Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Karena Carter Widojo Kecewa

Gagasan Carter untuk melakukan penghematan energi, mendapat simpati dari negara Eropa dan Jepang. Tujuh negara industri sepakat menjadikan nuklir sebagai energi alternatif.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH saat-saat penting bagi Presiden Jimmy Carter, sang juara. Setelah berhasil merebut kursi kepresidenan dan memberikan harapan baru bagi rakyat AS yang bingung akibat luka Vietnam dan skandal Watergate, laki-laki asal Georgia itu ternyata memang bukan sembarang "petani kacang". Dia berhasil meraih simpati para pemimpin Eropa selama pertemuan puncak dua hari (7 - 8 Mei) di Downing Street 10, kantor PM Inggeris yang terkenal itu. Memahami benar ketergantungan Eropa akan bahan bakar minyak, Carter dengan gagasan penghematan enerji-nya - yang menimbulkan debat di dalam negerinya - mendapat sambutan yang tak sebentar. Itu tercermin dalam komunike bersama yang ditandatangani tujuh pemimpin negeri industri (AS Kanada, Inggeris, Perancis, Jerman Barat, Italia dan Jepang), yang menyatakan: "Kami menyambut gembira semua tindakan oleh beberapa negara untuk menghemat cnerji. Kami bertekad untuk membatasi permintaan enerji dan mengembangkan sumber-sumber enerji baru". Ketujuh negara itu bersepakat pula untuk memperluas pemakaian tenaga nuklir sebagai enerji alternatip. Kalau usaha ini sampai berhasil, maka jelas impor minyak mereka di masa mendatang akan berkurang. Ini dengan sendirinya akan mempengaruhi penghasilan negara pengekspor minyak. Sampai kapan kebulatan tekad 'tujuh besar' itu akan terealisir memang belum jelas. Sekalipun, seperti kata Menteri Pertambangan Moh. Sadli baru-baru ini, "sampai satudua tahun ini ekspor minyak Indonesia ke AS tak akan terpengaruh". Memikat Komunike bersama sebanyak 600 kata yang disepakati negeri-negeri industri itu tentunya bukan dimaksudkan untuk bisa terlaksana dalam waktu yang pendek. Apalagi menyangkut soal-soal kerjasama ekonomi, politik dan pertahanan antara negara-negara kaya dan -yang menjadi harapan mereka - juga dengan negara-negara berkembang. Tapi yang tak dapat disangkal dan menarik perhatian para pengamat adalah penampilan Carter yang baru kali ini meninggalkan kantornya setelah jadi presiden. Hedrick Smith, orang The New York Times di London, menilai inti pertemuan puncak itu sebagai "kemenangan" bagi Carter. Ia mengutip komentar sebuah koran di Paris yang menilai penampilan Carter sebagai "tak disangka-sangka memikat". Presiden Carter tampaknya sudah mempersiapkan diri dengan haik apa yang bisa dan belum bisa dia peroleh dari pertemuan yang singkat itu. Sikap pandai menahan diri itulah yang agaknya telah membuat Presiden Perancis d'Estaing menyatakan "senang bekerja dengan seorang seperti Carter". Dan di luar dugaan banyak orang, Kanselir Helmut Schmidt -- yang semula sudah pasang kuda-kuda akan sikap Carter yang dikira fanatik itu - menjadi luntur juga di London. Meskipun semula diduga si Presiden AS akan memiting leher sang Kanselir, seperti dikarikaturkan dengan foto pada sampul majalah Jerman Barat Stem ternyata Carter tak mendesak Jerman dan Jepang agar meningkatkan nilai mata uang kedua negeri industri yang paling kuat ekonominya itu. Dia bahkan mengurungkan niatnya untuk meminta agar Jerman Barat memacu lebih maju tingkat ekonominya yang mereka capai sekarang. Dalam masalah dialog Utara-Selatan yang sampai sekarang terasa macet di Paris, Carter juga memberi angin untuk selring dengan rekan-rekannya yang berjanji ingin merundingkan gagasan terciptanya Dana Bersama (Common Fund). Gagasan itu dicetuskan negara berkembang yang tergabung dalam UNCTAD ketika mereka berkumpul di Manila tahun lalu. Kemudian diperjuangkan dengan gigihnya dalam pertemuan UNC TAD di Nairobi -- termasuk oleh Indonesia yang diwakili sendiri oleh Menteri Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro. Gagasan Dana Bersama itu dipandang amat penting bagi negara berkembang. Ini dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menjaga kestabilan harga komoditi ekspor Dunia Ketiga. Kalau negara maju memang beritikad baik untuk membantu, mereka harus menyumbang uang yang cukup besar dalam DB itu. Dengaul demikian negara berkembang bisa terhindar dari fluktuasi harga yang setiap kali terjadi di pasaran dunia. Lewat DB, menjadi harapan Dunia Ketiga untuk memborong komoditi tertentu bila pasaran turun, dan melempar persediaannya ke pasaran bila harga membubung. Gagasan DB ini kurang lebih sauna dengan yang dimiliki AS dalam hal persediaan (stockpile) timah mereka, yang sewaktu-waktu bisa diborong atau dilempar ke pasaran tergantung suasana harga timah dunia. Dengan kata lain, lewat DB kendali stabilitas harga tak lagi dibiarkan begitu saja ditentukan oleh "pasaran", tapi akan lebih berada di tangan kelompok negara berkembang. Widjojo Kecewa Justru itulah yang tak diinginkan negara kaya, termasuk AS. Dan di London, seperti kutip Widjojo, mereka baru "akan berusaha agar dicapai hasil-hasil produktif dari pendekatan-pendekatan tentang stabilitas harga komoditi dan pembentukan dana bersama" Widjojo mengakui bahwa pernyataan 'tujuh besar' itu "mulai maju selangkah", dibandingkan dengan sikap menolak yang sebelumnya mereka kemukakan. Tapi, kata Widjojo tegas, "yang dikehendaki negara berkembang adalah persetujuan untuk membentuk DB itu, yang sejak lama telah siap dengan program tentang komoditi yang terintegrasi, termasuk dana untuk cadangan penyangga guna menstabilkan harga-harga komoditi ekspor". Widjojo juga mengkritik keputusan bersayap dari pertemuan London yang "ingin membuka pasaran lebih banyak bagi negara berkembang", tapi "dengan tidak mengurangi hak masing-masing negara industri untuk mengambil langkah-langkah guna menghindari gangguan terhadap pasaran" mereka. "Ini berarti mereka masih tetap berpegang dari kepentingan mereka sendiri", kilah Widjojo. Suara Widjojo, yang merasa "kecewa" terhadap hasil pertemuan puncak di London itu juga seiring dengan komentar Devan Nair, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh (National Trades Union Congress) dari Singapura. Seperti dimuat dalam The Straits Times baru-baru ini Devan Nair menyangsikan kesungguhan kelompok negeri industri untuk melonggarkan pintu proteksinya. Bertya Nair: "Apakah dengan begitu mesin kalkulator buatan Singapura kini akan punya ruangan di kawasan MEE? Apakah itu juga berarti bahwa tekstil dari Asia Tenggara tak akan dibedakan di pasaran Inggeris?" Nair tak melihat hal itu akan terjadi dalam waktu dekat. "Bicara soal meniadakan proteksi adalah satu hal. Tapi tak melaksanakannya dalam praktek adalah soal lain". Suara Devan Nair, yang mewakili kalangan serikat buruh dan binis Singapura itu, mudah dipastikan akan seirama dengan komentar banyak negara berkembang yang tingkat ekonominya selaju Singapura: seperti Korea Selatan dan Taiwan. Tapi adakah kekecewaan Prof. Widjojo itu akan dirasakan pula oleh negara berkembang umumnya? Beberapa pengamat di Jakarta beranggapan begitu. ISetidaknya, adalah Indonesia yang kini menjadi jurubicara kelompok 77 UNCTAD, yang bermarkas di Jenewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus