak bedanya dengan pembredelan -- yang pertama dan terakhir dalam sejarah pers, setelah permen tadi lahir. Namun, ~se~tahun kemudian, tepatnya 29 Juni 1987, giliran harian Prioritas, yang menjadi korban. Dari kedua kasus pembredelan itu, tak satu pun yang diajukan ke meja hijau. Fenomena itu merupakan suatu kemunduran dalam sejarah pers. Sebab, akibat pembatalan SIUPP bagi pers lebih fatal ketimbang pencabutan SIT. Alasannya pencabutan SIT bisa dicairkan setelah 1-2 minggu. Tapi jika SIUPP dibatalkan, tamatlah riwayat perusahaan pers tersebut. Sebetulnya, sambung Toto, ganjalan itu muncul karena Pemerintah tampaknya masih memerlukan semacam kartu truf untuk mengontrol pers. Jadi, "Pemerintah melihat keberadaan pers dari segi kekuasaan," kata Toto. Tak heran jika pembatalan SIUPP selalu dengan alasan yang tak jelas -- termasuk alasan telah melanggar asas pers bebas dan bertanggung jawab. Herannya, masih menurut Toto, yang pernah meneliti masalah pembinaan pers di Yogyakarta, sampai kini tak ada lembaga yang mau "membedah" ganjalan itu. Padahal, Mahkamah Agung, misalnya, kan berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang. Sebab itu, Toto mengusulkan agar Pemerintah m~ninjau permen tadi. Kecuali itu, masih menurut Toto, jika memang sebuah penerbitan pers dianggap melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundangan, sebaiknya pembatalan SIUPP bersifat sementara tiga bulan misalnya. Setelah itu, jika perlu penerbitan itu bisa diperkarakan ke pengadilan, sebagai upaya pengawasan represif. Guru Besar FH Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Soehardjo, yang menjadi pembanding makalah Toto di seminar itu, berpendapat perusahaan pers yang dibredel bisa mengajukan perkara itu ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hanya saja, kata Toto, upaya itu agaknya sulit diharapkan. Sebab, katanya, bagaimanapun hakim masih bergantung pada pemerintah. Apalagi untuk perkara semacam itu, hakim terpaksa menguji kebijaksanaan pejabat. Di Jakarta, Kamis pekan lalu, soal pengawasan represif itu juga dilontarkan Pimpinan Umum harian Suara Pembaruan, Albert Hasibuan. Dalam seminar ~~~politik yang diselenggarakan Institute of Strategic Studies for Indonesia, Albert sependapat jika pers dianggap melanggar norma, etik, dan hukum, sebaiknya diproses melalui jalur hukum. "Bukannya dengan sanksi berupa pencabutan SIUPP," kata Ketua Umum Persahi, yang juga anggota DPR itu, seperti dikutip Suara Pembaruan. Kepada TEMPO, Guru Besar FH UI Prof. Oemar Senoadji, malah tegas-tegas menyatakan bahwa SIUPP tak bisa digunakan sebagai sarana membredel pers. Sebab, SIUPP, yang termasuk kategori code of enterprise, lebih menyangkut soal ekonomi (permodalan, bentuk perusahaan pers, dan masalah administratifnya). Berbeda dengan SIT, masuk kategori code of publication, berhubungan dengan isi pemberitaan. Pembredelan, menurut bekas Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman itu, bagaimanapun tak sesuai dengan prinsip kebebasan menyatakan pendapat melalui pers. Apalagi di masa keterbukaan seperti sekarang ini. Di negara-negara maju, baik yang Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental, kata Oemar, pembredelan -- sebagai pengawasan preventif -- juga sudah jauh-jauh hari dilarang. "Di sana, mengeluarkan pendapat itu whitout any previous license," ucapnya. Lain lagi pendapat orang pers senior, Prof. J.C.T. Simorangkir. Menurut Simorangkir, seharusnya lembaga legislatiflah yang mempersoalkan peraturan yang kontradiktif itu. "Tapi, DPR sepertinya masa bodoh. Padahal, ia berhak mengawasi pemerintah dalam melaksanakan undang-undan~g yang dibuatnya," kata Simorangkir. Belum jelas bagaimana tanggapan Pemerintah atas berbagai pendapat para ahli di atas. Yang pasti, Jumat malam pekan lalu Menko Polkam Sudomo dan Jaksa Agung Singgih membahas serius masalah pembatalan SIUPP dalam Rakornya. Menurut Sudomo, pembatalan SIUPP sudah tak sesuai lagi dengan kebebasan menyatakan pendapat. Juga terhadap sistem komunikasi timbal balik antara pemerintah dan pers. "Jadi, nanti, bila pers menulis berita bohong atau menghasut masyarakat, SIUPP-nya tak akan dicabut. Tapi penanggung jawabnya yang akan dituntut Jaksa Agung" kata Sudomo seperti dikutip Jawa Pos. H~appy S., R. Fadjri (Yogyakarta), Ardian T. Gesuri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus