DEBUT Rudy Hartono sebagai pelatih tim Indonesia ternyata tidak
mulus seperti waktu ia jadi juara. Tim yang dipersiapkannya
untuk ke kejuaraan bulutangkis dunia pertama di Malmoe, Swedia,
dua pekan lalu gagal. Target jadi juara, yang dicanangkan
Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), tak tercapai.
Liem Swie King yang dipersiapkan untuk menyandang gelar itu,
tersisih di tangan pemain tuan rumah, Thomas Kihlstroem.
Ia digantikan oleh pembawa bendera berikutnya, lie Sumirat.
Pemain yang pernah di juluki The Giant Killer ini (setelah ia
menghancurkan raksasa RRC Hou Chia Chang dan Tang Hsien Hu di
invitasi bulutangkis Asia, Bangkok 1976) akhirnya pun malang
pula. Ia disingkirkan oleh semi-finalis asal Denmark, Fleming
Delfs. Juga dua pemain tunggal lainnya, Basri dan Hadiyanto
kalah.
Nasib buruk yang sama juga dialami oleh pemain puteri. Partai
tunggal yang diwakili oleh Sri Wiyanti dan Theresia Widyastuti
maupun nomor ganda atas pasangan Sri Wiyanti/Imelda dan Theresia
Widyastuti/Regina Masli tak satupun yang melangkah ke semi
final. Mereka dicegat di babak permulaan oleh pemain Eropa
maupun pasangan Jepang.
Kebolehan yang tersisa atas tim Indonesia, hanya tinggal pada
nomor ganda putera. Kedua pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi dan
Christian/Ade Chandra dalam turnamen ini berhasil menjadi
finalis. Dan gelar juara dunia diraDh oleh pasangan yang disebut
pertama.
Melihat hasil perjuangan tim Indonesia yang tak mencapai target
seperti direncanakan semula, Rudy jadi murung - sekalipun tugas
untuk melatih tim Indonesia hanya ditanganinya cuma 3 minggu.
Kepada wartawan Sinar Harapan Supardi, pekan lalu ia menyatakan
mengundurkan diri sebagai pelatih nasional. Keputusan yang
diambilnya di Malmoe itu, menurut Rudy, merupakan konsekwensi
atas ketidak-berhasDannya menangani tim. "Saya harus mundur
sebagai pertanggunganjawab atas kegagalan tersebut", ujar Rudy.
Adakah pengunduran diri Rudy ini merupakan akhir karirnya
sebagai pelatih? "Jika susunan pengurus baru nanti bisa
memungkinkan suasana pembinaan yang lebDh baik, baru saya akan
menentukan sikap lagi", jawab Rudy.
Pernyataan Rudy itu tak ayal mengundang pertanyaan. Apakah
sebetulnya yang tengah melanda kepemimpinan PBSI, sehingga Rudy
mengeluarkan penilaian terselubung? Nampaknya pembinaan kurang
serasi dengan perkembangan bulutangkis itu sendiri. Misalnya,
PBSI hampir tak pernah menganalisa data pemain yang dicatat oleh
Pusat Kedokteran Olahraga (PKO) untuk memperkembangkan
ketrampilan pemain. Juga penanganan latihan diberikan secara
seragam. Padahal kekurangan seorang Iie Sumirat, jelas bukan
kelemahan Liem Swie King.
Emon di Bandung
Tugas menganalisa kelemahan sistim pembinaan itu adalah bagian
dari pembagian kerja Ketua Bidang Pembinaan PBSI. Tapi apakah
yang mungkin dilakukan oleh Emon Suparman, pemangku jabatan itu,
sementara ia berdomisili di Bandung, dan jarang muncul di
pelatnas Senayan, Jakarta?
Selain ketinggalan dalam sistim pembinaan, pemain Indonesia juga
dibebani oleh target harus jadi juara. Menurut Rudy, keharusan
mencapai target itu membuat ketegangan mental bertanding makin
meninggi. Dan tidak semua orang tentunya mempunyai ketahanan
mental yang sama. "Saya sendiri pernah mengalami tekanan yang
demikian, sehingga beban mental makin bertambah", kata Rudy.
Adakah mental King atau Iie sama kuatnya dengan Rudy? Itu jelas
tidak. Dan kegagalan pemain-pemain Indonesia di berbagai
turnamen internasional kebanyakan tak terlepas dari masalah ini.
Sebab dalam kwalitas teknik, mereka boleh dikatakan berimbang.
Apa yang disampaDkan Rudy memang bukan cerita baru. Bekas pemain
nasional seperti Eddy Yusuf atau Ferry Sonneville juga pernah
menyinggung masalah sejenis. Tapi lantaran sukses selama ini tak
begitu diacuhkan. Bagaimana setelah target untuk melengkapi
supremasi sebagai juara dunia tak menemui bentuk di Malmoe?
Barangkali kita harus memperbaiki organisasi dan sistem kerja.
Barangkali pula sambil mengingat: piala juara tak bisa di tangan
sampai tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini