LEPAS periode Asian Games IV (1962), prestasi dunia atletik
Indonesia tak ayal melorot jauh. Yang tinggal adalah sisa-sisa
kebanggaan atas kebolehan Mohamad Sarengat, Jotje Gozal, Gurnam
Singh, dan lainnya. Belakangan memang muncul Carolina Riewpassa,
Lelyana Tjandrawidjaja, dan Suwignyo. Tapi ketrampilan mereka
baru dalam ukuran lokal. Bahkan untuk melampaui prestasi sendiri
pun tampak harus menempuh jenjang yang sukar. Misalnya Carolina.
Sepulangnya dari Jerman Barat pertengahan 1972 lalu, ia tak
pernah lagi mendekati rekor nasional lari 100 m (11,7 detik) dan
200 m (24,4 detik) yang dibuatnya di sana. Bintang lari 800 m
dan 1.500 m, Lelyana akhir-akhir ini juga mengalami keadaan
serupa. Sementara atlit negeri tetangga seperti Anat Rathanapol
(Muangthai) atau Noor Azhar (Singapura) melaju terus memperbaiki
rekor Asia.
Nada Minor
Tak mungkin disangkal kenyataan itu dengan cepat mengundang
tanda tanya bagi masyarakat atletik. Adakah kemandulan prestasi
ini disebabkan oleh pembinaan yang kurang terarah? Sulit untuk
dijawab. Sebab persoalan atletik ini sudah bagai "lingkaran
setan". Atlit mengeluh tentang pembinaan yang tak mengenai
sasaran. Pernah seorang olahragawati menyatakan keluhan
terhadapperilaku pelatihnya yang lebih banyak duduk mencatat
waktu daripada mengarahkan dan memperbaiki kesalahan yang
dilakukannya dalam latihan. Di kalangan pelatih tumpuan nada
minor itu terletak pada soal prasarana. "Coba berikan pada kami
fasilitas seperti yang diberikan untuk pelatih asing. Saya
yakin, pelatih Indonesia tak akan lebih kurang dari mereka",
tutur Wuryanto M.Ed. kepada TEMPO suatu hari. Ucapan tersebut
mungkin ada benarnya. Tapi, penyelesaian pennasalahan tidak
segampang itu. Misalnya, untuk Jakarta. Pemerintah daerah kurang
apa dalam menyediakan fasilitas dan prasarana bagi atletik.
Hampir di tiap wilayah ada lapangan buat latihan. Di Bandung,
juga Surabaya tempat untuk berlatih itu boleh dikata memadai.
Lalu di mana sebetulnya letak persoalan? Kalau ditilik pada
zaman Sarengat cs, keberhasilan mereka banyak ditopang oleh
pengarahan Bill Miller dan Tom Rosandich. Kini, pelatih luar
negeri itu boleh dikatakan hampir tak pernah menjejak lagi.
Kecuali, Bert Sumser pada penghujung tahun silam. ltu pun ia
tidak sepenuhnya mencurahkan perhatian pada program latihan.
Sebagian besar waktunya tersita untuk menatar pelatih-pelatih
daerah. Lain dengan Miller atau Rosandich yang memang
menyediakan tempo lebih banyak di lapangan.
Rekor Abadi
Dalam keadaan dunia atletik yang tengah dirundung kelesuan itu,
kehadiran Sayidiman -- tokoh yang dinilai Bert Sunser memiliki
sifat kepemimpinan terpuji atas perhatiannya yang besar terhadap
sesama kolega pengurus dan atlit -- di lingkungan PASI tampak
menghembuskan suasana segar. Terbuka terhadap kritik, ia pun tak
sungkan mengungkapkan kelemahan induk organisasinya. Ia terus
terang mengakui kekurangan pelatih sendiri ketimbang pelatih
luar negeri. "Pelatih dan atlit-atlit kita masih dalam proses
pertumbuhan", ujar Sayidiman. "Jelas ada kekurangannya
dibandingkan pelatih-pelatih dari negara yang sudah maju". Ia
juga mengakui kemandulan prestasi sekarang ini mempunyai kaitan
dengan, kepemimpinan masa lampau. Di samping itu tuntutan
masyarakat akan prestasi pun makin tinggi. Dari pelajaran
tersebut Sayidiman memetik manfaat bahwa garis kebijaksanaan
induk organisasinya perlu disempurnakan. Langkah pertama yang
akan dilakukannya adalah memberikan perhatian yang lebih besar
terhadap pembinaan di daerah. "Perbaikan prestasi nasional itu
tak mungkin dicapai tanpa adanya kemajuan di daerah-daerah",
tambahnya.
Jika Wuryanto membicarakan masalah fasilitas dan prasarana
sebagai salah satu penyebab kelambanan gerak prestasi, Sayidiman
menganggap apa yang ada sekarang cukup memadai. Titik berat
permasalahan di mata Sayidiman lebih ditujukan pada kurangnya
tanggapan masyarakat terhadap atletik dibandingkan dengan
olahraga permainan. "Perubahan motivasi itu bagaimana pun punya
kaitan terhadap kemajuan prestasi atletik", kata Sayidiman
sambil mengemukakan contoh kian berkurangnya jadwal olahraga di
sekolah yang dipergunakan untuk atletik. "Padahal sumber atlit
adalah pelajar-pelajar tersebut" . Mengaitkan pemasalahan
atletik dengan sekolah, persoalan ini jelas tidak terlepas dari
tangan pemerintah (dalam hal ini Departemen P & K). Karena induk
organisasi tidak mungkin untuk menjangkau lingkungan itu.
Adakah usaha ini telah dijalankan oleh aparat yang berwenang?
Kelihatan belum sepenuhnya. Sebab, pada umumnya sekolah-sekolah
masih lebih suka menggiring muridnya pada bentuk olahraga
permainan daripada memperkenalkan mereka dengan dunia atletik.
Kurangnya tanggapan para pengajar dan murid itu bukannya tak
difahami oleh Sayidiman. Bukankah olahraga permainan seperti
bolabasket, bolavolley atau sepakbola lebih mengasyikkan
daripada olahraga lari atau lompat? Kini masalahnya, apakah
keadaan yang merundung atletik ini akan dibiarkan terus
berlarut-larut lantaran kurang memberi keasyikan bagi murid?
Jawabannya terletak di tangan pemerintah. Setelah usaha ini
jalan, baru kita bicara tentang prestasi yang merupakan
tanggungjawab induk organisasi. Tanpa itu semua, keadaan dunia
atletik Indonesia akan tetap seperti periode yang dialami
Sarengat cs: sekali muncul, rekor abadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini