Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dari seminar dampai kresna

Seminar kanker nasional berniat mendirikan sebuah yayasan kanker nasional, namun dr walter tambunan, ketua yayasan pemberantasan penyakit kanker indonesia menolak menyatukan diri. (ksh)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMINAR Kanker Nasional yang berlangsung di Jakarta tanggal 22 s/d 24 Januari yaug lalu, nampaknya itu yang berhasil menelorkan sesuatu yang cukup penting. Sebagaimana seminar lazimnya para peserta yang berjumlah 154 dokter bertukar pengalaman dalam upaya mereka memerangi kanker di berbagai daerah. Sudah barang tentu ada yang sukses tetapi ada juga yang gagal. Niat semula untuk mendirikan sebuah yayasan kanker bersifat nasional sebagai satu sarana dalam jangka penanggulangan penyakit jenis ini nampaknya mengalami hambatan pula. Ketujuh yayasan kanker yang tersebar di berbagai kota memang tak keberatan melebur diri dalam yayasan nasional tersebut, tapi Yayasan Pemberantasan Penyakit Kanker Indonesia yang berusia tua dengan ketuanya Ir Walter Tambunan menolak untuk menyatukan diri. Organisasi kanker hasil fusi ini baru akan dibentuk dalam dua atau tiga bulan mendatang. Tapi menarik juga seruan seminar kepada pemerintah supaya menertibkan cara-cara inkonvensional dalam pengobatan kanker. Seruan ini memang bukan tak berarti. Dalam kenyataannya memang cukup banyak penderita kanker yang sudah tertolong pengobatan konvensionil lari kepada cara-cara yang menurut para dokter "tidak ilmiah". Di daerah Jawa Tengah saja misalnya ada dua tempat ke mana para penderita yang hampir putus asa minta pertolongan. Belum lagi di daerah lain. Dan sudah barang tentu dr Goenawan yang menggunakan singkong di Cisarua tak luput dari seruan itu. Kresna & Buto Namun dalam keadaan di mana obat-obatan konvensionil terbatas kemampuannya, seruan ini akan memancing pertanyaan. "Seruan ini tidak terbatas pada singkong dokter Goenawan, tapi bertujuan memberikan peringatan kepada masyarakat untuk tidak terjebak dalam cara-cara yang tak bisa dipertanggungjawabkan tangkis dr Sudarto Pringgoutomo, ahli patologi ketua panitia seminar. "Dulu ada orang yang pergi ke dukun di Yogya. Kata dukun itu tumor si penderita sudah diangkat, tanpa melakukan pembedahan. Tetapi begitu diperiksa secara patologis ternyata tumor itu bukan daging manusia", sambungnya pula. Dalam persoalan singkong soalnya jadi lain. Yang menggunakannya di sini bukan seorang dukun, tapi seorang dokter dengan dua orang asisten. Goenawan tidak diundang ke seminar. Bagi dokter tua dan pensiunan itu telah ada satu kesempatan berdiskusi dengan lembaga ilmiah yaitu pertemuannya dengan dokter-dokter ahli bedah dan kandungan di Fakultas Kedokteran Gajah Mada bulan Nopember 1975. Dia mendapat kesempatan menguraikan cara kerja zat dari dalam singkong yang katanya dapat menyembuhkan kanker. Dia pertontonkan dua hasil rontgen dari penderita kanker paru-paru untuk menunjukkan hasil kerja singkong. Uraiannya dia dukung dengan literatur-literatur yang tak jadi buku pegangan di sini. Diskusi yang dipimpin Prof Ramelan Mochtar itu berkesimpulan untuk membantu Goenawan dalam mengumpulkan data-data ilmiah sebagai penopang penemuannya itu. Untuk ini Ramelan Mochtar mempersiapkan pengiriman beberapa orang tenaga dokter ke Cisarua. "Diskusi Singkong" seperti di Yogya itu dilaksanakan pula di Bandung awal Januari 1976. Dan dalam bulan Pebruari diskusi yang sama juga akan dilakukan di Universitas Diponegoro. Di Jakarta, Goenawan belum memperoleh kesempatan serupa itu. Namun menurut Sudarto Pringgoutomo, seorang peserta sempat bertemu dengan Goenawan sebelum seminar berlangsung.Setelah ditanya oleh kolega tadi, ternyata Goenawan tidak bisa mengemukakan data-data ilmiah", urai Sudarto. Inilah alasan mengapa dia tidak diundang pada pertemuan ilmiah tadi. Tanggapan dr Goenawan terhadap seruan seminar cukup mengagetkan. "Bagi saya yang harus ditertibkan justru obat konvensionil, karena efek sampingannya yang begitu besar. Sedangkan singkong maupun amygdalin yang saya gunakan tidak punya efek macam itu. Dan sebenarnya sebelum mereka menyerukan anjuran seperti itu, tubuh mereka sendiri harus tertib lebih dulu. Lihatlah organisasinya saja belum tertib", kata Goenawan. Dan dia mengemukakan rasa herannya: "Mengapa seminar bisa mengeluarkan pernyataan macam itu, padahal mereka sendiri tidak mengerti dan tidak pernah menyelidiki metode pengobatan yang mereka tuntut supaya ditertibkan". Tanpa adanya pertemuan terbuka, agaknya perkara singkong ini tak mudah mendapat kejelasan. Sedangkan dengan pertemuan, persoalan organisasi sudah menemui jalan buntu, dengan bersikerasnya Walter Tambunan mempertahankan yayasan yang dia pimpin. Tentang pertanggungjawaban keuangan dan gagalnya yayasan ini mendirikan pusat kanker di Slipi, kepada pers ia hanya menjawab dengan singkat: "Seluruhnya sudah dipertanggungjawabkan kepada Presiden dan MPR. Saya memang baca di koran-koran tentang serangan terhadap yayasan dan sangkutannya dengan uang Rp 7,5 milyar. Tetapi itu hanya bersumber dari orang-orang yang banyak ngomong. Orang-orang yang benar selalu diam saja". katanya. "Lihatlah dalam cerita pewayangan, yang banyak ngomong itu 'kar Buto, sedang Kresna orangnya pendiam, tetapi dia benar", sambungnya pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus