Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ramang Sudah Pergi

Ramang, macan bola tahun 50-an, meninggal dunia akibat penyakit paru-paru. Almarhum sempat membawa PSSI ke puncak prestasi. Melatih di PSM dan melahirkan pemain Rony Pattinasarany.

3 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama ia menderita. Suatu sore di bulan Juni 1981, ia pulang larut malam dengan pakaian basah tersiram hujan. Ia baru saja pulang dari Stadion Mattoangin, melatih anak-anak PSM Makassar. Ia jatuh sakit, dan mendekam 55 hari di rumah sakit. Paru-parunya tak lagi normal. Bulan Puasa tahun lalu penyakitnya kambuh. Namun, lantaran tak ada biaya, ia memilih tinggal di rumah. Sabtu pagi pekan lalu, di rumah sederhananya di Ujungpandang, Ramang meninggal dunia. Pemain legendaris itu telah pergi. Tapi, sejarah sepak bola Indonesia tak akan pernah lupa mencatat namanya. Di Olimpiade Melbourne 1956 ayah empat anak dan kakek belasan cucu ini ikut mengukir prestasi terbaik sepak bola Indonesia: menahan kesebelasan Uni Soviet yang merebut emas waktu itu dengan 0-0. Walaupun pada babak perpanjangan waktu Indonesia menyerah 4-0, sampai sekarang itulah prestasi terbaik yang pernah dicapai tim nasional Indonesia. "Sebenarnya ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi, baju kaus saya ditarik dari belakang," tutur Ramang pada TEMPO suatu ketika. Bermain sebagai penyerang tengah dengan nomor punggung 9, Ramang memang dikenal memiliki naluri mencetak gol yang luar biasa. "Dia bisa menembak ke gawang dengan posisi apa pun," tutur Maulwi Saelan, kiper tim nasional angkatan Olimpiade Melbourne. Pada tahun 50-an itu, hanya Ramang yang bisa menembak salto ke gawang. Ada lagi yang istimewa dari pemain bola dengan pendidikan hanya SD (dulu SR -- sekolah rakyat) itu. Yakni tendangannya dari pojok kanan lapangan (corner kick) sering langsung menembus gawang. Dari kaki dan kepalanya sudah tercetak ratusan gol. Kebanyakan dengan kejutan yang sukar diduga. Pada 1954, ketika PSM Makassar lawan Persija di Stadion Ikada, misalnya. Kiper PSM Saelan menendang bola dari gawangnya, diteruskan dengan sundulan penyerang PSM Suardi Arland ke kotak penalti Persija. Ramang ketika itu dijepit dua lawan dan praktis tak bisa bergerak. Tapi, dengan gerakan kilat ia maju menyongsong bola, memiringkan badannya dan langsung melakukan tendangan half volley kaki kanan sembari menjatuhkan badan. Gol! Anehnya, sebagai pemain yang selalu dikawal ketat, Ramang tak pernah mengalami cedera. "Malah yang cedera karena saya 'makan' tanpa terlihat wasit, sudah banyak," katanya lagi suatu saat. Soal "makan-memakan" ini Ramang memang dikenal punya teknik tinggi yang halus. Ia memang macan bola yang disegani lawan. Di tahun 50-an itu, trio PSM Makassar yang sangat terkenal, Suwardi Arland-Ramang Noorsalam beberapa kali membawa kesebelasan itu menjuarai kompetisi PSSI. Dalam usia 10 tahun, Ramang sudah mulai menendang-nendang bola rotan dalam permainan sepak raga. Ayahnya, ajudan Raja Goa Jonjong Karenta Lemamparang, sudah lama dikenal jagoan raga di daerah Goa. Bakatnya memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat bond Barru, kota kelahirannya. Pada 1945, ia pindah ke Ujungpandang. Pahit getir kehidupan dirasakan Ramang di kota itu. Ia bekerja sebagai penarik becak, sambil tetap main bola. Pada 1947, ia sudah memperkuat bond Makassar (MVB yahg kini berganti PSM). Di tim nasional, berpasangan dengan Djamiat dan The San Liong, Ramang membawa Indonesia sebagai kesebelasan yang ditakuti di Asia. Tahun 1952-53, dalam tur Asia, PSSI menjungkalkan Hong Kong, yang ketika itu jarang kalah di Asia. "Kita sampai dua kali memukul Hong Kong," ujar Saelan mengingat zaman keemasan itu. Roda nasib selalu berputar. Ada juga masa pahit bagi Ramang. Setelah dituduh menerima suap pada 1960 -- suatu hal yang dibantahnya sampai akhir hayatnya -- Ramang tenggelam. Terakhir kali, pada 1968, dalam usia 40 tahun ia masih bermain untuk PSM. Sesudah itu, ia mulai melatih PSM dan, antara lain, melahirkan pemain bintang Ronny Pattinasarany. Dua orang anaknya juga pemain bola yang cukup dikenal: Anwar dan Rauf Ramang. Bersama dua anaknya itu -- dan beberapa pemain Makassar lain -- Ramang kemudian mengembara. Mulanya ia melatih PSBI Blitar dan mengantarkan kesebelasan kota itu mencapai 8 Besar Kompetisi PSSI. Setelah itu, Ramang boyong ke Persipal Palu, dan PSBI pun ambruk. Ganti Persipal yang berjaya. Akhirnya, ia balik ke Ujungpandang dan kembali melatih PSM. Kendati pernah mendapat hadiah satu hektar kebun cengkih dari masyarakat Palu, masa tua Ramang boleh dibilang memprihatinkan. Bahkan sejak tahun lalu, ia tak mampu lagi membiayai pengobatan penyakit paru-parunya. Akhirnya, Tata begitu ia dipanggil sanak keluarganya pulang ke rahmatullah dalam usia 59 tahun. Toriq Hadad (Jakarta) dan Syahrir Makkuradde (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus