SEMINAR Kanker Nasional yang berlangsung di Jakarta tanggal
22 s/d 24 Januari yaug lalu, nampaknya itu yang berhasil
menelorkan sesuatu yang cukup penting. Sebagaimana seminar
lazimnya para peserta yang berjumlah 154 dokter bertukar
pengalaman dalam upaya mereka memerangi kanker di berbagai
daerah. Sudah barang tentu ada yang sukses tetapi ada juga yang
gagal. Niat semula untuk mendirikan sebuah yayasan kanker
bersifat nasional sebagai satu sarana dalam jangka
penanggulangan penyakit jenis ini nampaknya mengalami hambatan
pula. Ketujuh yayasan kanker yang tersebar di berbagai kota
memang tak keberatan melebur diri dalam yayasan nasional
tersebut, tapi Yayasan Pemberantasan Penyakit Kanker Indonesia
yang berusia tua dengan ketuanya Ir Walter Tambunan menolak
untuk menyatukan diri. Organisasi kanker hasil fusi ini baru
akan dibentuk dalam dua atau tiga bulan mendatang.
Tapi menarik juga seruan seminar kepada pemerintah supaya
menertibkan cara-cara inkonvensional dalam pengobatan kanker.
Seruan ini memang bukan tak berarti. Dalam kenyataannya memang
cukup banyak penderita kanker yang sudah tertolong
pengobatan konvensionil lari kepada cara-cara yang menurut para
dokter "tidak ilmiah". Di daerah Jawa Tengah saja misalnya ada
dua tempat ke mana para penderita yang hampir putus asa minta
pertolongan. Belum lagi di daerah lain. Dan sudah barang tentu
dr Goenawan yang menggunakan singkong di Cisarua tak luput dari
seruan itu.
Kresna & Buto
Namun dalam keadaan di mana obat-obatan konvensionil terbatas
kemampuannya, seruan ini akan memancing pertanyaan. "Seruan ini
tidak terbatas pada singkong dokter Goenawan, tapi bertujuan
memberikan peringatan kepada masyarakat untuk tidak terjebak
dalam cara-cara yang tak bisa dipertanggungjawabkan tangkis dr
Sudarto Pringgoutomo, ahli patologi ketua panitia seminar.
"Dulu ada orang yang pergi ke dukun di Yogya. Kata dukun itu
tumor si penderita sudah diangkat, tanpa melakukan pembedahan.
Tetapi begitu diperiksa secara patologis ternyata tumor itu
bukan daging manusia", sambungnya pula.
Dalam persoalan singkong soalnya jadi lain. Yang menggunakannya
di sini bukan seorang dukun, tapi seorang dokter dengan dua
orang asisten. Goenawan tidak diundang ke seminar. Bagi dokter
tua dan pensiunan itu telah ada satu kesempatan berdiskusi
dengan lembaga ilmiah yaitu pertemuannya dengan dokter-dokter
ahli bedah dan kandungan di Fakultas Kedokteran Gajah Mada bulan
Nopember 1975. Dia mendapat kesempatan menguraikan cara kerja
zat dari dalam singkong yang katanya dapat menyembuhkan kanker.
Dia pertontonkan dua hasil rontgen dari penderita kanker
paru-paru untuk menunjukkan hasil kerja singkong. Uraiannya dia
dukung dengan literatur-literatur yang tak jadi buku pegangan di
sini. Diskusi yang dipimpin Prof Ramelan Mochtar itu
berkesimpulan untuk membantu Goenawan dalam mengumpulkan
data-data ilmiah sebagai penopang penemuannya itu. Untuk ini
Ramelan Mochtar mempersiapkan pengiriman beberapa orang tenaga
dokter ke Cisarua. "Diskusi Singkong" seperti di Yogya itu
dilaksanakan pula di Bandung awal Januari 1976. Dan dalam bulan
Pebruari diskusi yang sama juga akan dilakukan di Universitas
Diponegoro.
Di Jakarta, Goenawan belum memperoleh kesempatan serupa itu.
Namun menurut Sudarto Pringgoutomo, seorang peserta sempat
bertemu dengan Goenawan sebelum seminar berlangsung.Setelah
ditanya oleh kolega tadi, ternyata Goenawan tidak bisa
mengemukakan data-data ilmiah", urai Sudarto. Inilah alasan
mengapa dia tidak diundang pada pertemuan ilmiah tadi.
Tanggapan dr Goenawan terhadap seruan seminar cukup mengagetkan.
"Bagi saya yang harus ditertibkan justru obat konvensionil,
karena efek sampingannya yang begitu besar. Sedangkan singkong
maupun amygdalin yang saya gunakan tidak punya efek macam itu.
Dan sebenarnya sebelum mereka menyerukan anjuran seperti itu,
tubuh mereka sendiri harus tertib lebih dulu. Lihatlah
organisasinya saja belum tertib", kata Goenawan. Dan dia
mengemukakan rasa herannya: "Mengapa seminar bisa mengeluarkan
pernyataan macam itu, padahal mereka sendiri tidak mengerti dan
tidak pernah menyelidiki metode pengobatan yang mereka tuntut
supaya ditertibkan".
Tanpa adanya pertemuan terbuka, agaknya perkara singkong ini tak
mudah mendapat kejelasan. Sedangkan dengan pertemuan, persoalan
organisasi sudah menemui jalan buntu, dengan bersikerasnya
Walter Tambunan mempertahankan yayasan yang dia pimpin. Tentang
pertanggungjawaban keuangan dan gagalnya yayasan ini mendirikan
pusat kanker di Slipi, kepada pers ia hanya menjawab dengan
singkat: "Seluruhnya sudah dipertanggungjawabkan kepada Presiden
dan MPR. Saya memang baca di koran-koran tentang serangan
terhadap yayasan dan sangkutannya dengan uang Rp 7,5 milyar.
Tetapi itu hanya bersumber dari orang-orang yang banyak
ngomong. Orang-orang yang benar selalu diam saja". katanya.
"Lihatlah dalam cerita pewayangan, yang banyak ngomong itu 'kar
Buto, sedang Kresna orangnya pendiam, tetapi dia benar",
sambungnya pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini