Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Wajib Melayu di Malaysia

Pemerintah Malaysia mewajibkan seluruh kampus menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar. MIC, MCA dan sejumlah mahasiswa protes tak setuju. Pemakaian bahasa melayu sudah dicanangkan sejak 1960.

3 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH baik terlambat daripada tidak begitu mungkin pikir orang Malaysia. Baru setelah 30 tahun merdeka, negeri itu berniat menjadikan bahasa Melayu resminya disebut bahasa Malaysia -- sebagai tuan rumah. Di kampus misalnya, mulai tahun kuliah baru Juli lalu, terutama di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, bahasa pengantar kuliah sama sekali ditetapkan Melayu. Sebelumnya, kursus, maksudnya kuliah, bahasa Inggris misalnya, bahasa pengantarnya Inggris. Di kursus Cina, begitu pula. Juga di kursus India, dulunya berpengantar bahasa Tamil. Adalah Perdana Menteri Datuk Mahathir Mohamad sendiri, menyambut terbitnya antologi puisi dan naskah drama karya penyair terkemuka Usman Awang, Kamis pekan lalu, menegaskan pentingnya warga neara Malaysia menggunakan bahasa Melayu. Para politikus yang tak menguasai bahasa nasional, katanya, boleh jadi tak akan mendapat dukungan massa. Tampaknya, menjadikan Melayu tuan rumah di negeri sendiri bukan persoalan mudah. Di kampus, sejumlah mahasiswa mulai protes. Katanya, keterampilan berbahasa Inggris mereka jadi berkurang, karena kuliah diberikan dalam bahasa Malaysia. Sebenarnya, pemakaian bahasa nasional di kampus sudah dicanangkan pada 1960, tiga tahun setelah Malaya merdeka. Salah seorang tokoh penganjurnya bernama Abdul Aziz, yang kini menjadi rektor Universiti Malaya. Menurut Aziz, bila sekolah dan universitas memakai pengantar bahasa Inggris, arti bahasa persatuan, yaitu Melayu, jadi lemah. Tapi gagasan itu banyak ditentang. Universitas akan mundur kalau bahasa pengantar diganti, karena penguasaan bahasa Inggris bagi mahasiswa adalah mutlak, kata mereka yang menolak. Abdul Aziz tak surut. Setahun kemudian, atas pengaruhnya, Jurusan Pengajian Melayu (Sastra Melayu) Universiti Malaya memelayukan bahasa pengantarnya. Fakultas Ekonomi mengikuti langkah itu pada pertengahan 1970-an. Kebetulan, kala itu pemerintah Malaysia memutuskan bahasa kebangsaan sebagai satu-satunya pengantar di sekolah dasar dan menengah. Jadi, suasana memang mendukung. Di luar kampus, Malaysian Indian Congress (MIC) dan Malaysian Chinese Association (MCA) menyatakan keberatan terhadap kebijaksanaan tersebut. Kedua partai yang anggotanya sebagian besar keturunan India dan Cina itu mencemaskan hilangnya bahasa Tamil dan Cina dari Malaysia. Adalah Menteri Pendidikan Anwar Ibrahim yang pertama-tama menjawab. Masalah intern akademis diputuskan oleh senat universitas bukan oleh Kerajaan dan Kabinet, kata Menteri. Segera saja Aziz mendukung pernyataan itu: "Kalau orang politik bisa mempengaruhi senat fakultas, hancurlah kebebasan akademis." Sementara itu, pekan lalu Mahathir secara tak langsung menanggapi pula protes kedua partai. Bila ada yang keberatan terhadap bahasa nasional, misalnya kelompok oposisi, katanya, mereka sebenarnya cuma cari publisitas murahan. Mahathir mungkin benar. Sebab, suara protes mahasiswa sebenarnya tidak apriori antibahasa nasional. Mereka cuma minta agar penggantian itu proporsional. "Bukankah janggal dan menimbulkan masalah kalau mata kuliah klasik Cina, misalnya, diberikan dengan pengantar Melayu? Keasliannya akan berubah," kata Lim Cher Chye, mahasiswa Sastra Cina Universiti Malaya. Bila protes penggantian bahasa pengantar terdengar keras hanya di Universiti Malaysia, tampaknya memang bukan soal akademis benar yang mendasarinya. Mungkin, lebih bertolak dari sentimen ras, bila tidak politis sifatnya. Sebab, menurut Abdul Aziz rektor itu, mahasiswa yang kurang mampu berbahasa Inggris kebanyakan mereka yang keturunan Cina dan India, "yang penguasaan bahasa Melayunya pun rendah." Di kampus ini, 40% mahasiswa memang keturunan Cina dan 10% India, dari hampir 3.000 mahasiswa seluruhnya. Kata pepatah Melayu, bahasa menunjukkan bangsa. Siapa tahu, soal rasialisme di Malaysia terpecahkan dengan bahasa kebangsaan. Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus