Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rudi Mundur Sebagai Pelatih

Tim bulu tangkis Indonesia gagal menjadi juara di kejuaraan dunia I di Malmoe. Rudy Hartono mundur sebagai pelatih. Rudi akan menentukan sikap jika susunan pengurus pbsi yang baru, memungkinkan.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEBUT Rudy Hartono sebagai pelatih tim Indonesia ternyata tidak mulus seperti waktu ia jadi juara. Tim yang dipersiapkannya untuk ke kejuaraan bulutangkis dunia pertama di Malmoe, Swedia, dua pekan lalu gagal. Target jadi juara, yang dicanangkan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), tak tercapai. Liem Swie King yang dipersiapkan untuk menyandang gelar itu, tersisih di tangan pemain tuan rumah, Thomas Kihlstroem. Ia digantikan oleh pembawa bendera berikutnya, lie Sumirat. Pemain yang pernah di juluki The Giant Killer ini (setelah ia menghancurkan raksasa RRC Hou Chia Chang dan Tang Hsien Hu di invitasi bulutangkis Asia, Bangkok 1976) akhirnya pun malang pula. Ia disingkirkan oleh semi-finalis asal Denmark, Fleming Delfs. Juga dua pemain tunggal lainnya, Basri dan Hadiyanto kalah. Nasib buruk yang sama juga dialami oleh pemain puteri. Partai tunggal yang diwakili oleh Sri Wiyanti dan Theresia Widyastuti maupun nomor ganda atas pasangan Sri Wiyanti/Imelda dan Theresia Widyastuti/Regina Masli tak satupun yang melangkah ke semi final. Mereka dicegat di babak permulaan oleh pemain Eropa maupun pasangan Jepang. Kebolehan yang tersisa atas tim Indonesia, hanya tinggal pada nomor ganda putera. Kedua pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi dan Christian/Ade Chandra dalam turnamen ini berhasil menjadi finalis. Dan gelar juara dunia diraDh oleh pasangan yang disebut pertama. Melihat hasil perjuangan tim Indonesia yang tak mencapai target seperti direncanakan semula, Rudy jadi murung - sekalipun tugas untuk melatih tim Indonesia hanya ditanganinya cuma 3 minggu. Kepada wartawan Sinar Harapan Supardi, pekan lalu ia menyatakan mengundurkan diri sebagai pelatih nasional. Keputusan yang diambilnya di Malmoe itu, menurut Rudy, merupakan konsekwensi atas ketidak-berhasDannya menangani tim. "Saya harus mundur sebagai pertanggunganjawab atas kegagalan tersebut", ujar Rudy. Adakah pengunduran diri Rudy ini merupakan akhir karirnya sebagai pelatih? "Jika susunan pengurus baru nanti bisa memungkinkan suasana pembinaan yang lebDh baik, baru saya akan menentukan sikap lagi", jawab Rudy. Pernyataan Rudy itu tak ayal mengundang pertanyaan. Apakah sebetulnya yang tengah melanda kepemimpinan PBSI, sehingga Rudy mengeluarkan penilaian terselubung? Nampaknya pembinaan kurang serasi dengan perkembangan bulutangkis itu sendiri. Misalnya, PBSI hampir tak pernah menganalisa data pemain yang dicatat oleh Pusat Kedokteran Olahraga (PKO) untuk memperkembangkan ketrampilan pemain. Juga penanganan latihan diberikan secara seragam. Padahal kekurangan seorang Iie Sumirat, jelas bukan kelemahan Liem Swie King. Emon di Bandung Tugas menganalisa kelemahan sistim pembinaan itu adalah bagian dari pembagian kerja Ketua Bidang Pembinaan PBSI. Tapi apakah yang mungkin dilakukan oleh Emon Suparman, pemangku jabatan itu, sementara ia berdomisili di Bandung, dan jarang muncul di pelatnas Senayan, Jakarta? Selain ketinggalan dalam sistim pembinaan, pemain Indonesia juga dibebani oleh target harus jadi juara. Menurut Rudy, keharusan mencapai target itu membuat ketegangan mental bertanding makin meninggi. Dan tidak semua orang tentunya mempunyai ketahanan mental yang sama. "Saya sendiri pernah mengalami tekanan yang demikian, sehingga beban mental makin bertambah", kata Rudy. Adakah mental King atau Iie sama kuatnya dengan Rudy? Itu jelas tidak. Dan kegagalan pemain-pemain Indonesia di berbagai turnamen internasional kebanyakan tak terlepas dari masalah ini. Sebab dalam kwalitas teknik, mereka boleh dikatakan berimbang. Apa yang disampaDkan Rudy memang bukan cerita baru. Bekas pemain nasional seperti Eddy Yusuf atau Ferry Sonneville juga pernah menyinggung masalah sejenis. Tapi lantaran sukses selama ini tak begitu diacuhkan. Bagaimana setelah target untuk melengkapi supremasi sebagai juara dunia tak menemui bentuk di Malmoe? Barangkali kita harus memperbaiki organisasi dan sistem kerja. Barangkali pula sambil mengingat: piala juara tak bisa di tangan sampai tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus