INILAH saat-saat penting bagi Presiden Jimmy Carter, sang juara.
Setelah berhasil merebut kursi kepresidenan dan memberikan
harapan baru bagi rakyat AS yang bingung akibat luka Vietnam dan
skandal Watergate, laki-laki asal Georgia itu ternyata memang
bukan sembarang "petani kacang". Dia berhasil meraih simpati
para pemimpin Eropa selama pertemuan puncak dua hari (7 - 8 Mei) di
Downing Street 10, kantor PM Inggeris yang terkenal itu.
Memahami benar ketergantungan Eropa akan bahan bakar minyak,
Carter dengan gagasan penghematan enerji-nya - yang menimbulkan
debat di dalam negerinya - mendapat sambutan yang tak sebentar.
Itu tercermin dalam komunike bersama yang ditandatangani tujuh
pemimpin negeri industri (AS Kanada, Inggeris, Perancis, Jerman
Barat, Italia dan Jepang), yang menyatakan: "Kami menyambut
gembira semua tindakan oleh beberapa negara untuk menghemat
cnerji. Kami bertekad untuk membatasi permintaan enerji dan
mengembangkan sumber-sumber enerji baru".
Ketujuh negara itu bersepakat pula untuk memperluas pemakaian
tenaga nuklir sebagai enerji alternatip. Kalau usaha ini sampai
berhasil, maka jelas impor minyak mereka di masa mendatang akan
berkurang. Ini dengan sendirinya akan mempengaruhi penghasilan
negara pengekspor minyak. Sampai kapan kebulatan tekad 'tujuh
besar' itu akan terealisir memang belum jelas. Sekalipun,
seperti kata Menteri Pertambangan Moh. Sadli baru-baru ini,
"sampai satudua tahun ini ekspor minyak Indonesia ke AS tak akan
terpengaruh".
Memikat
Komunike bersama sebanyak 600 kata yang disepakati negeri-negeri
industri itu tentunya bukan dimaksudkan untuk bisa terlaksana
dalam waktu yang pendek. Apalagi menyangkut soal-soal kerjasama
ekonomi, politik dan pertahanan antara negara-negara kaya dan
-yang menjadi harapan mereka - juga dengan negara-negara
berkembang.
Tapi yang tak dapat disangkal dan menarik perhatian para
pengamat adalah penampilan Carter yang baru kali ini
meninggalkan kantornya setelah jadi presiden. Hedrick Smith,
orang The New York Times di London, menilai inti pertemuan
puncak itu sebagai "kemenangan" bagi Carter. Ia mengutip
komentar sebuah koran di Paris yang menilai penampilan Carter
sebagai "tak disangka-sangka memikat".
Presiden Carter tampaknya sudah mempersiapkan diri dengan haik
apa yang bisa dan belum bisa dia peroleh dari pertemuan yang
singkat itu. Sikap pandai menahan diri itulah yang agaknya telah
membuat Presiden Perancis d'Estaing menyatakan "senang bekerja
dengan seorang seperti Carter". Dan di luar dugaan banyak orang,
Kanselir Helmut Schmidt -- yang semula sudah pasang kuda-kuda
akan sikap Carter yang dikira fanatik itu - menjadi luntur juga
di London. Meskipun semula diduga si Presiden AS akan memiting
leher sang Kanselir, seperti dikarikaturkan dengan foto pada
sampul majalah Jerman Barat Stem ternyata Carter tak mendesak
Jerman dan Jepang agar meningkatkan nilai mata uang kedua negeri
industri yang paling kuat ekonominya itu. Dia bahkan
mengurungkan niatnya untuk meminta agar Jerman Barat memacu
lebih maju tingkat ekonominya yang mereka capai sekarang.
Dalam masalah dialog Utara-Selatan yang sampai sekarang terasa
macet di Paris, Carter juga memberi angin untuk selring dengan
rekan-rekannya yang berjanji ingin merundingkan gagasan
terciptanya Dana Bersama (Common Fund). Gagasan itu dicetuskan
negara berkembang yang tergabung dalam UNCTAD ketika mereka
berkumpul di Manila tahun lalu. Kemudian diperjuangkan dengan
gigihnya dalam pertemuan UNC TAD di Nairobi -- termasuk oleh
Indonesia yang diwakili sendiri oleh Menteri Ekuin/Ketua
Bappenas Widjojo Nitisastro.
Gagasan Dana Bersama itu dipandang amat penting bagi negara
berkembang. Ini dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar untuk
menjaga kestabilan harga komoditi ekspor Dunia Ketiga. Kalau
negara maju memang beritikad baik untuk membantu, mereka harus
menyumbang uang yang cukup besar dalam DB itu. Dengaul demikian
negara berkembang bisa terhindar dari fluktuasi harga yang
setiap kali terjadi di pasaran dunia. Lewat DB, menjadi harapan
Dunia Ketiga untuk memborong komoditi tertentu bila pasaran
turun, dan melempar persediaannya ke pasaran bila harga
membubung. Gagasan DB ini kurang lebih sauna dengan yang
dimiliki AS dalam hal persediaan (stockpile) timah mereka, yang
sewaktu-waktu bisa diborong atau dilempar ke pasaran tergantung
suasana harga timah dunia.
Dengan kata lain, lewat DB kendali stabilitas harga tak lagi
dibiarkan begitu saja ditentukan oleh "pasaran", tapi akan lebih
berada di tangan kelompok negara berkembang.
Widjojo Kecewa
Justru itulah yang tak diinginkan negara kaya, termasuk AS. Dan
di London, seperti kutip Widjojo, mereka baru "akan berusaha
agar dicapai hasil-hasil produktif dari pendekatan-pendekatan
tentang stabilitas harga komoditi dan pembentukan dana bersama"
Widjojo mengakui bahwa pernyataan 'tujuh besar' itu "mulai maju
selangkah", dibandingkan dengan sikap menolak yang sebelumnya
mereka kemukakan.
Tapi, kata Widjojo tegas, "yang dikehendaki negara berkembang
adalah persetujuan untuk membentuk DB itu, yang sejak lama telah
siap dengan program tentang komoditi yang terintegrasi, termasuk
dana untuk cadangan penyangga guna menstabilkan harga-harga
komoditi ekspor".
Widjojo juga mengkritik keputusan bersayap dari pertemuan London
yang "ingin membuka pasaran lebih banyak bagi negara
berkembang", tapi "dengan tidak mengurangi hak masing-masing
negara industri untuk mengambil langkah-langkah guna menghindari
gangguan terhadap pasaran" mereka. "Ini berarti mereka masih
tetap berpegang dari kepentingan mereka sendiri", kilah Widjojo.
Suara Widjojo, yang merasa "kecewa" terhadap hasil pertemuan
puncak di London itu juga seiring dengan komentar Devan Nair,
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh (National Trades Union
Congress) dari Singapura. Seperti dimuat dalam The Straits Times
baru-baru ini Devan Nair menyangsikan kesungguhan kelompok
negeri industri untuk melonggarkan pintu proteksinya. Bertya
Nair: "Apakah dengan begitu mesin kalkulator buatan Singapura
kini akan punya ruangan di kawasan MEE? Apakah itu juga berarti
bahwa tekstil dari Asia Tenggara tak akan dibedakan di pasaran
Inggeris?" Nair tak melihat hal itu akan terjadi dalam waktu
dekat. "Bicara soal meniadakan proteksi adalah satu hal. Tapi
tak melaksanakannya dalam praktek adalah soal lain".
Suara Devan Nair, yang mewakili kalangan serikat buruh dan binis
Singapura itu, mudah dipastikan akan seirama dengan komentar
banyak negara berkembang yang tingkat ekonominya selaju
Singapura: seperti Korea Selatan dan Taiwan. Tapi adakah
kekecewaan Prof. Widjojo itu akan dirasakan pula oleh negara
berkembang umumnya? Beberapa pengamat di Jakarta beranggapan
begitu. ISetidaknya, adalah Indonesia yang kini menjadi
jurubicara kelompok 77 UNCTAD, yang bermarkas di Jenewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini