Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rekor abadi ukuran lokal

Prestasi dunia atletik indonesia melorot sesudah asian games iv, karena kurangnya pembinaan. pemerintah diharapkan untuk membina olah raga atletik dari sekolah melalui departemen p dan k.

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEPAS periode Asian Games IV (1962), prestasi dunia atletik Indonesia tak ayal melorot jauh. Yang tinggal adalah sisa-sisa kebanggaan atas kebolehan Mohamad Sarengat, Jotje Gozal, Gurnam Singh, dan lainnya. Belakangan memang muncul Carolina Riewpassa, Lelyana Tjandrawidjaja, dan Suwignyo. Tapi ketrampilan mereka baru dalam ukuran lokal. Bahkan untuk melampaui prestasi sendiri pun tampak harus menempuh jenjang yang sukar. Misalnya Carolina. Sepulangnya dari Jerman Barat pertengahan 1972 lalu, ia tak pernah lagi mendekati rekor nasional lari 100 m (11,7 detik) dan 200 m (24,4 detik) yang dibuatnya di sana. Bintang lari 800 m dan 1.500 m, Lelyana akhir-akhir ini juga mengalami keadaan serupa. Sementara atlit negeri tetangga seperti Anat Rathanapol (Muangthai) atau Noor Azhar (Singapura) melaju terus memperbaiki rekor Asia. Nada Minor Tak mungkin disangkal kenyataan itu dengan cepat mengundang tanda tanya bagi masyarakat atletik. Adakah kemandulan prestasi ini disebabkan oleh pembinaan yang kurang terarah? Sulit untuk dijawab. Sebab persoalan atletik ini sudah bagai "lingkaran setan". Atlit mengeluh tentang pembinaan yang tak mengenai sasaran. Pernah seorang olahragawati menyatakan keluhan terhadapperilaku pelatihnya yang lebih banyak duduk mencatat waktu daripada mengarahkan dan memperbaiki kesalahan yang dilakukannya dalam latihan. Di kalangan pelatih tumpuan nada minor itu terletak pada soal prasarana. "Coba berikan pada kami fasilitas seperti yang diberikan untuk pelatih asing. Saya yakin, pelatih Indonesia tak akan lebih kurang dari mereka", tutur Wuryanto M.Ed. kepada TEMPO suatu hari. Ucapan tersebut mungkin ada benarnya. Tapi, penyelesaian pennasalahan tidak segampang itu. Misalnya, untuk Jakarta. Pemerintah daerah kurang apa dalam menyediakan fasilitas dan prasarana bagi atletik. Hampir di tiap wilayah ada lapangan buat latihan. Di Bandung, juga Surabaya tempat untuk berlatih itu boleh dikata memadai. Lalu di mana sebetulnya letak persoalan? Kalau ditilik pada zaman Sarengat cs, keberhasilan mereka banyak ditopang oleh pengarahan Bill Miller dan Tom Rosandich. Kini, pelatih luar negeri itu boleh dikatakan hampir tak pernah menjejak lagi. Kecuali, Bert Sumser pada penghujung tahun silam. ltu pun ia tidak sepenuhnya mencurahkan perhatian pada program latihan. Sebagian besar waktunya tersita untuk menatar pelatih-pelatih daerah. Lain dengan Miller atau Rosandich yang memang menyediakan tempo lebih banyak di lapangan. Rekor Abadi Dalam keadaan dunia atletik yang tengah dirundung kelesuan itu, kehadiran Sayidiman -- tokoh yang dinilai Bert Sunser memiliki sifat kepemimpinan terpuji atas perhatiannya yang besar terhadap sesama kolega pengurus dan atlit -- di lingkungan PASI tampak menghembuskan suasana segar. Terbuka terhadap kritik, ia pun tak sungkan mengungkapkan kelemahan induk organisasinya. Ia terus terang mengakui kekurangan pelatih sendiri ketimbang pelatih luar negeri. "Pelatih dan atlit-atlit kita masih dalam proses pertumbuhan", ujar Sayidiman. "Jelas ada kekurangannya dibandingkan pelatih-pelatih dari negara yang sudah maju". Ia juga mengakui kemandulan prestasi sekarang ini mempunyai kaitan dengan, kepemimpinan masa lampau. Di samping itu tuntutan masyarakat akan prestasi pun makin tinggi. Dari pelajaran tersebut Sayidiman memetik manfaat bahwa garis kebijaksanaan induk organisasinya perlu disempurnakan. Langkah pertama yang akan dilakukannya adalah memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pembinaan di daerah. "Perbaikan prestasi nasional itu tak mungkin dicapai tanpa adanya kemajuan di daerah-daerah", tambahnya. Jika Wuryanto membicarakan masalah fasilitas dan prasarana sebagai salah satu penyebab kelambanan gerak prestasi, Sayidiman menganggap apa yang ada sekarang cukup memadai. Titik berat permasalahan di mata Sayidiman lebih ditujukan pada kurangnya tanggapan masyarakat terhadap atletik dibandingkan dengan olahraga permainan. "Perubahan motivasi itu bagaimana pun punya kaitan terhadap kemajuan prestasi atletik", kata Sayidiman sambil mengemukakan contoh kian berkurangnya jadwal olahraga di sekolah yang dipergunakan untuk atletik. "Padahal sumber atlit adalah pelajar-pelajar tersebut" . Mengaitkan pemasalahan atletik dengan sekolah, persoalan ini jelas tidak terlepas dari tangan pemerintah (dalam hal ini Departemen P & K). Karena induk organisasi tidak mungkin untuk menjangkau lingkungan itu. Adakah usaha ini telah dijalankan oleh aparat yang berwenang? Kelihatan belum sepenuhnya. Sebab, pada umumnya sekolah-sekolah masih lebih suka menggiring muridnya pada bentuk olahraga permainan daripada memperkenalkan mereka dengan dunia atletik. Kurangnya tanggapan para pengajar dan murid itu bukannya tak difahami oleh Sayidiman. Bukankah olahraga permainan seperti bolabasket, bolavolley atau sepakbola lebih mengasyikkan daripada olahraga lari atau lompat? Kini masalahnya, apakah keadaan yang merundung atletik ini akan dibiarkan terus berlarut-larut lantaran kurang memberi keasyikan bagi murid? Jawabannya terletak di tangan pemerintah. Setelah usaha ini jalan, baru kita bicara tentang prestasi yang merupakan tanggungjawab induk organisasi. Tanpa itu semua, keadaan dunia atletik Indonesia akan tetap seperti periode yang dialami Sarengat cs: sekali muncul, rekor abadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus